hehm... apapun ya, Van demi Diva... 😍😍😍
Setelah menghubungi Prisya, Elvan keluar dari tempat ini, pikirannya hanya satu, yaitu menemukan Diva! Dia segera berjalan ke lantai atas, tempat dimana kamar Alisha berada, tetapi, kamar tersebut dalam keadaan kosong. Baru saja dia melintas, di sana dia sudah bertemu dengan Marissa dan Niza, yang kebetulan sedang bicara berdua sambil melihat handphone. Elvan tidak terlalu menghiraukannya dan berjalan melewati keduanya. “Kak Elvan, kirain tadi Kakak gak dateng loh.” Nayla menyapa Elvan dengan santai. Elvan malas menanggapinya, dia pura-pura tidak mendengar. “Kak Elvan, apa Kakak yakin Diva akan menjadi bagian dari keluarga kita?” tanya Niza lagi. Mendengar nama Diva diseret, Elvan mau tidak mau menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya dan melihat dengan tajam ke arah Niza. “Tidak ada yang pantas selain Diva.” Elvan menjawab dengan suara dingin. Niza tiba-tiba terhenyak dan melihat ke arah Marissa, tetapi dia sangat penasaran sejauh apa Diva bagi Elvan. Dia kemudian be
Di sisi lain, Elvan mencari-cari keberadaan Diva. Dia sudah melihat ke ruang kumpul di atas di sana hanya ada Anggota keluarga lain yang Elvan malas untuk mendekatinya, karena akan bicara hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Apalagi di sana ada pamannya! Dia segera pergi sebelum mereka menyadari Elvan ada di sana. Akhirnya, saat melewati ruang tengah dekat dengan balkon samping yang menghadap ke kaki gunung. Elvan mendengar suara ceria dari Diva. Tanpa dia sadari, pria itu tersenyum dan langsung berjalan mendekat. Di sana dia sedang terlihat santai berbicara dengan Al dan juga kedua orang tuanya, bahkan sang ayah yang jarang tertawa terdengar terkekeh ringan. Cukup akrab dan itu membuat Elvan tersenyum lebar. ‘Tunangan palsu, ya?’ gumam Elvan pelan dan hanya dia sendiri yang mendengarnya, detik berikutnya dia tersenyum kecut. Kalau dilihat seperti sekarang, Diva malah lebih mirip dengan orang yang memang memiliki hubungan dekat dengan dirinya. Kata palsu itu rasanya ingin sek
Ucapan Elvan barusan membuat Diva menghentikan semua aktivitasnya dan tubuhnya membeku, dia langsung mendongakkan kembali wajahnya melihat Elvan dengan sangat jelas, tatapan pria itu sangat tajam. “Kamu bilang apa barusan?” tanya Diva dengan menyipitkan sebelah matanya. “Aku bilang, kalau ayahmu memaksa menikahimu, aku tidak masalah.” Elvan mengulang kata-katanya dengan tegas. Jangan tanya apa yang dirasakan Diva saat ini, dia tidak tahu apakah dia harus senang atau kesal. Pria itu dengan mudah mengatakan kata menikah secara santai. Menikah adalah hal yang sakral dan Diva sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan pernikahan hanya satu kali dalam hidupnya dan itu harus dengan orang yang dia cintai dan mencintai dirinya. Sekarang ini, dia mungkin baru menyukai Elvan, dia memang mengharapkan pria itu. Bahkan, tindakannya tadi juga seperti menuntut Elvan seperti pasangannya sungguhan. Akan tetapi, untuk syarat kedua Diva tentang pernikahan, bahwa dia harus menikah dengan oran
Diva berjalan bersisian dengan Alisha, adik Elvan ini mencari Diva karena wanita itu dicari oleh Radiah, sang nenek. “Kenapa tiba-tiba nenek mencariku?” tanya Diva pada Alisha yang mengatakan kalau dirinya dicari oleh sang nenek. Al hanya menaikkan kedua bahunya seraya berkata, “Entahlah, tapi kupikir akan ada hal yang mengejutkan!” “Hah? Kejutan seperti apa misalnya?” Diva jelas penasaran. “Nanti juga tahu sendiri kalo udah ketemu, kan?” Ucapan Al ini membuat Diva makin gugup, di dalam otaknya sudah terbayang akan ada banyak kata bohong yang keluar dari mulutnya! Ini pasti akan berbicara tentang Elvan. ‘Diva. teruslah berusaha sebaik mungkin dan jangan terbawa perasaan. Anggap saja ini pekerjaan dan lakukan dengan profesional.’ Diva bertekad dalam hati. Alisha membawa Diva ke sebuah ruangan, wanita itu sedang duduk dengan santai di atas kursi malas yang menghadap ke luar jendela yang tirainya sebagian tertutup. “Nenek, Al sudah bawain Kak Diva.” Wanita paruh baya itu mengangg
Diva tidak mengerti dengan jalan pikiran nenek Elvan ini. Apakah memperingatkan dirinya untuk menyerah saja? “Apa nenek menyuruhku untuk meninggalkan Elvan?” Diva kembali bertanya dengan sungguh-sungguh. “Kalau nenek mengatakan ya bagaimana?” Wanita itu melihat ke arah Diva dengan tatapan yang Diva sendiri tidak bisa mengartikan tujuan sebenarnya. Diva meneguk air liurnya untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba kering. Lalu, menarik napas dalam kemudian mengambil kotak beludru tersebut dari atas meja, melihatnya sekali lagi selanjutnya menatap Radiah. “Jika aku mengambil ini dan meninggalkan Elvan apa menurut nenek dia akan diam saja?” tanya Diva dengan suara sedikit bergetar. Radiah diam, wajahnya datar, sulit menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu. “Tidak ada jaminan dia tidak bosan dengan sesuatu.” Radiah berkata datar dan tenang. Diva mengangguk, lalu menutup kotak itu dan menggenggamnya, kemudian dia menatap Radiah dan berkata, “Begini saja, Nek. Bagaimana kalau
“Elvan, kamu … kamu kenapa?!” Wanita itu dengan cepat melangkahkan kakinya masuk ke kamar Elvan. Dia melihat pria itu dalam kondisi yang sedikit buruk dan segera menghampirinya. Elvan dalam posisi bersujud di lantai sambil memegang dadanya. “Kamu kenapa, Van?!” Diva terlihat panik, apalagi saat melihat wajah Elvan yang sudah berubah menjadi kemerahan entah kenapa suhu tubuhnya seperti lebih panas dari biasanya. Napasnya terdengar tidak teratur. “Jangan di lantai. Sini berdiri biar aku bantu pindah ke atas.” Diva berkata dengan panik. Diva berusaha untuk memapah tubuh Elvan ke atas tempat tidur, entah kekuatan dari mana dia bisa membantu Elvan yang tubuhnya cukup berat itu beranjak dari lantai. Namun, karena memang tubuh Elvan yang cukup besar membuatnya limbung saat akan berpindah ke tempat tidur. Tubuh Elvan berada tepat di atas Diva. Wanita itu membeku seketika, ini kali pertama dia benar-benar berada dekat dengan pria tanpa jarak! Napas Elvan terdengar memburu di samping teling
Di tempat lain, Diva merasakan wajahnya yang sedikit panas. Kelakuan Elvan barusan cukup aneh baginya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat terpikir hal lain.“Apa dia menyembunyikan sesuatu, ya?” tanyanya pada diri sendiri.“Ah, lagian kenapa harus peduli sih?! Dia juga tadi masih bisa mempermainkanku! Menyebalkan sekali!” Diva berkata kesal pada dirinya sendiri.“Kak Diva, kenapa masih di sini? Apa kakak gak ketemu sama Kak Elvan?” tanya Alisha sedikit heran dan membuat Diva sedikit terkejut.“Ah, Itu … belum, aku belum bertemu dengan kakakmu.” Diva tersenyum singkat.“Kita akhirnya bisa pulang! Tadi ternyata Kak Elvan benar-benar menyuruh orang untuk memperbaiki jembatan itu, sekarang sepertinya sudah bisa digunakan, hujan juga sudah mulai reda. Untungnya di tempat ini hujannya cepat reda, kalau tidak kita benar-benar terpaksa bermalam di sini.” Alisha berkata dengan senyum mengembang, memperlihatkan ekspresi bahagianya.“Elvan menyuruh orang untuk memperbaikinya?” Diva mengul
“Ah, bibi tahu kamu pasti mau mengantarkan Marissa. Sayang, ayo sini, sudah Ibu bilang, Elvan pasti bersedia mengantarkanmu pulang ke rumah.” Nara menggamit tangan Marissa dan berjalan mendekati Elvan.“Bibi sebentar.” Elvan menahan Nara dan Marissa yang berjalan mendekat. “Maksudku, sopirku yang akan mengantarkan Marissa.” Elvan berkata cepat.“Hah?” Seketika wanita itu terdiam.“Marissa bawa mobil, kan? Nanti biar sopirku yang mengantarkannya pulang.” Elvan berkata tegas. “Andi, antar Nona Marissa pulang. Saya biar bisa menyetir sendiri.”“Baik, Pak.” Andi sedikit membungkukkan tubuhnya dan berjalan mendekati Marissa.“Sayang, ayo kita pulang.” Elvan berkata lembut pada Diva, dan menutup pintu mobil bagian belakang itu, membawa Diva melewati Nara dan juga Marissa lalu membuka pintu mobil bagian depan di bangku sebelah pengemudi.“Masuklah,” ucap Elvan pada Diva.Diva segera masuk dengan cepat. Diva melihat Elvan yang berjalan memutar dan juga mengingat wajah Marissa dan Bibi Nara yan
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk