Dalam perjalanan pulang ke hotel mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali Diva melirik ke arah Elvan. Diva memutar ingatannya tentang ekspresi yang terlihat pada Elvan saat dia menceritakan tentang adiknya. Lalu, ada satu hal yang membuatnya penasaran.
“Van, kalau boleh tahu, tadi kamu memukul temanmu karena apa?” tanya Diva sekaligus memecah kesunyian diantara mereka.
Elvan diam sejenak.
“Aku tak bisa membiarkan aksi tak bermoral temanku mengacaukan kehidupan orang lain,” jawab Elvan.
Diva diam.
“Diva, walaupun yang ada di video itu bukan adikmu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Aku harus menyadarkan temanku kalau perbuatannya itu tindakan kejahatan.” Elvan berkata datar seperti biasa
Elvan mematung, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia alami. Pernyataan barusan, apa Diva menerimanya? Lalu Diva juga menciumnya? Apa dia sedang tidak bermimpi? Selama hidupnya, hanya Diva yang bisa membuat syaraf-syarafnya menjadi bermasalah. Kejadian barusan malah memperparah keadaannya. Dia tidak menyadari saat mengingat hal singkat itu membuatnya langsung merona dan menyunggingkan senyum lebar sembari mengusap pipinya. “Diva, kamu … benar-benar.” Elvan kembali bergumam sendiri, tapi tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dia … terlalu bahagia. Namun, kebahagiaan itu sedikit terganggu ketika lamunan Elvan terpecah akibat getaran handphone miliknya, menandakan adanya pesan masuk. Pria itu segera membuka pesan yang masuk itu. Seketika, dia bisa melihat data tentang keluarga Diva. Sebelumnya, Elvan hanya menyelidiki tentang wanita itu, tetapi dia tidak tertarik dengan keluarganya. Sampai akhirnya Elvan baru menyadari bahwa keluarga adalah hal terpenting dalam sebuah h
Di kamar hotel, Prisya sibuk dengan ponsel setelah mematikan laptopnya. Dia mengirim pesan pada Elvan masalah pekerjaan. Lalu perhatiannya tertuju pada Diva, kakaknya ini bertingkah tidak biasa sejak pulang tadi membuatnya penasaran, dia yakin kalau tadi Diva pergi bersama Elvan.“Kamu manggil tadi kenapa Pris?” tanya Diva.“Tadi kakak dicariin Ayah. Tapi ayahnya udah balik ke sebelah lagi.” Prisya berkata santai. Dia masih penasaran dengan hubungan Diva dan Elvan, untuk memastikannya, Dia memberanikan diri untuk mengirim pesan pada Elvan.Selagi menunggu jawaban Elvan, Prisya mengambil minumnya di atas meja, Dia tiba-tiba tersedak minumnya sendiri saat membaca pesan masuk di ponselnya.“Kamu kenapa Pris?” tanya Diva yang saat ini sedang rebahan di atas tempat tidurnya.“Uhuk … uhuk …!” Prisya masih terbatuk, dia tidak salah baca, kan?‘Tunangan? Yang benar saja, pacaran belum tiba-tiba bilang tunangan.’ Prisya membatin.Prisya melihat ke ponselnya lalu kembali melihat ke arah Diva g
“Bakal jadi berita heboh ini kalo orang-orang pada tahu identitasnya Pak Elvan!” seru Prisya lagi. Diva yang tahu jelas kejadian itu mulai merasa gelisah. Dia tahu persis ke arah mana ucapan Prisya. Sudah pasti ini menyangkut reputasi Elvan dan juga perusahaannya. Diva tak bisa berpikir panjang lagi, benar seperti yang dikatakan Prisya semua akan menjadi urusan yang panjang. Seorang CEO adalah cerminan dari perusahaannya, kan? Kalau sampai orang tahu identitas Elvan …. “Danish sayang, sama nenek dulu, ya. Bu, Diva ke sebelah bentar ya.” Diva menyerahkan Danish pada Indah dengan tenang dan tersenyum, kemudian dia berjalan agak cepat ke kamar sebelah, walaupun dia terlihat tenang, jelas dia adalah orang paling khawatir saat ini. Sampai di kamarnya, Diva langsung meraih handphone yang ada di atas nakas dan segera keluar dari kamar. Jantungnya benar-benar berdetak cepat kali ini, bukan karena perasaan bahagia seperti sebelumnya, melainkan sebuah perasaan cemas dan khawatir yang bergulu
“Kakak, apa tadi itu Kak Diva? Dia sudah tahu?” tanya Alisha pada Elvan. Pria itu hanya mengangguk. Wajah Elvan masih datar, tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. “Ini minum dulu, biar bisa berpikir jernih dan ini camilan favoritmu.” Alisha meletakkan coklat milkshake dan kacang almond di atas meja. Saat ini Elvan berada di unit apartemen milik Alisha, salah satu kamar Alisha dulu sering dia gunakan untuk keperluannya. Namun, tempat ini sudah lama tidak dia kunjungi karena kesibukannya sebagai seorang CEO L Tekno menguras waktunya. “Aku yakin, ini pasti perbuatan si Anggala itu. Dia sengaja ingin menghancurkan Kakak.” Alisha berkata pada Elvan sembari duduk di tepi ranjang memperhatikan Elvan. Elvan hanya diam, dia sibuk di depan komputernya. “Tapi apa kakak tahu, aku sangat suka kakak memukulnya seperti itu, maksudku kenapa tidak sekalian sampai sekarat saja. Buat hidupnya menjadi hidup segan mati tak mau. Itu pasti akan menyiksanya.” Alisha berkata sembari terkekeh. Ketika Al
Beberapa jam sebelumnya, Anggala yang babak belur itu dibawa oleh Mario dan dua temannya ke ruangan pribadinya. Pria itu mengalami lebam yang cukup banyak di bagian wajahnya.“Ang, kusarankan jangan berulah lagi.” Mario menasehati temannya ini sembari membantunya mengoleskan obat luka di beberapa tempat di wajahnya.“Alah kamu terlalu penakut! Jadi laki-laki pengecut sekali. Aku tidak takut apapun. Dia sudah berani-beraninya mengacaukan acaraku hanya untuk membela wanita itu?! Yang benar saja!” Anggala menampakkan kekesalannya pada Elvan.“Aku juga tidak menyangka dia bisa sampai segila itu memukulmu Ang! Kupikir dia tidak akan berani sampai sejauh itu. Apa dia tidak berpikir panjang kalau kita bisa saja mengadukannya ke polisi untuk–”“Kamu benar Fred! Ide yang bagus sekali, aku harus melakukan visum dengan cepat dan melaporkan bocah sialan itu segera.” Anggala berkata dengan semangat.Mario langsung menjawab dengan cepat. “Tapi Ang, kalau kamu benar-benar mengadukannya itu akan meny
“Kak Diva! Kakak ngapain di luar lama-lama?” Suara Prisya mengejutkan Diva yang masih berdiri dengan pikiran yang sangat banyak dan bercabang.“Ah! Kamu mengejutkan saja.” Diva berkata datar sembari menetralisir riak wajahnya agar tidak terbaca oleh Prisya.Diva segera masuk ke kamar, di sana dia melihat orang tuanya sedang bersama Danish di atas tempat tidurnya.“Kalian sudah makan malam?” tanya Diva.“Ya belumlah, Kak, ini kita baru rencanain mau makan di mana.” Prisya berkata dengan semangat.Anggota keluarganya memang sepertinya tidak ada yang terpengaruh dengan video tadi.“Kita makan di restoran bawah saja, apa mau?” tanya Diva.Prisya yang mendengarnya langsung berbinar-binar.“Serius Kak?” tanya Prisya. Diva mengangguk.“Restoran yang kemarin malam itu ya?” tanya Lukman.Prisya mengangguk cepat, “Iya Yah yang semalam.” “Apa gak terlalu boros.” Kali ini Indah mengeluarkan statementnya.“Gak apa-apa Bu, sekali-sekali. Udah lama juga Diva gak ajak pergi makan, kan?” Diva berkata
“Kakak kenapa? Ini minum dulu.” Prisya dengan cepat memberikan minum pada Diva.“Tidak apa-apa.” Diva menjawab sesaat setelahnya.“Sudah kita tidak perlu membahas tentang si Anggala itu lagi. Biar itu menjadi urusannya saja, kita tidak perlu memikirkan hal itu.” Lukman berkata dengan nada bijak.‘Andai saja mereka tahu, semua ini berhubungan dengan keluarga kita.’ teriak Diva dalam hati. Akan tetapi dia tidak mungkin bisa mengatakan hal itu pada mereka sekarang.Mereka melanjutkan acara makan malam bersama itu dengan saling berbagi cerita tanpa mengungkit masalah Anggala lagi.Sesampainya di kamar ini, Diva membuka handphonenya dan mencari perkembangan berita tentang video itu. ternyata keadaan semakin memanas. Dukungan Anggala makin deras mengalir, bahkan rekaman video cctv di restoran Anggala sudah turut mencuat ke publik. Banyak komentar jahat yang menuding Elvan, mereka mengatakan kalau Elvan adalah monster gila yang membuat wajah tampan chef kesayangan mereka menjadi sangat buru
Tak menyangka akan menjadi seperti ini Diva segera menghubungi Elvan. Tanpa menunggu lama telpon itu tersambung. “Maaf, semalam aku lupa memberitahumu kalau aku akan mematikan kedua nomerku sementara. Apa kamu sudah melihatnya, hehm?” Elvan berkata lebih dulu saat menerima panggilan Diva. “Aku … aku tidak menyangka malah jadi seperti ini. Van, apa kamu yang mengerjakannya sendiri semalaman ini?” tanya Diva dengan debaran jantung yang cukup kuat karena perasaan yang campur aduk. “Sendiri? Aku tidak sendiri, tapi bersama dengan tim.” Ucapan Elvan ini membuat Diva kagum dengan kejujuran Elvan. Bagaimana tidak, kalau dia mau, bisa saja Elvan mengatakan Dia mengerjakannya sendiri, kan? Bukankah itu bisa lebih menarik perhatian Diva dan terkesan sebagai sosok pahlawan sejati dalam serial super hero?“Tapi Van … apa ini tidak berlebihan ya?” Diva berkata dengan sedikit tercekat. “Berlebihan? Apa menurutmu itu sudah berlebihan?” Elvan bertanya dengan nada datar. Diva menarik napas dalam.
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk