Tunggu kelanjutannya untuk menemani Berbuka nanti, ya, temen2nya Chinta! Jangan lupa bantu votenya dong... ❤️❤️❤️
“Elvan, kamu … kamu kenapa?!” Wanita itu dengan cepat melangkahkan kakinya masuk ke kamar Elvan. Dia melihat pria itu dalam kondisi yang sedikit buruk dan segera menghampirinya. Elvan dalam posisi bersujud di lantai sambil memegang dadanya. “Kamu kenapa, Van?!” Diva terlihat panik, apalagi saat melihat wajah Elvan yang sudah berubah menjadi kemerahan entah kenapa suhu tubuhnya seperti lebih panas dari biasanya. Napasnya terdengar tidak teratur. “Jangan di lantai. Sini berdiri biar aku bantu pindah ke atas.” Diva berkata dengan panik. Diva berusaha untuk memapah tubuh Elvan ke atas tempat tidur, entah kekuatan dari mana dia bisa membantu Elvan yang tubuhnya cukup berat itu beranjak dari lantai. Namun, karena memang tubuh Elvan yang cukup besar membuatnya limbung saat akan berpindah ke tempat tidur. Tubuh Elvan berada tepat di atas Diva. Wanita itu membeku seketika, ini kali pertama dia benar-benar berada dekat dengan pria tanpa jarak! Napas Elvan terdengar memburu di samping teling
Di tempat lain, Diva merasakan wajahnya yang sedikit panas. Kelakuan Elvan barusan cukup aneh baginya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat terpikir hal lain.“Apa dia menyembunyikan sesuatu, ya?” tanyanya pada diri sendiri.“Ah, lagian kenapa harus peduli sih?! Dia juga tadi masih bisa mempermainkanku! Menyebalkan sekali!” Diva berkata kesal pada dirinya sendiri.“Kak Diva, kenapa masih di sini? Apa kakak gak ketemu sama Kak Elvan?” tanya Alisha sedikit heran dan membuat Diva sedikit terkejut.“Ah, Itu … belum, aku belum bertemu dengan kakakmu.” Diva tersenyum singkat.“Kita akhirnya bisa pulang! Tadi ternyata Kak Elvan benar-benar menyuruh orang untuk memperbaiki jembatan itu, sekarang sepertinya sudah bisa digunakan, hujan juga sudah mulai reda. Untungnya di tempat ini hujannya cepat reda, kalau tidak kita benar-benar terpaksa bermalam di sini.” Alisha berkata dengan senyum mengembang, memperlihatkan ekspresi bahagianya.“Elvan menyuruh orang untuk memperbaikinya?” Diva mengul
“Ah, bibi tahu kamu pasti mau mengantarkan Marissa. Sayang, ayo sini, sudah Ibu bilang, Elvan pasti bersedia mengantarkanmu pulang ke rumah.” Nara menggamit tangan Marissa dan berjalan mendekati Elvan.“Bibi sebentar.” Elvan menahan Nara dan Marissa yang berjalan mendekat. “Maksudku, sopirku yang akan mengantarkan Marissa.” Elvan berkata cepat.“Hah?” Seketika wanita itu terdiam.“Marissa bawa mobil, kan? Nanti biar sopirku yang mengantarkannya pulang.” Elvan berkata tegas. “Andi, antar Nona Marissa pulang. Saya biar bisa menyetir sendiri.”“Baik, Pak.” Andi sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan mendekati Marissa.“Sayang, ayo kita pulang.” Elvan berkata lembut pada Diva, dan menutup pintu mobil bagian belakang itu, membawa Diva melewati Nara dan juga Marissa lalu membuka pintu mobil bagian depan di bangku sebelah pengemudi.“Masuklah,” ucap Elvan pada Diva.Diva segera masuk dengan cepat. Diva melihat Elvan yang berjalan memutar dan juga mengingat wajah Marissa dan Bibi Nara yan
Beberapa kali Diva mengerjapkan matanya, dia tidak percaya pria itu berkata hal seperti ini padanya. “Sudah jangan banyak dipikirkan, lanjutkan saja apa yang ingin kamu kerjakan.” Elvan lalu duduk di kursi teras. Seperti yang dikatakan oleh Elvan, Diva tidak ambil pusing, sekarang dia harus menghubungi keluarganya. Diva lalu masuk ke akun pribadi dan mendapatkan nomor ayah dan ibunya. “Ketemu!” Diva berkata dengan bahagia, Elvan hanya mengamati wajah wanita itu dengan tersenyum geli, menyadari dia mulai sedikit berlebihan, Elvan segera memasang wajah datarnya kembali. Sebenarnya kalau dia mau, seharusnya dia bisa menghubungi Prisya, tapi … kalau dengan cara ini dia bisa mendapatkan informasi kontak keluarganya yang lain, kenapa tidak menggunakan kesempatan yang ada di depan mata. Diva lalu menghubungi nomor itu Setelah cukup lama, akhirnya panggilan tersambung.“Halo, ayah! Ayah ada dimana?” tanya Diva langsung saat telepon tersambung. “Kak Diva?!” Terdengar suara Prisya yang te
Sepanjang perjalan mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Ayo turun.” Elvan berkata pada Diva yang masih terlihat melamun. “Ah, sudah sampai.” Diva dengan cepat melepas seatbeltnya dan menarik tuas pintu untuk segera keluar. Diva berjalan lebih dulu masuk ke lobi dengan langkah cepat. “Kenapa kamu tampak buru-buru sekali, apa aku ini hantu?” Elvan bertanya saat sudah menyejajarkan langkahnya dengan Diva. “Bukan seperti itu, aku sudah sangat lapar!” Diva berkata cepat tanpa melihat lawan bicaranya. Jelas sekali kalau dirinya sedang mencari-cari alasan saja.“Restoran ada di sebelah kanan Diva,” tegur Elvan, dia lalu menarik tangan Diva. Wanita itu terkejut dan terpaksa mengikuti langkah kaki Elvan, matanya beredar pandang dan berdoa semoga dia tidak bertemu dengan anggota keluarganya di tempat ini. Diva lega saat masuk di area restoran, setidaknya hanya kemungkinan kecil keluarganya akan makan di tempat ini. Apalagi ini restoran kelas atas dan makanannya pasti tid
Diva menarik napas dalam, dia tidak percaya kalau pria ini benar-benar di luar nalar! “Kenapa malah melamun lagi?” tanya Elvan lagi. “Itu … maksudku apa kamu tidak merasa kalau tiba-tiba uangmu bisa saja hilang karena kupindahkan ke rekening pribadiku?” “Lakukan saja kalau kamu mau.” Elvan berkata seolah tidak ada masalah. Diva tidak habis pikir dengan jalan pikiran Elvan. Tidak ingin terlibat perdebatan yang panjang lagi, wanita itu lalu mendecakkan lidahnya. “Terus pinnya berapa?” “0 enam kali,” jawab Elvan singkat. “Semudah itu?” Diva tidak percaya dengan apa yang baru saja disebutkan oleh Elvan. “Aku sudah menggantinya, agar kamu mudah mengingatnya," ucap Elvan sembari menunjukkan ponselnya, menyatakan secara tidak langsung kalau dia mengubahnya melalui layanan mobile perbankan yang dia miliki. "Atau kamu bisa menggantinya lagi saja dengan yang bisa kamu ingat," lanjut Elvan.“Menggantinya?” Diva melebarkan matanya lagi.“Ya, mengubah pin bisa dilakukan dimana saja saat ini
Jangan ditanya apa yang saat ini dirasakan oleh Diva! Apa dia harus senang atau tidak. Setelah menatap Elvan yang kian menjauh, mendadak kaki Diva terasa sangat lemas, dia akhirnya memutuskan untuk duduk sejenak di sofa yang ada di lobi ini sambil mengatur napasnya.‘Apa aku tidak sedang bermimpi?’ tanya Diva pada dirinya sendiri.Untuk memastikan hal itu, Diva akhirnya mencubit keras lengan kirinya, “Auw!” teriaknya karena terasa sakit.“Ini benar-benar bukan mimpi Diva.” Diva berkata pada dirinya sendiri dengan menggumam pelan.“Tadi itu apa dia sedang menyatakan cinta?” Jika dilihat dari raut wajahnya saat ini, Diva terlihat linglung!Akan tetapi wanita ini langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak-tidak! Dia tidak menyatakan cinta, dia hanya mengatakan menghilangkan hubungan pura-pura saja. Artinya dia benar-benar memintaku untuk menjadi tunangan sungguhan?” Diva kembali berkata dengan suara tercekat di tenggorokan.“Ya Tuhan … apa aku tidak salah dengar? Dia benar-ben
“Ah, maaf-maaf, aku tidak sengaja.” Diva dengan cepat mengambil pecahan gelas yang ada di lantai, sedangkan Prisya melihat ke arah Diva dengan sorot mata penuh makna.“Sudah, kamu duduk saja, ini biar ayah yang bersiin, nanti tangan kamu luka.” Lukman menyuruh Diva duduk di kursi dan pria paruh baya itu dengan cepat mengambil alih pekerjaan Diva. Diva makin kacau dengan pikirannya, dia duduk dengan tatapan mata kosong ke depan. Dia tidak mendengar apa yang sedang anggota keluarganya bicarakan saat ini, karena kepalanya penuh dengan dilema yang makin menggila!“Diva, kamu kenapa, Nak?” Lukman memegang lembut tangan anaknya, Diva segera tersadar dari pikiran-pikiran yang menyerang kepalanya.“Ah, tidak, Yah, Diva tidak ap-apa.” Diva berkata dengan cepat dan tersenyum.“Apa kamu masih sakit hati ditinggal si Nico itu?” tanya Lukman lagi.Diva menggeleng cepat. “Tidak, Yah, aku tidak apa-apa kok. Lagian lebih bagus tidak sampai pelaminan, kan? Pria yang selingkuh pasti akan melakukannya
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk