“Ah, bibi tahu kamu pasti mau mengantarkan Marissa. Sayang, ayo sini, sudah Ibu bilang, Elvan pasti bersedia mengantarkanmu pulang ke rumah.” Nara menggamit tangan Marissa dan berjalan mendekati Elvan.“Bibi sebentar.” Elvan menahan Nara dan Marissa yang berjalan mendekat. “Maksudku, sopirku yang akan mengantarkan Marissa.” Elvan berkata cepat.“Hah?” Seketika wanita itu terdiam.“Marissa bawa mobil, kan? Nanti biar sopirku yang mengantarkannya pulang.” Elvan berkata tegas. “Andi, antar Nona Marissa pulang. Saya biar bisa menyetir sendiri.”“Baik, Pak.” Andi sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan mendekati Marissa.“Sayang, ayo kita pulang.” Elvan berkata lembut pada Diva, dan menutup pintu mobil bagian belakang itu, membawa Diva melewati Nara dan juga Marissa lalu membuka pintu mobil bagian depan di bangku sebelah pengemudi.“Masuklah,” ucap Elvan pada Diva.Diva segera masuk dengan cepat. Diva melihat Elvan yang berjalan memutar dan juga mengingat wajah Marissa dan Bibi Nara yan
Beberapa kali Diva mengerjapkan matanya, dia tidak percaya pria itu berkata hal seperti ini padanya. “Sudah jangan banyak dipikirkan, lanjutkan saja apa yang ingin kamu kerjakan.” Elvan lalu duduk di kursi teras. Seperti yang dikatakan oleh Elvan, Diva tidak ambil pusing, sekarang dia harus menghubungi keluarganya. Diva lalu masuk ke akun pribadi dan mendapatkan nomor ayah dan ibunya. “Ketemu!” Diva berkata dengan bahagia, Elvan hanya mengamati wajah wanita itu dengan tersenyum geli, menyadari dia mulai sedikit berlebihan, Elvan segera memasang wajah datarnya kembali. Sebenarnya kalau dia mau, seharusnya dia bisa menghubungi Prisya, tapi … kalau dengan cara ini dia bisa mendapatkan informasi kontak keluarganya yang lain, kenapa tidak menggunakan kesempatan yang ada di depan mata. Diva lalu menghubungi nomor itu Setelah cukup lama, akhirnya panggilan tersambung.“Halo, ayah! Ayah ada dimana?” tanya Diva langsung saat telepon tersambung. “Kak Diva?!” Terdengar suara Prisya yang te
Sepanjang perjalan mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Ayo turun.” Elvan berkata pada Diva yang masih terlihat melamun. “Ah, sudah sampai.” Diva dengan cepat melepas seatbeltnya dan menarik tuas pintu untuk segera keluar. Diva berjalan lebih dulu masuk ke lobi dengan langkah cepat. “Kenapa kamu tampak buru-buru sekali, apa aku ini hantu?” Elvan bertanya saat sudah menyejajarkan langkahnya dengan Diva. “Bukan seperti itu, aku sudah sangat lapar!” Diva berkata cepat tanpa melihat lawan bicaranya. Jelas sekali kalau dirinya sedang mencari-cari alasan saja.“Restoran ada di sebelah kanan Diva,” tegur Elvan, dia lalu menarik tangan Diva. Wanita itu terkejut dan terpaksa mengikuti langkah kaki Elvan, matanya beredar pandang dan berdoa semoga dia tidak bertemu dengan anggota keluarganya di tempat ini. Diva lega saat masuk di area restoran, setidaknya hanya kemungkinan kecil keluarganya akan makan di tempat ini. Apalagi ini restoran kelas atas dan makanannya pasti tid
Diva menarik napas dalam, dia tidak percaya kalau pria ini benar-benar di luar nalar! “Kenapa malah melamun lagi?” tanya Elvan lagi. “Itu … maksudku apa kamu tidak merasa kalau tiba-tiba uangmu bisa saja hilang karena kupindahkan ke rekening pribadiku?” “Lakukan saja kalau kamu mau.” Elvan berkata seolah tidak ada masalah. Diva tidak habis pikir dengan jalan pikiran Elvan. Tidak ingin terlibat perdebatan yang panjang lagi, wanita itu lalu mendecakkan lidahnya. “Terus pinnya berapa?” “0 enam kali,” jawab Elvan singkat. “Semudah itu?” Diva tidak percaya dengan apa yang baru saja disebutkan oleh Elvan. “Aku sudah menggantinya, agar kamu mudah mengingatnya," ucap Elvan sembari menunjukkan ponselnya, menyatakan secara tidak langsung kalau dia mengubahnya melalui layanan mobile perbankan yang dia miliki. "Atau kamu bisa menggantinya lagi saja dengan yang bisa kamu ingat," lanjut Elvan.“Menggantinya?” Diva melebarkan matanya lagi.“Ya, mengubah pin bisa dilakukan dimana saja saat ini
