“Kamu … bertunangan dengan Elvan?!” Chelsea tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mengernyit dan pandangannya menyelidik.“Kalau tidak, hubungan apa yang bisa membuatku berada di tempat ini berdua saat hari libur? Apa aku terlihat ingin berdiskusi tentang urusan bisnis?” Diva berkata dengan nada sarkas.Elvan diam, dia hanya memperhatikan keadaan saja sambil bersedekap, dia melihat mata Diva yang menyimpan amarah di sana.Tania menyadari situasi yang sedikit tegang, dia dengan cepat berkata, “Ah, Diva, kamu salah paham, Chelsea tidak ada maksud untuk–”“Sayang, kalau sudah selesai makannya, apa kita bisa pergi sekarang?” Elvan berkata dengan lembut pada Diva, seolah tidak ada kedua temannya di sana.Diva mengangguk dan menjawab, “Ya, aku sudah selesai." Diva kemudian kembali melihat ke arah kedua temannya dan berkata, "Aku masih ada urusan lain, kami pergi dulu.” Diva lalu beranjak dari kursinya.“Ah, iya! Lain kali kita bertemu lagi, ya!” Tania berkata dengan na
Diva melihat senyuman Elvan yang membuat hatinya merasa damai. Perasaan ini ... sejatinya tidak bisa dibohongi, kan?“Diva, kutegaskan sekali lagi. Aku akan menunggumu, jadi jangan terlalu terbebani, hehm?” Diva menundukkan padangannya, menarik napas sesaat lalu kembali melihat ke arah Elvan. “Apa aku boleh bertanya sesuatu?” Elvan mengangguk. “Bagaimana jika kamu menemui orang tuaku tetapi mereka tidak menyetujuinya? Apa yang akan kamu lakukan?” Diva bertanya dengan nada yang tenang tetapi hati bergelombang hebat. Elvan menghela napas dan melihat ke arah Diva kembali dengan tatapan tajam. “Maka aku harus terus berusaha. Aku yakin tidak ada usaha yang sia-sia.” “Apa kamu seyakin itu?” tanya Diva lagi. “Aku sangat yakin, yang masih belum yakin itu, kamu. Apa aku benar?” DEG! Ucapan Elvan tidak salah! Benar, dia sangat tidak yakin. Tidak yakin untuk menerima maupun menolak dengan tegas. Apa dirinya sangat egois menggantung hubungan nyata ini? “Apa aku wanita kejam yang menggant
“Kenapa, Div?” Elvan heran karena melihat perubahan di raut wajah Diva.“Tidak apa-apa.” Diva menjawab cepat dan berusaha menetralisir riak wajahnya.“Kalau begitu, ayo masuk.” Elvan berbisik lembut di telinga Diva, lalu mengurai tangannya di genggaman Diva, beralih merangkulnya untuk berjalan masuk ke dalam.“Van,” ucap Diva lalu menghentikan kembali langkahnya dan menahan Elvan untuk melangkah masuk. “Aku ….” Diva diam, dia tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya pada Elvan kalau dia lebih baik pulang saja.“Elvan! Akhirnya kamu ada waktu untuk datang ke tempatku juga!” Suara itu terdengar jelas dari arah belakang Diva dan suara itu juga masih terekam dengan sangat jernih di ingatan Diva tentang kejadian yang belum lama ini terjadi. Diva mematung di tempat, tangannya terkepal kuat. Diva mencoba menahan rasa bergejolak hebat dalam hatinya.“Kamu datang dengan siap–” pria itu menghentikan ucapannya saat melihat Diva. “Gantari?!” Dia berkata dengan senyuman penuh mak
“Kamu … berani sekali kamu memukulku!” Wajahnya memerah dan nada suaranya terdengar sangat gusar.“Kamu pikir aku tidak berani hanya karena kamu orang terpandang? Ternyata orang sepertimu ini tidak lebih dari sekedar hewan liar pencari mangsa!” Ucapan Diva barusan membuat Anggala terprovokasi, membuatnya menarik tubuh Diva dan mendorongnya kembali masuk ke dalam toilet lalu menguncinya dari dalam.“Apa yang mau kamu lakukan?!” Diva berusaha berontak, pergelangan tangannya dicengkram dengan kuat sekali.“Aku mau bermain-main dengan pacarnya Elvan!” “Kamu pikir Elvan akan melepaskanmu begitu saja?!” Diva berkata dengan suara bergetar, tubuhnya mulai gemetar, rasa takut mulai menggelenyar di sekujur tubuhnya.“Ah, kamu pikir aku takut dengan bocah itu?! Sesuatu yang dia miliki pasti ada yang berbeda, karena itu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menikmatimu.” Anggala terus maju membuat Diva yang melangkah mundur terhenti karena tembok yang ada di belakangnya.Diva berusaha untuk memukul
