“Kak Diva!” Suara Prisya terdengar nyaring memukul gendang telinga Diva.Diva merasakan kalau tubuhnya saat ini digoyang dengan kuat.“Prisya … kamu ngapain sih ganggu orang tidur aja.” Diva berkata dengan suara serak, kepalanya masih terasa sangat berat, karena semalam cukup lama dia merenungkan banyak hal.“Sudah jam 10 lebih! Mau rencana tidur sampe kapan? Bentar lagi mau check out nih! Atau kita extend aja, tapi kali ini kakak yang bayar!” Prisya berkata dengan semangat 45.Diva langsung duduk dan meraih jam tangan yang dia letakkan di atas nakas bersebelahan dengan handphonenya. Matanya melotot saat melihat sekarang sudah nyaris jam setengah sebelas siang.“Kok kamu gak bangunin kakak dari pagi tadi sih?” Diva bergegas ke toilet dan mencuci mukanya.“Kakak tidurnya kayak kebo! Udah dibangunin tiap jam, jawabannya entar lagi terus! Tuh muka Kakak udah bengkak karena kebanyakan tidur! ” Suara Prisya terdengar nyaring walaupun Diva sudah menutup pintu toilet dengan rapat.Tidak lama
“Kamu … bertunangan dengan Elvan?!” Chelsea tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mengernyit dan pandangannya menyelidik.“Kalau tidak, hubungan apa yang bisa membuatku berada di tempat ini berdua saat hari libur? Apa aku terlihat ingin berdiskusi tentang urusan bisnis?” Diva berkata dengan nada sarkas.Elvan diam, dia hanya memperhatikan keadaan saja sambil bersedekap, dia melihat mata Diva yang menyimpan amarah di sana.Tania menyadari situasi yang sedikit tegang, dia dengan cepat berkata, “Ah, Diva, kamu salah paham, Chelsea tidak ada maksud untuk–”“Sayang, kalau sudah selesai makannya, apa kita bisa pergi sekarang?” Elvan berkata dengan lembut pada Diva, seolah tidak ada kedua temannya di sana.Diva mengangguk dan menjawab, “Ya, aku sudah selesai." Diva kemudian kembali melihat ke arah kedua temannya dan berkata, "Aku masih ada urusan lain, kami pergi dulu.” Diva lalu beranjak dari kursinya.“Ah, iya! Lain kali kita bertemu lagi, ya!” Tania berkata dengan na
Diva melihat senyuman Elvan yang membuat hatinya merasa damai. Perasaan ini ... sejatinya tidak bisa dibohongi, kan?“Diva, kutegaskan sekali lagi. Aku akan menunggumu, jadi jangan terlalu terbebani, hehm?” Diva menundukkan padangannya, menarik napas sesaat lalu kembali melihat ke arah Elvan. “Apa aku boleh bertanya sesuatu?” Elvan mengangguk. “Bagaimana jika kamu menemui orang tuaku tetapi mereka tidak menyetujuinya? Apa yang akan kamu lakukan?” Diva bertanya dengan nada yang tenang tetapi hati bergelombang hebat. Elvan menghela napas dan melihat ke arah Diva kembali dengan tatapan tajam. “Maka aku harus terus berusaha. Aku yakin tidak ada usaha yang sia-sia.” “Apa kamu seyakin itu?” tanya Diva lagi. “Aku sangat yakin, yang masih belum yakin itu, kamu. Apa aku benar?” DEG! Ucapan Elvan tidak salah! Benar, dia sangat tidak yakin. Tidak yakin untuk menerima maupun menolak dengan tegas. Apa dirinya sangat egois menggantung hubungan nyata ini? “Apa aku wanita kejam yang menggant
“Kenapa, Div?” Elvan heran karena melihat perubahan di raut wajah Diva.“Tidak apa-apa.” Diva menjawab cepat dan berusaha menetralisir riak wajahnya.“Kalau begitu, ayo masuk.” Elvan berbisik lembut di telinga Diva, lalu mengurai tangannya di genggaman Diva, beralih merangkulnya untuk berjalan masuk ke dalam.“Van,” ucap Diva lalu menghentikan kembali langkahnya dan menahan Elvan untuk melangkah masuk. “Aku ….” Diva diam, dia tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya pada Elvan kalau dia lebih baik pulang saja.“Elvan! Akhirnya kamu ada waktu untuk datang ke tempatku juga!” Suara itu terdengar jelas dari arah belakang Diva dan suara itu juga masih terekam dengan sangat jernih di ingatan Diva tentang kejadian yang belum lama ini terjadi. Diva mematung di tempat, tangannya terkepal kuat. Diva mencoba menahan rasa bergejolak hebat dalam hatinya.“Kamu datang dengan siap–” pria itu menghentikan ucapannya saat melihat Diva. “Gantari?!” Dia berkata dengan senyuman penuh mak
“Kamu … berani sekali kamu memukulku!” Wajahnya memerah dan nada suaranya terdengar sangat gusar.“Kamu pikir aku tidak berani hanya karena kamu orang terpandang? Ternyata orang sepertimu ini tidak lebih dari sekedar hewan liar pencari mangsa!” Ucapan Diva barusan membuat Anggala terprovokasi, membuatnya menarik tubuh Diva dan mendorongnya kembali masuk ke dalam toilet lalu menguncinya dari dalam.“Apa yang mau kamu lakukan?!” Diva berusaha berontak, pergelangan tangannya dicengkram dengan kuat sekali.“Aku mau bermain-main dengan pacarnya Elvan!” “Kamu pikir Elvan akan melepaskanmu begitu saja?!” Diva berkata dengan suara bergetar, tubuhnya mulai gemetar, rasa takut mulai menggelenyar di sekujur tubuhnya.“Ah, kamu pikir aku takut dengan bocah itu?! Sesuatu yang dia miliki pasti ada yang berbeda, karena itu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menikmatimu.” Anggala terus maju membuat Diva yang melangkah mundur terhenti karena tembok yang ada di belakangnya.Diva berusaha untuk memukul
Elvan sudah menjalankan mobilnya ke jalan raya, Diva ingin bertanya lebih lanjut perihal itu, tetapi dia masih ragu. Dia juga melihat wajah Elvan yang nampak serius, tidak seperti biasanya. Wajah pria itu sedikit menggelap, menimbulkan kesan dominan yang menakutkan. “Van, bisa mampir ke toko itu sebentar?” Diva menunjuk ke sebuah toserba di pinggir jalan. Elvan mengangguk dan menepikan kendaraannya. “Tunggu sebentar.” Diva segera keluar dari dalam mobil menuju minimarket itu. Elvan mengamatinya dari dalam mobil. Kepalanya berpikir dengan kejadian barusan di acara temannya. Sesaat setelah Diva pergi ke toilet tadi, Mario, salah satu rekannya menghampirinya. “Wanita bersamamu itu, apa dia Ratri?” tanyanya pada Elvan. “Ratri?” Elvan mengerutkan keningnya lalu menggeleng. “Masa sih? Kok mirip banget ya, ah, pasti dia saudaranya si Diva, ya?” Mario berkata santai. “Kamu … mengenalnya juga?” tanya Elvan dengan menaikkan sebelah alisnya. “Jadi benar dia Diva?” tanya Mario lagi. E
Semua temannya asyik membicarakan wanita ini, tetapi pikiran Elvan sudah sibuk memikirkan Diva. “Kapan kejadian ini?” tanya Elvan dengan nada datar, tetapi dia tidak ingin melihat apa yang mereka tontonkan. “Belum ada dua tahun ini mungkin,” jawab Mario. “Kau tahu, Anggala sangat penasaran dengannya saat itu. Dia sepertinya sangat susah untuk ditaklukan, ternyata setelah dia menjebaknya si Anggala gila itu malah meninggalkannya.” Mario terkekeh geli. Mendengar pernyataan itu tiba-tiba pelipisnya berkedut. “Lalu kalian sebagai temannya hanya diam saja?” Elvan berkata dengan suara tenang. “Lah, kita harus melakukan apa? Tahu sendiri, Anggala kalau sudah menginginkan wanita dia akan mati-matian menggapainya dan urusan setelahnya kita tidak perlu ikut campur terlalu dalam.” Wajah Elvan mulai menggelap, dia tidak percaya kalau ternyata tingkah laku teman-temannya ini sungguh biadab. “Lalu video ini sudah disebar?” tanya Elvan lagi. “No! Ini hanya untuk kalangan kita saja. Anggala m
Diva terdiam mendengarkan pernyataan barusan. Diva mengalihkan pandangannya, dia menghela napas berat lalu detik berikutnya dia menunduk dan memejamkan matanya. “Aku ….” Ingin rasanya dia menceritakan hal itu, tetapi lidahnya menjadi kelu, terlalu banyak yang ada di dalam kepalanya, hingga dia sendiri tidak tahu mana yang harus diutarakan terlebih dahulu. “Apa benar temanku sudah membuat saudaramu terluka?” tanya Elvan lagi. Diva masih diam, mencoba mengatur ritme napasnya. Entah kenapa melihat Diva seperti sekarang membuat Elvan makin ingin melindunginya. “Kalau belum mau mengatakannya, perlahan saja. Aku akan mendengarkan kapan kamu siap akan bercerita. Tapi saat kamu cerita jangan ada yang ditutupi dan disembunyikan agar aku bisa membantumu.” Elvan berkata dengan sungguh-sungguh, Diva bisa merasakan hal tersebut. Diva membuka matanya dan melihat ke arah Elvan. “Kamu … bersedia membantuku?” tanya Diva lagi. Elvan mengangguk memberikan kepastian. “Pasti aku akan membantu