Terima kasih untuk kalian yang masih menikmati cerita ini! Chinta usahakan akan update rutin kembali, ya! 🥰🥰🥰
“Kamu … berani sekali kamu memukulku!” Wajahnya memerah dan nada suaranya terdengar sangat gusar.“Kamu pikir aku tidak berani hanya karena kamu orang terpandang? Ternyata orang sepertimu ini tidak lebih dari sekedar hewan liar pencari mangsa!” Ucapan Diva barusan membuat Anggala terprovokasi, membuatnya menarik tubuh Diva dan mendorongnya kembali masuk ke dalam toilet lalu menguncinya dari dalam.“Apa yang mau kamu lakukan?!” Diva berusaha berontak, pergelangan tangannya dicengkram dengan kuat sekali.“Aku mau bermain-main dengan pacarnya Elvan!” “Kamu pikir Elvan akan melepaskanmu begitu saja?!” Diva berkata dengan suara bergetar, tubuhnya mulai gemetar, rasa takut mulai menggelenyar di sekujur tubuhnya.“Ah, kamu pikir aku takut dengan bocah itu?! Sesuatu yang dia miliki pasti ada yang berbeda, karena itu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menikmatimu.” Anggala terus maju membuat Diva yang melangkah mundur terhenti karena tembok yang ada di belakangnya.Diva berusaha untuk memukul
Elvan sudah menjalankan mobilnya ke jalan raya, Diva ingin bertanya lebih lanjut perihal itu, tetapi dia masih ragu. Dia juga melihat wajah Elvan yang nampak serius, tidak seperti biasanya. Wajah pria itu sedikit menggelap, menimbulkan kesan dominan yang menakutkan. “Van, bisa mampir ke toko itu sebentar?” Diva menunjuk ke sebuah toserba di pinggir jalan. Elvan mengangguk dan menepikan kendaraannya. “Tunggu sebentar.” Diva segera keluar dari dalam mobil menuju minimarket itu. Elvan mengamatinya dari dalam mobil. Kepalanya berpikir dengan kejadian barusan di acara temannya. Sesaat setelah Diva pergi ke toilet tadi, Mario, salah satu rekannya menghampirinya. “Wanita bersamamu itu, apa dia Ratri?” tanyanya pada Elvan. “Ratri?” Elvan mengerutkan keningnya lalu menggeleng. “Masa sih? Kok mirip banget ya, ah, pasti dia saudaranya si Diva, ya?” Mario berkata santai. “Kamu … mengenalnya juga?” tanya Elvan dengan menaikkan sebelah alisnya. “Jadi benar dia Diva?” tanya Mario lagi. E
Semua temannya asyik membicarakan wanita ini, tetapi pikiran Elvan sudah sibuk memikirkan Diva. “Kapan kejadian ini?” tanya Elvan dengan nada datar, tetapi dia tidak ingin melihat apa yang mereka tontonkan. “Belum ada dua tahun ini mungkin,” jawab Mario. “Kau tahu, Anggala sangat penasaran dengannya saat itu. Dia sepertinya sangat susah untuk ditaklukan, ternyata setelah dia menjebaknya si Anggala gila itu malah meninggalkannya.” Mario terkekeh geli. Mendengar pernyataan itu tiba-tiba pelipisnya berkedut. “Lalu kalian sebagai temannya hanya diam saja?” Elvan berkata dengan suara tenang. “Lah, kita harus melakukan apa? Tahu sendiri, Anggala kalau sudah menginginkan wanita dia akan mati-matian menggapainya dan urusan setelahnya kita tidak perlu ikut campur terlalu dalam.” Wajah Elvan mulai menggelap, dia tidak percaya kalau ternyata tingkah laku teman-temannya ini sungguh biadab. “Lalu video ini sudah disebar?” tanya Elvan lagi. “No! Ini hanya untuk kalangan kita saja. Anggala m
Diva terdiam mendengarkan pernyataan barusan. Diva mengalihkan pandangannya, dia menghela napas berat lalu detik berikutnya dia menunduk dan memejamkan matanya. “Aku ….” Ingin rasanya dia menceritakan hal itu, tetapi lidahnya menjadi kelu, terlalu banyak yang ada di dalam kepalanya, hingga dia sendiri tidak tahu mana yang harus diutarakan terlebih dahulu. “Apa benar temanku sudah membuat saudaramu terluka?” tanya Elvan lagi. Diva masih diam, mencoba mengatur ritme napasnya. Entah kenapa melihat Diva seperti sekarang membuat Elvan makin ingin melindunginya. “Kalau belum mau mengatakannya, perlahan saja. Aku akan mendengarkan kapan kamu siap akan bercerita. Tapi saat kamu cerita jangan ada yang ditutupi dan disembunyikan agar aku bisa membantumu.” Elvan berkata dengan sungguh-sungguh, Diva bisa merasakan hal tersebut. Diva membuka matanya dan melihat ke arah Elvan. “Kamu … bersedia membantuku?” tanya Diva lagi. Elvan mengangguk memberikan kepastian. “Pasti aku akan membantu
Elvan, Dia sangat tidak menyangka kalau perbuatan Anggala malah mendapatkan perlindungan, bahkan Ayahnya, Darmawan, yang sangat dihormati oleh Elvan tega berbuat demikian. Elvan tidak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja dia dengar. Elvan tidak mendapati kebohongan yang keluar dari mulut Diva, karena dia sangat jelas menceritakan semuanya dengan gejolak emosi yang meledak, namun tetap dalam intonasi suara yang tenang. “Karena sebuah penolakan dan juga tudingan menyakitkan dari Anggala dan keluarganya, adikku juga sepertinya tidak sanggup untuk melahirkan anaknya, dia pernah beberapa kali mencoba untuk menggugurkan kandungannya, tetapi berhasil dicegah. Ayah berusaha menenangkannya dan terus mengatakan kalau ayah tidak menyalahkannya atas kejadian ini.” Elvan masih melihat ke dalam mata Diva betapa menyakitkannya kejadian yang sedang diceritakan wanita itu padanya. Tangan Diva saling meremas di atas meja, lalu menarik naalpas dalam dan berkata lagi, “Hal mengejutkan kembali ter
Diva, berpikir sejenak, apa Elvan baru saja mengetahuinya? Kalau benar, lantas tadi Elvan memukul Anggala karena apa? “Itu ….” Diva diam, lidahnya tiba-tiba kelu. “Katakan padaku apa yang dia lakukan padamu?” Elvan berkata dengan nada perlahan, matanya menatap Diva tanpa jeda. Diva diam, matanya memanas entah kenapa mengingat hal itu membuatnya tiba-tiba merasa takut. Tubuhnya bergetar hebat, membuat Elvan makin yakin ada hal buruk yang tidak terekam di dalam ruangan itu saat Anggala menarik Diva ke dalam toilet dalam waktu lima menit. “Katakan saja. Katakan padaku dia menyentuhmu dimana?” Kalimat itu terdengar sangat dingin, seolah pendingin ruangan ini tiba-tiba turun beberapa derajat, tubuh Diva menegang. Diva memejamkan matanya dan menggeleng perlahan. “Tidak, dia belum sempat melakukan apapun padaku.” Suara Diva terdengar serak, matanya mulai berembun, entah kenapa tatapan mata ini membuat sesuatu terasa begitu menyakitkan menusuk hati Elvan. Setelah mendengar hal itu Elvan
Dalam perjalanan pulang ke hotel mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Diva melirik ke arah Elvan. Diva memutar ingatannya tentang ekspresi yang terlihat pada Elvan saat dia menceritakan tentang adiknya. Lalu, ada satu hal yang membuatnya penasaran. “Van, kalau boleh tahu, tadi kamu memukul temanmu karena apa?” tanya Diva sekaligus memecah kesunyian diantara mereka. Elvan diam sejenak. “Aku tak bisa membiarkan aksi tak bermoral temanku mengacaukan kehidupan orang lain,” jawab Elvan. Diva diam. “Diva, walaupun yang ada di video itu bukan adikmu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Aku harus menyadarkan temanku kalau perbuatannya itu tindakan kejahatan.” Elvan berkata datar seperti biasa
Elvan mematung, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami. Pernyataan barusan, apa Diva menerimanya? Lalu Diva juga menciumnya? Apa dia sedang tidak bermimpi? Selama hidupnya, hanya Diva yang bisa membuat syaraf-syarafnya menjadi bermasalah. Kejadian barusan malah memperparah keadaannya. Dia tidak menyadari saat mengingat hal singkat itu membuatnya langsung merona dan menyunggingkan senyum lebar sembari mengusap pipinya. “Diva, kamu … benar-benar.” Elvan kembali bergumam sendiri, tapi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dia … terlalu bahagia. Namun, kebahagiaan itu sedikit terganggu ketika lamunan Elvan terpecah akibat getaran handphone miliknya, menandakan adanya pesan masuk. Pria itu segera membuka pesan yang masuk itu. Seketika, dia bisa melihat data tentang keluarga Diva. Sebelumnya, Elvan hanya menyelidiki tentang wanita itu, tetapi dia tidak tertarik dengan keluarganya. Sampai akhirnya Elvan baru menyadari bahwa keluarga adalah hal terpenting dalam sebuah h