Elvan sudah menjalankan mobilnya ke jalan raya, Diva ingin bertanya lebih lanjut perihal itu, tetapi dia masih ragu. Dia juga melihat wajah Elvan yang nampak serius, tidak seperti biasanya. Wajah pria itu sedikit menggelap, menimbulkan kesan dominan yang menakutkan. “Van, bisa mampir ke toko itu sebentar?” Diva menunjuk ke sebuah toserba di pinggir jalan. Elvan mengangguk dan menepikan kendaraannya. “Tunggu sebentar.” Diva segera keluar dari dalam mobil menuju minimarket itu. Elvan mengamatinya dari dalam mobil. Kepalanya berpikir dengan kejadian barusan di acara temannya. Sesaat setelah Diva pergi ke toilet tadi, Mario, salah satu rekannya menghampirinya. “Wanita bersamamu itu, apa dia Ratri?” tanyanya pada Elvan. “Ratri?” Elvan mengerutkan keningnya lalu menggeleng. “Masa sih? Kok mirip banget ya, ah, pasti dia saudaranya si Diva, ya?” Mario berkata santai. “Kamu … mengenalnya juga?” tanya Elvan dengan menaikkan sebelah alisnya. “Jadi benar dia Diva?” tanya Mario lagi. E
Semua temannya asyik membicarakan wanita ini, tetapi pikiran Elvan sudah sibuk memikirkan Diva. “Kapan kejadian ini?” tanya Elvan dengan nada datar, tetapi dia tidak ingin melihat apa yang mereka tontonkan. “Belum ada dua tahun ini mungkin,” jawab Mario. “Kau tahu, Anggala sangat penasaran dengannya saat itu. Dia sepertinya sangat susah untuk ditaklukan, ternyata setelah dia menjebaknya si Anggala gila itu malah meninggalkannya.” Mario terkekeh geli. Mendengar pernyataan itu tiba-tiba pelipisnya berkedut. “Lalu kalian sebagai temannya hanya diam saja?” Elvan berkata dengan suara tenang. “Lah, kita harus melakukan apa? Tahu sendiri, Anggala kalau sudah menginginkan wanita dia akan mati-matian menggapainya dan urusan setelahnya kita tidak perlu ikut campur terlalu dalam.” Wajah Elvan mulai menggelap, dia tidak percaya kalau ternyata tingkah laku teman-temannya ini sungguh biadab. “Lalu video ini sudah disebar?” tanya Elvan lagi. “No! Ini hanya untuk kalangan kita saja. Anggala m
Diva terdiam mendengarkan pernyataan barusan. Diva mengalihkan pandangannya, dia menghela napas berat lalu detik berikutnya dia menunduk dan memejamkan matanya. “Aku ….” Ingin rasanya dia menceritakan hal itu, tetapi lidahnya menjadi kelu, terlalu banyak yang ada di dalam kepalanya, hingga dia sendiri tidak tahu mana yang harus diutarakan terlebih dahulu. “Apa benar temanku sudah membuat saudaramu terluka?” tanya Elvan lagi. Diva masih diam, mencoba mengatur ritme napasnya. Entah kenapa melihat Diva seperti sekarang membuat Elvan makin ingin melindunginya. “Kalau belum mau mengatakannya, perlahan saja. Aku akan mendengarkan kapan kamu siap akan bercerita. Tapi saat kamu cerita jangan ada yang ditutupi dan disembunyikan agar aku bisa membantumu.” Elvan berkata dengan sungguh-sungguh, Diva bisa merasakan hal tersebut. Diva membuka matanya dan melihat ke arah Elvan. “Kamu … bersedia membantuku?” tanya Diva lagi. Elvan mengangguk memberikan kepastian. “Pasti aku akan membantu
Elvan, Dia sangat tidak menyangka kalau perbuatan Anggala malah mendapatkan perlindungan, bahkan Ayahnya, Darmawan, yang sangat dihormati oleh Elvan tega berbuat demikian. Elvan tidak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja dia dengar. Elvan tidak mendapati kebohongan yang keluar dari mulut Diva, karena dia sangat jelas menceritakan semuanya dengan gejolak emosi yang meledak, namun tetap dalam intonasi suara yang tenang. “Karena sebuah penolakan dan juga tudingan menyakitkan dari Anggala dan keluarganya, adikku juga sepertinya tidak sanggup untuk melahirkan anaknya, dia pernah beberapa kali mencoba untuk menggugurkan kandungannya, tetapi berhasil dicegah. Ayah berusaha menenangkannya dan terus mengatakan kalau ayah tidak menyalahkannya atas kejadian ini.” Elvan masih melihat ke dalam mata Diva betapa menyakitkannya kejadian yang sedang diceritakan wanita itu padanya. Tangan Diva saling meremas di atas meja, lalu menarik naalpas dalam dan berkata lagi, “Hal mengejutkan kembali ter
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk