“Selamat Pagi Nona.” Sapaan ramah diterima Diva dari Pak Andi, sopir pribadi Elvan yang dia kenal. Tampak pria itu menghentikan mobil di depan komplek perumahannya sesuai permintaan Diva.“Pagi Pak Andi,” balas Diva sembari tersenyum saat melihat Pak Andi membukakan pintu belakang mobil untuknya. Kemudian, dia bingung. “Eh, tapi bukannya Mama bilang yang jemput saya itu sopirnya mama?” “Kebetulan sopir Nyonya Anita sedang ada kendala sedikit.” Dia menjelaskan singkat.Diva segera masuk ke dalam, padahal dia sangat berharap sekali ada kejutan saat masuk ke dalam mobil ini, misalnya tiba-tiba saja Elvan muncul, tapi hasilnya nihil! Tidak ada sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya.“Pak Andi, Pak Elvannya ….” Dia ingin bertanya tapi sepertinya terasa berat untuk menanyakan hal itu.“Saya juga belum bertemu dengan Pak Elvan, Nona, saya juga belum ada dihubungi untuk menjemput beliau lagi di bandara.” seolah tau dengan apa yang ingin disampaikan Diva.“Oh,” jawab Diva singkat. Entah ke
Marissa terlihat sekali kesal dengan respon yang diberikan oleh Diva ini, sedangkan Diva berdoa dalam hati semoga dirinya tidak tersulut emosi menghadapi wanita itu, dengan apa yang terjadi belakangan, dia sudah terlibat masalah dengan rekan kerjanya yang dulu karena masalah intimidasi seperti sekarang. Tidak mungkin ada keajaiban yang tiba-tiba muncul sebagai ksatria penyelamat sekarang ini, kan? Misalnya tiba-tiba Elvan muncul sebagai penyelamat seperti waktu itu! Wong pria itu saja tidak bisa dihubungi sama sekali. “Kamu harus sadar posisi, status sosial sepertimu apa kamu layak menyandangnya? Apa kamu tidak terpikir kalau Elvan hanya bermain-main saja? Ingat, apa kamu pantas untuk Elvan yang punya banyak kelebihan?” Suara itu kian sinis terdengar di telinga Diva. Diva mengangguk-anggukan kepalanya, “Jadi menurutmu, kamu yang pantas?” Marissa terlihat mengepalkan tangannya dengan kuat, menancapkan kuku-kuku tajam ke dalam telapak tangannya sendiri. Dia kesal karena baru kali ini
Diva mengerutkan keningnya, menatap wanita yang berjalan dengan anggun itu. Wajahnya familier, tapi Diva tidak ingat dari mana dia pernah melihatnya.Tidak penting. Yang penting sekarang, Diva harus tahu apakah dia musuh … atau sekutu.“Kak Al!” Niza memanggil wanita itu dengan senyum lebar. “Ada apa ini?” tanya Al dengan nada datar, lalu melirik sekilas ke arah Diva. “Kenapa kalian mencurigai dia sebagai sekretaris yang menjalin asmara dengan Kak Elvan?”Diva yang mendapati pandangan tersebut masih memasang wajah datar, tidak memperlihatkan bentuk emosi di atasnya. Pandangan wanita bernama Al itu tidak mengintimidasi, menyatakan dia benar-benar hanya penasaran.“Wanita ini mengaku-ngaku tunangannya Kak El, Kak!” Niza berkata dengan sedikit nyaring, seolah sedang melapor pada bos besar mereka.“Tunangan?” Al tampak kaget, lalu melihat ke arah Diva lagi. “Kamu tunangannya Kak Elvan?” tanyanya. “Sejak kapan?” Mendengar pertanyaaan ini, Niza kembali berkoar tanpa menunggu jawaban Diva.
Diva menyaksikan sebuah hal yang cukup menarik, walaupun masih belum pasti apakah dia benar-benar sekutunya, yang jelas wanita bernama Al ini kurang menyukai mereka. “Al, maklumi saja, mereka itu kan masih muda dan juga–” “Apa kamu bilang? Muda dijadikan alasan?” Al terdengar tidak suka dengan ucapan Marissa barusan. “Bukan begitu, maksudku mereka itu kan memang pikirannya masih labil dan–” “Sudahlah, aku malas mendebatmu, lagipula, kalau kamu tidak mengatakan hal yang aneh-aneh mereka juga pasti tidak akan begitu dengan Diva.” Al berkata dengan nada datar tapi ucapan itu dibenarkan oleh Diva dalam hati. “Satu hal lagi, jangan kamu pikir aku tidak tahu dengan pikiranmu itu.” Dia melanjutkan dengan kata-kata pedas. Yang dikatakan wanita itu benar-benar membuat Diva makin yakin kalau Elvan dan Al ini bersaudara. Ucapan mereka sama-sama pedas dan langsung ke intinya. Diva melihat Marissa mengepalkan tangannya, dia ingin menjawab tapi nampak masih menahannya. “Dan … satu hal lagi. Ka
Diva terkejut mendengar suara yang berbisik tepat di samping telinganya, suara yang pemiliknya memang ditunggu Diva sejak tadi. Kalau-kalau ada keajaiban Elvan tiba-tiba muncul di hadapannya. “Elvan?!” Diva berkata nyaris setengah berteriak. Pria itu menampilkan senyumnya yang paling manis. Diva tidak bisa berkata-kata dia tidak tahu apa yang harus dia katakan sekarang. Apa dia harus marah atau malah senang. Rasa itu bercampur aduk tak karuan dalam dirinya. “Sayang, maaf aku hampir terlambat dan membuatmu menunggu.” Elvan membalikkan tubuh Diva membuat mereka berhadapan, pria itu memegang kedua wajah Diva dan memberikan jarak singkat di antara keduanya dan Diva bisa merasakan sapuan napas Elvan di wajahnya. Detik berikutnya pria itu tanpa aba-aba mencium pucuk kepalanya, membuat mata Diva melebar dengan sempurna! “Maaf, aku terlambat. Aku merindukanmu, Sayang.” Elvan lalu memeluk Diva, wanita itu merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berpacu cepat, membuat
Ucapan Elvan membuat Diva tersentak sejenak, apa maksud dari Elvan? Dirinya tidak ingin berpikir berlebihan tapi sepertinya pria itu makin bertindak di luar batas kewajaran. Apa wajar seorang pasangan pura-pura melakukan hal itu? Apa wajar seorang dengan status bohongan memperlakukan dirinya dengan sangat baik, bahkan saat tidak ada yang melihat mereka berdua? “Diva,” panggil Elvan membuat Diva yang sibuk dengan berbagai macam asumsi dalam kepalanya kembali tersadar. “Sok manis kamu bilang?! Aku sudah kirim pesan padamu, tapi kamu tidak membalasnya!” Entahlah, itu keluar begitu saja dari mulut Diva. “Kamu kirim pesan ke nomor pribadiku? Sudah kukatakan aku ketinggalan ponselku di rumah dan aku–” “Ah, kamu benar. Jadi, jangan dibaca!” Diva teringat sesuatu kalau dia mengirimkan balasan pada Elvan, artinya pria itu belum membacanya. Memikirkan malu yang akan dia terima nanti, lebih baik dia menghapusnya saja. Diva langsung merogoh kantong celananya dan mencari pesan yang belum terbac
Elvan melihat Diva yang mulai salah tingkah, wajahnya kian merona, dia juga bisa merasakan degupan jantung Diva yang cukup kencang, andai saja wanita itu menyadari hal yang sama! Pria itu lalu melihat bibir Diva yang cukup membuatnya tergoda! Dia bukan lelaki normal kalau tidak menginginkan hal itu, kan?! Entah dorongan darimana, dia sepertinya akan melupakan janjinya untuk tidak menyentuh wanita itu lagi. Dirinya makin memangkas jarak, mendekatkan wajahnya pada Diva, sepertinya dia merasa kalau saat ini wanita itu juga tidak akan menolak dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Namun, baru saja dia akan mendaratkan bibirnya pada Diva, suara Anita terdengar sangat jelas dan membuat mereka terkejut. “Duh! Kalian ngapain di sini?!” Ucapan itu membuat Diva seolah tersadar dan ingin melepaskan diri dari Elvan, tapi pria itu tetap menahannya. “Mama kenapa gangguin orang dua-duaan sih.” Elvan berkata santai. “Eh lepasin itu si Diva,
“Kakek ada bicara apa sama kamu?” tanya Elvan pada Diva yang masih sibuk dengan pikirannya dengan pernyataan Hartono barusan. Pria itu juga terlihat mengatur napasnya karena berlari tadi. “Sayang, apa kamu dimarahin sama Kakek?” tanya Elvan lagi yang akhirnya kata pertama dalam kalimat Elvan barusan membuat Diva tersentak dan reflek melihat kanan dan kiri. Tidak ada siapapun di dekat mereka dan Elvan bilang kata ‘Sayang’. Hal ini membuat Diva mengerutkan keningnya seketika. Apa Elvan memanggilnya hanya untuk berjaga-jaga takut didengar orang? “Aku ….” “Kenapa? Apa kakek memarahimu?” tanya Elvan lagi. Diva menggeleng cepat, “Tidak, tidak.” “Lalu kenapa wajahmu seperti itu?” Elvan bertanya dengan mengerutkan keningnya. “Itu … apa boleh aku bertanya satu hal padamu?” Diva berkata dengan sedikit ragu. Elvan tersenyum dengan lebar. “Tanya saja, kamu bebas menanyakan apapun padaku, jangan seperti orang lain, i