Elvan melihat Diva yang mulai salah tingkah, wajahnya kian merona, dia juga bisa merasakan degupan jantung Diva yang cukup kencang, andai saja wanita itu menyadari hal yang sama! Pria itu lalu melihat bibir Diva yang cukup membuatnya tergoda! Dia bukan lelaki normal kalau tidak menginginkan hal itu, kan?!
Entah dorongan darimana, dia sepertinya akan melupakan janjinya untuk tidak menyentuh wanita itu lagi. Dirinya makin memangkas jarak, mendekatkan wajahnya pada Diva, sepertinya dia merasa kalau saat ini wanita itu juga tidak akan menolak dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini.Namun, baru saja dia akan mendaratkan bibirnya pada Diva, suara Anita terdengar sangat jelas dan membuat mereka terkejut. “Duh! Kalian ngapain di sini?!”Ucapan itu membuat Diva seolah tersadar dan ingin melepaskan diri dari Elvan, tapi pria itu tetap menahannya.“Mama kenapa gangguin orang dua-duaan sih.” Elvan berkata santai.“Eh lepasin itu si Diva,“Kakek ada bicara apa sama kamu?” tanya Elvan pada Diva yang masih sibuk dengan pikirannya dengan pernyataan Hartono barusan. Pria itu juga terlihat mengatur napasnya karena berlari tadi. “Sayang, apa kamu dimarahin sama Kakek?” tanya Elvan lagi yang akhirnya kata pertama dalam kalimat Elvan barusan membuat Diva tersentak dan reflek melihat kanan dan kiri. Tidak ada siapapun di dekat mereka dan Elvan bilang kata ‘Sayang’. Hal ini membuat Diva mengerutkan keningnya seketika. Apa Elvan memanggilnya hanya untuk berjaga-jaga takut didengar orang? “Aku ….” “Kenapa? Apa kakek memarahimu?” tanya Elvan lagi. Diva menggeleng cepat, “Tidak, tidak.” “Lalu kenapa wajahmu seperti itu?” Elvan bertanya dengan mengerutkan keningnya. “Itu … apa boleh aku bertanya satu hal padamu?” Diva berkata dengan sedikit ragu. Elvan tersenyum dengan lebar. “Tanya saja, kamu bebas menanyakan apapun padaku, jangan seperti orang lain, i
Elvan menatap Diva dengan tatapan penuh arti, sedangkan Diva beberapa kali meneguk air liurnya karena gugup.“Aku ….” Diva benar-benar tidak bisa berbohong, ingin rasanya dia bersembunyi detik ini juga karena kebohongan yang dia buat barusan.Elvan lalu tertawa melihat reaksi Diva yang menurutnya sangat menggemaskan itu.“Kenapa aktingmu buruk sekali dan tidak totalitas, Sayang?” Elvan tersenyum melihat wajah Diva yang mulai merona merah, entah itu karena malu atau gugup karena ketahuan.“Aku memang tidak bisa.” Diva berkata datar dan menyembunyikan kebohongannya.Elvan meletakkan busur panah di meja yang tidak jauh dari mereka. Lalu kembali berjalan mendekati Diva.“Oh, ya? Kamu benar-benar tidak bisa, ya?” Elvan berkata sambil bersedekap dada.Diva memalingkan wajahnya dan berkata, “Ya sudah kalau tidak percaya.”Alih-alih marah mendengar jawaban Diva yang nadanya sedikit tinggi, Elvan malah tertawa.Diva mendecakkan lidah, dia tahu Elvan pasti sudah tahu tentang hal ini sebelumnya!
Sesaat Diva terdiam mendapatkan perlakuan barusan, belum sempat dia bicara Elvan langsung menggenggam tangannya dan mengajaknya berlari di bawah guyuran hujan yang mulai deras. “Jangan lepaskan dan percepat langkahmu!” titah Elvan. Elvan mengajak Diva berlari cepat menuju Villa. Sampainya di teras belakang, beberapa anggota keluarga sudah terlihat di dalam lebih dulu, di sana hanya tersisa Al yang sedang tidur di kursi dimana kakinya diletakkan di atas meja kecil yang ada di depannya. “Al?” ucap Diva. “Sudah biarkan saja,” ucap Elvan. “Hah? Kok dibiarin, ini kan hujan, anginnya juga kencang, nanti kalau tiba-tiba masuk angin gimana?” Pertanyaan ini reflek keluar dari mulut Diva. Namun, setelah mengatakan hal tersebut, tiba-tiba Al bersuara tanpa membuka matanya. “Sudah Kakak gak perlu khawatir. Lagipula, di dunia medis tidak ada istilah masuk angin.” Hal ini membuat Diva terkejut dan Elvan menyeringai tipis, dia jelas paham bagaimana tingkah adiknya. “Kamu tidak tidur?” Diva
Setelah menghubungi Prisya, Elvan keluar dari tempat ini, pikirannya hanya satu, yaitu menemukan Diva! Dia segera berjalan ke lantai atas, tempat dimana kamar Alisha berada, tetapi, kamar tersebut dalam keadaan kosong. Baru saja dia melintas, di sana dia sudah bertemu dengan Marissa dan Niza, yang kebetulan sedang bicara berdua sambil melihat handphone. Elvan tidak terlalu menghiraukannya dan berjalan melewati keduanya. “Kak Elvan, kirain tadi Kakak gak dateng loh.” Nayla menyapa Elvan dengan santai. Elvan malas menanggapinya, dia pura-pura tidak mendengar. “Kak Elvan, apa Kakak yakin Diva akan menjadi bagian dari keluarga kita?” tanya Niza lagi. Mendengar nama Diva diseret, Elvan mau tidak mau menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya dan melihat dengan tajam ke arah Niza. “Tidak ada yang pantas selain Diva.” Elvan menjawab dengan suara dingin. Niza tiba-tiba terhenyak dan melihat ke arah Marissa, tetapi dia sangat penasaran sejauh apa Diva bagi Elvan. Dia kemudian be
Di sisi lain, Elvan mencari-cari keberadaan Diva. Dia sudah melihat ke ruang kumpul di atas di sana hanya ada Anggota keluarga lain yang Elvan malas untuk mendekatinya, karena akan bicara hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Apalagi di sana ada pamannya! Dia segera pergi sebelum mereka menyadari Elvan ada di sana. Akhirnya, saat melewati ruang tengah dekat dengan balkon samping yang menghadap ke kaki gunung. Elvan mendengar suara ceria dari Diva. Tanpa dia sadari, pria itu tersenyum dan langsung berjalan mendekat. Di sana dia sedang terlihat santai berbicara dengan Al dan juga kedua orang tuanya, bahkan sang ayah yang jarang tertawa terdengar terkekeh ringan. Cukup akrab dan itu membuat Elvan tersenyum lebar. ‘Tunangan palsu, ya?’ gumam Elvan pelan dan hanya dia sendiri yang mendengarnya, detik berikutnya dia tersenyum kecut. Kalau dilihat seperti sekarang, Diva malah lebih mirip dengan orang yang memang memiliki hubungan dekat dengan dirinya. Kata palsu itu rasanya ingin sek
Ucapan Elvan barusan membuat Diva menghentikan semua aktivitasnya dan tubuhnya membeku, dia langsung mendongakkan kembali wajahnya melihat Elvan dengan sangat jelas, tatapan pria itu sangat tajam. “Kamu bilang apa barusan?” tanya Diva dengan menyipitkan sebelah matanya. “Aku bilang, kalau ayahmu memaksa menikahimu, aku tidak masalah.” Elvan mengulang kata-katanya dengan tegas. Jangan tanya apa yang dirasakan Diva saat ini, dia tidak tahu apakah dia harus senang atau kesal. Pria itu dengan mudah mengatakan kata menikah secara santai. Menikah adalah hal yang sakral dan Diva sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan pernikahan hanya satu kali dalam hidupnya dan itu harus dengan orang yang dia cintai dan mencintai dirinya. Sekarang ini, dia mungkin baru menyukai Elvan, dia memang mengharapkan pria itu. Bahkan, tindakannya tadi juga seperti menuntut Elvan seperti pasangannya sungguhan. Akan tetapi, untuk syarat kedua Diva tentang pernikahan, bahwa dia harus menikah dengan oran
Diva berjalan bersisian dengan Alisha, adik Elvan ini mencari Diva karena wanita itu dicari oleh Radiah, sang nenek. “Kenapa tiba-tiba nenek mencariku?” tanya Diva pada Alisha yang mengatakan kalau dirinya dicari oleh sang nenek. Al hanya menaikkan kedua bahunya seraya berkata, “Entahlah, tapi kupikir akan ada hal yang mengejutkan!” “Hah? Kejutan seperti apa misalnya?” Diva jelas penasaran. “Nanti juga tahu sendiri kalo udah ketemu, kan?” Ucapan Al ini membuat Diva makin gugup, di dalam otaknya sudah terbayang akan ada banyak kata bohong yang keluar dari mulutnya! Ini pasti akan berbicara tentang Elvan. ‘Diva. teruslah berusaha sebaik mungkin dan jangan terbawa perasaan. Anggap saja ini pekerjaan dan lakukan dengan profesional.’ Diva bertekad dalam hati. Alisha membawa Diva ke sebuah ruangan, wanita itu sedang duduk dengan santai di atas kursi malas yang menghadap ke luar jendela yang tirainya sebagian tertutup. “Nenek, Al sudah bawain Kak Diva.” Wanita paruh baya itu mengangg
Diva tidak mengerti dengan jalan pikiran nenek Elvan ini. Apakah memperingatkan dirinya untuk menyerah saja? “Apa nenek menyuruhku untuk meninggalkan Elvan?” Diva kembali bertanya dengan sungguh-sungguh. “Kalau nenek mengatakan ya bagaimana?” Wanita itu melihat ke arah Diva dengan tatapan yang Diva sendiri tidak bisa mengartikan tujuan sebenarnya. Diva meneguk air liurnya untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba kering. Lalu, menarik napas dalam kemudian mengambil kotak beludru tersebut dari atas meja, melihatnya sekali lagi selanjutnya menatap Radiah. “Jika aku mengambil ini dan meninggalkan Elvan apa menurut nenek dia akan diam saja?” tanya Diva dengan suara sedikit bergetar. Radiah diam, wajahnya datar, sulit menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. “Tidak ada jaminan dia tidak bosan dengan sesuatu.” Radiah berkata datar dan tenang. Diva mengangguk, lalu menutup kotak itu dan menggenggamnya, kemudian dia menatap Radiah dan berkata, “Begini saja, Nek. Bagaimana kalau