udah mulai panas... ada yg mau lagi? komen dong, temen2nya chinta.. ❤️❤️❤️
Diva berjalan bersisian dengan Alisha, adik Elvan ini mencari Diva karena wanita itu dicari oleh Radiah, sang nenek. “Kenapa tiba-tiba nenek mencariku?” tanya Diva pada Alisha yang mengatakan kalau dirinya dicari oleh sang nenek. Al hanya menaikkan kedua bahunya seraya berkata, “Entahlah, tapi kupikir akan ada hal yang mengejutkan!” “Hah? Kejutan seperti apa misalnya?” Diva jelas penasaran. “Nanti juga tahu sendiri kalo udah ketemu, kan?” Ucapan Al ini membuat Diva makin gugup, di dalam otaknya sudah terbayang akan ada banyak kata bohong yang keluar dari mulutnya! Ini pasti akan berbicara tentang Elvan. ‘Diva. teruslah berusaha sebaik mungkin dan jangan terbawa perasaan. Anggap saja ini pekerjaan dan lakukan dengan profesional.’ Diva bertekad dalam hati. Alisha membawa Diva ke sebuah ruangan, wanita itu sedang duduk dengan santai di atas kursi malas yang menghadap ke luar jendela yang tirainya sebagian tertutup. “Nenek, Al sudah bawain Kak Diva.” Wanita paruh baya itu mengangg
Diva tidak mengerti dengan jalan pikiran nenek Elvan ini. Apakah memperingatkan dirinya untuk menyerah saja? “Apa nenek menyuruhku untuk meninggalkan Elvan?” Diva kembali bertanya dengan sungguh-sungguh. “Kalau nenek mengatakan ya bagaimana?” Wanita itu melihat ke arah Diva dengan tatapan yang Diva sendiri tidak bisa mengartikan tujuan sebenarnya. Diva meneguk air liurnya untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba kering. Lalu, menarik napas dalam kemudian mengambil kotak beludru tersebut dari atas meja, melihatnya sekali lagi selanjutnya menatap Radiah. “Jika aku mengambil ini dan meninggalkan Elvan apa menurut nenek dia akan diam saja?” tanya Diva dengan suara sedikit bergetar. Radiah diam, wajahnya datar, sulit menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. “Tidak ada jaminan dia tidak bosan dengan sesuatu.” Radiah berkata datar dan tenang. Diva mengangguk, lalu menutup kotak itu dan menggenggamnya, kemudian dia menatap Radiah dan berkata, “Begini saja, Nek. Bagaimana kalau
“Elvan, kamu … kamu kenapa?!” Wanita itu dengan cepat melangkahkan kakinya masuk ke kamar Elvan. Dia melihat pria itu dalam kondisi yang sedikit buruk dan segera menghampirinya. Elvan dalam posisi bersujud di lantai sambil memegang dadanya. “Kamu kenapa, Van?!” Diva terlihat panik, apalagi saat melihat wajah Elvan yang sudah berubah menjadi kemerahan entah kenapa suhu tubuhnya seperti lebih panas dari biasanya. Napasnya terdengar tidak teratur. “Jangan di lantai. Sini berdiri biar aku bantu pindah ke atas.” Diva berkata dengan panik. Diva berusaha untuk memapah tubuh Elvan ke atas tempat tidur, entah kekuatan dari mana dia bisa membantu Elvan yang tubuhnya cukup berat itu beranjak dari lantai. Namun, karena memang tubuh Elvan yang cukup besar membuatnya limbung saat akan berpindah ke tempat tidur. Tubuh Elvan berada tepat di atas Diva. Wanita itu membeku seketika, ini kali pertama dia benar-benar berada dekat dengan pria tanpa jarak! Napas Elvan terdengar memburu di samping teling
Di tempat lain, Diva merasakan wajahnya yang sedikit panas. Kelakuan Elvan barusan cukup aneh baginya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat terpikir hal lain.“Apa dia menyembunyikan sesuatu, ya?” tanyanya pada diri sendiri.“Ah, lagian kenapa harus peduli sih?! Dia juga tadi masih bisa mempermainkanku! Menyebalkan sekali!” Diva berkata kesal pada dirinya sendiri.“Kak Diva, kenapa masih di sini? Apa kakak gak ketemu sama Kak Elvan?” tanya Alisha sedikit heran dan membuat Diva sedikit terkejut.“Ah, Itu … belum, aku belum bertemu dengan kakakmu.” Diva tersenyum singkat.“Kita akhirnya bisa pulang! Tadi ternyata Kak Elvan benar-benar menyuruh orang untuk memperbaiki jembatan itu, sekarang sepertinya sudah bisa digunakan, hujan juga sudah mulai reda. Untungnya di tempat ini hujannya cepat reda, kalau tidak kita benar-benar terpaksa bermalam di sini.” Alisha berkata dengan senyum mengembang, memperlihatkan ekspresi bahagianya.“Elvan menyuruh orang untuk memperbaikinya?” Diva mengul
“Ah, bibi tahu kamu pasti mau mengantarkan Marissa. Sayang, ayo sini, sudah Ibu bilang, Elvan pasti bersedia mengantarkanmu pulang ke rumah.” Nara menggamit tangan Marissa dan berjalan mendekati Elvan.“Bibi sebentar.” Elvan menahan Nara dan Marissa yang berjalan mendekat. “Maksudku, sopirku yang akan mengantarkan Marissa.” Elvan berkata cepat.“Hah?” Seketika wanita itu terdiam.“Marissa bawa mobil, kan? Nanti biar sopirku yang mengantarkannya pulang.” Elvan berkata tegas. “Andi, antar Nona Marissa pulang. Saya biar bisa menyetir sendiri.”“Baik, Pak.” Andi sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan mendekati Marissa.“Sayang, ayo kita pulang.” Elvan berkata lembut pada Diva, dan menutup pintu mobil bagian belakang itu, membawa Diva melewati Nara dan juga Marissa lalu membuka pintu mobil bagian depan di bangku sebelah pengemudi.“Masuklah,” ucap Elvan pada Diva.Diva segera masuk dengan cepat. Diva melihat Elvan yang berjalan memutar dan juga mengingat wajah Marissa dan Bibi Nara yan
Beberapa kali Diva mengerjapkan matanya, dia tidak percaya pria itu berkata hal seperti ini padanya. “Sudah jangan banyak dipikirkan, lanjutkan saja apa yang ingin kamu kerjakan.” Elvan lalu duduk di kursi teras. Seperti yang dikatakan oleh Elvan, Diva tidak ambil pusing, sekarang dia harus menghubungi keluarganya. Diva lalu masuk ke akun pribadi dan mendapatkan nomor ayah dan ibunya. “Ketemu!” Diva berkata dengan bahagia, Elvan hanya mengamati wajah wanita itu dengan tersenyum geli, menyadari dia mulai sedikit berlebihan, Elvan segera memasang wajah datarnya kembali. Sebenarnya kalau dia mau, seharusnya dia bisa menghubungi Prisya, tapi … kalau dengan cara ini dia bisa mendapatkan informasi kontak keluarganya yang lain, kenapa tidak menggunakan kesempatan yang ada di depan mata. Diva lalu menghubungi nomor itu Setelah cukup lama, akhirnya panggilan tersambung.“Halo, ayah! Ayah ada dimana?” tanya Diva langsung saat telepon tersambung. “Kak Diva?!” Terdengar suara Prisya yang te
Sepanjang perjalan mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Ayo turun.” Elvan berkata pada Diva yang masih terlihat melamun. “Ah, sudah sampai.” Diva dengan cepat melepas seatbeltnya dan menarik tuas pintu untuk segera keluar. Diva berjalan lebih dulu masuk ke lobi dengan langkah cepat. “Kenapa kamu tampak buru-buru sekali, apa aku ini hantu?” Elvan bertanya saat sudah menyejajarkan langkahnya dengan Diva. “Bukan seperti itu, aku sudah sangat lapar!” Diva berkata cepat tanpa melihat lawan bicaranya. Jelas sekali kalau dirinya sedang mencari-cari alasan saja.“Restoran ada di sebelah kanan Diva,” tegur Elvan, dia lalu menarik tangan Diva. Wanita itu terkejut dan terpaksa mengikuti langkah kaki Elvan, matanya beredar pandang dan berdoa semoga dia tidak bertemu dengan anggota keluarganya di tempat ini. Diva lega saat masuk di area restoran, setidaknya hanya kemungkinan kecil keluarganya akan makan di tempat ini. Apalagi ini restoran kelas atas dan makanannya pasti tid
Diva menarik napas dalam, dia tidak percaya kalau pria ini benar-benar di luar nalar! “Kenapa malah melamun lagi?” tanya Elvan lagi. “Itu … maksudku apa kamu tidak merasa kalau tiba-tiba uangmu bisa saja hilang karena kupindahkan ke rekening pribadiku?” “Lakukan saja kalau kamu mau.” Elvan berkata seolah tidak ada masalah. Diva tidak habis pikir dengan jalan pikiran Elvan. Tidak ingin terlibat perdebatan yang panjang lagi, wanita itu lalu mendecakkan lidahnya. “Terus pinnya berapa?” “0 enam kali,” jawab Elvan singkat. “Semudah itu?” Diva tidak percaya dengan apa yang baru saja disebutkan oleh Elvan. “Aku sudah menggantinya, agar kamu mudah mengingatnya," ucap Elvan sembari menunjukkan ponselnya, menyatakan secara tidak langsung kalau dia mengubahnya melalui layanan mobile perbankan yang dia miliki. "Atau kamu bisa menggantinya lagi saja dengan yang bisa kamu ingat," lanjut Elvan.“Menggantinya?” Diva melebarkan matanya lagi.“Ya, mengubah pin bisa dilakukan dimana saja saat ini