Jangan ditanya apa yang saat ini dirasakan oleh Diva! Apa dia harus senang atau tidak. Setelah menatap Elvan yang kian menjauh, mendadak kaki Diva terasa sangat lemas, dia akhirnya memutuskan untuk duduk sejenak di sofa yang ada di lobi ini sambil mengatur napasnya.‘Apa aku tidak sedang bermimpi?’ tanya Diva pada dirinya sendiri.Untuk memastikan hal itu, Diva akhirnya mencubit keras lengan kirinya, “Auw!” teriaknya karena terasa sakit.“Ini benar-benar bukan mimpi Diva.” Diva berkata pada dirinya sendiri dengan menggumam pelan.“Tadi itu apa dia sedang menyatakan cinta?” Jika dilihat dari raut wajahnya saat ini, Diva terlihat linglung!Akan tetapi wanita ini langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak-tidak! Dia tidak menyatakan cinta, dia hanya mengatakan menghilangkan hubungan pura-pura saja. Artinya dia benar-benar memintaku untuk menjadi tunangan sungguhan?” Diva kembali berkata dengan suara tercekat di tenggorokan.“Ya Tuhan … apa aku tidak salah dengar? Dia benar-ben
“Ah, maaf-maaf, aku tidak sengaja.” Diva dengan cepat mengambil pecahan gelas yang ada di lantai, sedangkan Prisya melihat ke arah Diva dengan sorot mata penuh makna.“Sudah, kamu duduk saja, ini biar ayah yang bersiin, nanti tangan kamu luka.” Lukman menyuruh Diva duduk di kursi dan pria paruh baya itu dengan cepat mengambil alih pekerjaan Diva. Diva makin kacau dengan pikirannya, dia duduk dengan tatapan mata kosong ke depan. Dia tidak mendengar apa yang sedang anggota keluarganya bicarakan saat ini, karena kepalanya penuh dengan dilema yang makin menggila!“Diva, kamu kenapa, Nak?” Lukman memegang lembut tangan anaknya, Diva segera tersadar dari pikiran-pikiran yang menyerang kepalanya.“Ah, tidak, Yah, Diva tidak ap-apa.” Diva berkata dengan cepat dan tersenyum.“Apa kamu masih sakit hati ditinggal si Nico itu?” tanya Lukman lagi.Diva menggeleng cepat. “Tidak, Yah, aku tidak apa-apa kok. Lagian lebih bagus tidak sampai pelaminan, kan? Pria yang selingkuh pasti akan melakukannya
Setelah mengantar Diva, tampak Elvan sedang duduk di taman belakang seorang diri. Pria itu terdiam selagi menatap langit malam, melamunkan mengenai apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Diva.Mengingat bagaimana wajah Diva merona dan kebingungan saat mendengar pertanyaannya, Elvan tak elak menundukkan kepala dan tersenyum manis. ‘Ah … aku benar-benar jatuh terlalu dalam …,’ batinnya sembari tersenyum, merasakan hatinya menghangat setiap kali membayangkan tentang Diva.Tiba-tiba ….“Hayo loh! Ngapain senyum-senyum sendiri?!” Suara seseorang membuat Elvan tersadar dari alam pikirannya dan langsung menoleh.Ternyata, itu Alisha!“Kamu sudah pulang?” Elvan menautkan alis, agak bingung melihat sang adik yang seharusnya masih berada di tempat pacuan kuda.“Sudah dong! Kakak tahu sendiri aku juga salah satu orang yang tidak suka kumpul di acara itu,” balas Alisha sembari tersenyum.Alisha lalu mengambil tempat di hadapan Elvan dan meletakkan dua kaleng minuman soda yang dia bawa
“Kak Diva!” Suara Prisya terdengar nyaring memukul gendang telinga Diva.Diva merasakan kalau tubuhnya saat ini digoyang dengan kuat.“Prisya … kamu ngapain sih ganggu orang tidur aja.” Diva berkata dengan suara serak, kepalanya masih terasa sangat berat, karena semalam cukup lama dia merenungkan banyak hal.“Sudah jam 10 lebih! Mau rencana tidur sampe kapan? Bentar lagi mau check out nih! Atau kita extend aja, tapi kali ini kakak yang bayar!” Prisya berkata dengan semangat 45.Diva langsung duduk dan meraih jam tangan yang dia letakkan di atas nakas bersebelahan dengan handphonenya. Matanya melotot saat melihat sekarang sudah nyaris jam setengah sebelas siang.“Kok kamu gak bangunin kakak dari pagi tadi sih?” Diva bergegas ke toilet dan mencuci mukanya.“Kakak tidurnya kayak kebo! Udah dibangunin tiap jam, jawabannya entar lagi terus! Tuh muka Kakak udah bengkak karena kebanyakan tidur! ” Suara Prisya terdengar nyaring walaupun Diva sudah menutup pintu toilet dengan rapat.Tidak lama