Mata Diva mendelik mendengar tebakan adiknya. “Apaan sih kamu! Pokoknya temen. Mau cewek mau cowok kenapa kamu kepo?!” Diva berkata sesantai mungkin sembari melepaskan pakaiannya satu per satu!“Kakak nggak tahu malu ih! Cepet pake bajunya!”“Kakak mau ganti baju, kamu yang masuk ke kamar orang di saat yang tidak tepat.”“Terus kakak gak mandi? Seharian di luar, sekarang malah gak mandi?!”“Liat jam, udah malam, mandinya dirapel besok aja! Mending kamu keluar gih! Kakak mau ganti daleman sekalian.” Diva berkata terus terang.Bukannya keluar, Prisya malah membalikkan badannya ke arah tembok. “Ganti saja, aku tunggu, masih banyak yang mau kutanyain!”Diva mengernyitkan keningnya dia sadar Prisya tidak akan puas kalau tidak mendapatkan jawaban darinya. Diva sengaja melakukan semuanya dengan gerakan lambat, lalu dia keluar kamar untuk mencuci muka dan gosok gigi sebelum tidur, dia berharap nanti saat kembali lagi ke kamar sang adik sudah pergi meninggalkan kamarnya.Namun, harapannya tidak
Setelah sampai di kediamannya, Elvan sedang menghubungi seseorang, mempertanyakan perihal trauma yang dimiliki oleh wanita itu. “Apa bekas lukanya terlihat jelas?”“Seharusnya tidak, Pak, karena itu lebih ke dalam bagian kepala,” jawab suara di seberang sana.“Baiklah, terima kasih informasimu.”Setelah mengatakan hal itu, Elvan mematikan sambungannya. Pria itu kemudian mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas meja. “Pantas saja dia begitu takut.”“Di tempat pacuan kuda, mana mungkin tidak naik kuda, kan?” Elvan kembali bicara pada dirinya sendiri.“CK! Lagian kenapa dia masih mau sih? Kalau trauma kan pasti akan takut banget nantinya. Apa dia tidak memikirkan diri sendiri?” Elvan berdecak kesal, tetapi saat mengingat wajah Diva yang cukup serius untuk pergi, sepertinya dia memiliki keinginan untuk mengobati rasa ketakutannya itu.Elvan lalu menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya di bawah dagu seraya mengingat momen apa saja yang biasa mereka lewati. Namun detik berikutnya dia m
Beberapa saat Prisya terdiam. ‘Lagi-lagi nanyain Kak Diva,’ batin Prisya. “Pris?” Suara Elvan membuatnya tersadar. “Ah, iya, iya, Pak Elvan, seharusnya dia sudah tidur.” Prisya menjawab cepat. “Seharusnya?” Elvan berkata dengan nada sedikit penuh penekanan. Sadar dengan sifat Elvan yang tidak suka dengan kalimat menebak-nebak Prisya kemudian berkata, “Begini, Pak, tadi sebelum keluar kamarnya, dia sedang melakukan aktivitasnya seperti biasa, sudah dipastikan saat semuanya selesai dia pasti akan langsung tidur.” “Oh, ya?” Elvan bertanya seolah ingin meminta penjelasan lebih detail lagi. “Ya, dia akan dengan cepat tertidur begitu menyentuh kasur. Kalau tidur juga seperti keb–!" Ah, hampir saja kelepasan mengatakan hal yang kurang baik. "Ehm, maksud saya dia kalau tidur, sudah pasti sangat pulas. Pak … apa saya boleh bertanya sesuatu, Pak?” tanya Prisya sedikit berani. “Apa katakan saja?” “Apa Bapak serius dengan kakak saya?” Prisya benar-benar untuk tidak tahan bertanya tentang h
Prisya benar-benar merasa seperti mendapat nightmare yang sesungguhnya! Dia belum tidur tetapi malah mendapatkan sebuah fakta yang mengejutkan tepat sepuluh menit lebih dari jam 12 malam! Tangannya gemetar saat membaca pesan itu, Prisya berusaha untuk tenang lalu mengetikkan pesan lagi. [Saya tidak menjamin akan membantu, tapi saya yang akan menjadi orang pertama mencari Bapak kalau ada apa-apa dengan Kakak saya.] Setelah mengirim pesan itu, Prisya melempar ponselnya ke sembarang tempat, lalu mencoba menutup matanya, biarlah besok pagi dia akan perlahan-lahan bertanya pada kakaknya. Mengingat hubungannya dengan Nico sebelumnya, bisa dipastikan Diva akan sangat tertutup masalah hubungan cintanya kali ini. *** Prisya sudah duduk cantik dan menikmati sarapannya saat melihat Diva keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah sama rapi seperti dirinya. “Pagi Kak Diva,” sapa Prisya dengan tersenyum ramah. “Mau kemana Pris?” tanya Diva heran melihat penampilan adiknya, tumben sekali d
Diva heran kenapa Prisya bisa berkata seperti barusan, Prisya bekerja di sini sebagai apa sebenarnya? Diva terus bertanya-tanya dalam hati, dia penasaran, tapi kalau dia tanya langsung dengan Prisya, sudah barang tentu anak itu tidak akan mau memberikan informasi yang akurat. Suara tanda henti lift terdengar, Diva langsung ke luar dan berjalan menuju ruangannya, di koridor, dia menyapa beberapa rekan yang berpapasan, dan dia ingat. Bukankah kantor ini akan briefing tiap pagi? Artinya setidaknya orang-orang di lantai 15 tahu tentang Prisya, kan? Ah, dia setidaknya harus mencari tahu tentang Prisya! Apa mungkin Prisya masuk di salah satu Divisi SDM dan Kesekretariatan? Mengingat hanya Divisi itu saja yang satu lantai dengan CEO dan COO. “Hei Div, pagi bener udah di kantor aja.” Winda menyapa Diva saat melewati Diva. Diva tersenyum seperti biasa. “Semalam dijemput sama calon suami kamu ya, Div?” Pertanyaan Winda memancing keingintahuan rekan kerja mereka yang sudah dateng, dengan cep
Sudah beberapa hari dari Diva mengirim pesan pada Elvan, dia tidak menerima satu balasan apapun, entah kenapa rasanya sedikit kosong, hal bodoh yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah mengecek apakah jaringannya bermasalah atau handphonenya yang rusak? “CK!” Diva berdecak kesal, apalagi mengingat ini adalah hari dimana dirinya akan ada di area pacuan kuda keluarga Elvan! Sekarang pria itu kemungkinan besar masih mengurus urusan pekerjaan dengan si Miko. Beberapa kali Diva terlihat bolak-balik kamar dengan hati yang sedikit kalut. “Tenang Diva, kamu bisa kok! Ayo jangan terlihat lemah. Itu hanya kuda, kan? Cuma kuda kok, jadi jangan takut ya!” Diva memberikan semangat pada dirinya sendiri, tapi ingat itu bukan tentang kuda saja, Diva malah kepikiran tentang semua yang ada di sana. “Di sana nanti ada siapa saja? Gak mungkin acara keluarga itu hanya mamanya Elvan saja.” Lalu bayangan beberapa keluarga Elvan kembali bermain di kepala Diva, kalau ini acara keluarga setidaknya yang
“Selamat Pagi Nona.” Sapaan ramah diterima Diva dari Pak Andi, sopir pribadi Elvan yang dia kenal. Tampak pria itu menghentikan mobil di depan komplek perumahannya sesuai permintaan Diva.“Pagi Pak Andi,” balas Diva sembari tersenyum saat melihat Pak Andi membukakan pintu belakang mobil untuknya. Kemudian, dia bingung. “Eh, tapi bukannya Mama bilang yang jemput saya itu sopirnya mama?” “Kebetulan sopir Nyonya Anita sedang ada kendala sedikit.” Dia menjelaskan singkat.Diva segera masuk ke dalam, padahal dia sangat berharap sekali ada kejutan saat masuk ke dalam mobil ini, misalnya tiba-tiba saja Elvan muncul, tapi hasilnya nihil! Tidak ada sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.“Pak Andi, Pak Elvannya ….” Dia ingin bertanya tapi sepertinya terasa berat untuk menanyakan hal itu.“Saya juga belum bertemu dengan Pak Elvan, Nona, saya juga belum ada dihubungi untuk menjemput beliau lagi di bandara.” seolah tau dengan apa yang ingin disampaikan Diva.“Oh,” jawab Diva singkat. Entah ke
Marissa terlihat sekali kesal dengan respon yang diberikan oleh Diva ini, sedangkan Diva berdoa dalam hati semoga dirinya tidak tersulut emosi menghadapi wanita itu, dengan apa yang terjadi belakangan, dia sudah terlibat masalah dengan rekan kerjanya yang dulu karena masalah intimidasi seperti sekarang. Tidak mungkin ada keajaiban yang tiba-tiba muncul sebagai ksatria penyelamat sekarang ini, kan? Misalnya tiba-tiba Elvan muncul sebagai penyelamat seperti waktu itu! Wong pria itu saja tidak bisa dihubungi sama sekali. “Kamu harus sadar posisi, status sosial sepertimu apa kamu layak menyandangnya? Apa kamu tidak terpikir kalau Elvan hanya bermain-main saja? Ingat, apa kamu pantas untuk Elvan yang punya banyak kelebihan?” Suara itu kian sinis terdengar di telinga Diva. Diva mengangguk-anggukan kepalanya, “Jadi menurutmu, kamu yang pantas?” Marissa terlihat mengepalkan tangannya dengan kuat, menancapkan kuku-kuku tajam ke dalam telapak tangannya sendiri. Dia kesal karena baru kali ini