Ucapan Elvan membuat Diva tersentak sejenak, apa maksud dari Elvan? Dirinya tidak ingin berpikir berlebihan tapi sepertinya pria itu makin bertindak di luar batas kewajaran. Apa wajar seorang pasangan pura-pura melakukan hal itu? Apa wajar seorang dengan status bohongan memperlakukan dirinya dengan sangat baik, bahkan saat tidak ada yang melihat mereka berdua? “Diva,” panggil Elvan membuat Diva yang sibuk dengan berbagai macam asumsi dalam kepalanya kembali tersadar. “Sok manis kamu bilang?! Aku sudah kirim pesan padamu, tapi kamu tidak membalasnya!” Entahlah, itu keluar begitu saja dari mulut Diva. “Kamu kirim pesan ke nomor pribadiku? Sudah kukatakan aku ketinggalan ponselku di rumah dan aku–” “Ah, kamu benar. Jadi, jangan dibaca!” Diva teringat sesuatu kalau dia mengirimkan balasan pada Elvan, artinya pria itu belum membacanya. Memikirkan malu yang akan dia terima nanti, lebih baik dia menghapusnya saja. Diva langsung merogoh kantong celananya dan mencari pesan yang belum terbac
Elvan melihat Diva yang mulai salah tingkah, wajahnya kian merona, dia juga bisa merasakan degupan jantung Diva yang cukup kencang, andai saja wanita itu menyadari hal yang sama! Pria itu lalu melihat bibir Diva yang cukup membuatnya tergoda! Dia bukan lelaki normal kalau tidak menginginkan hal itu, kan?! Entah dorongan darimana, dia sepertinya akan melupakan janjinya untuk tidak menyentuh wanita itu lagi. Dirinya makin memangkas jarak, mendekatkan wajahnya pada Diva, sepertinya dia merasa kalau saat ini wanita itu juga tidak akan menolak dengan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Namun, baru saja dia akan mendaratkan bibirnya pada Diva, suara Anita terdengar sangat jelas dan membuat mereka terkejut. “Duh! Kalian ngapain di sini?!” Ucapan itu membuat Diva seolah tersadar dan ingin melepaskan diri dari Elvan, tapi pria itu tetap menahannya. “Mama kenapa gangguin orang dua-duaan sih.” Elvan berkata santai. “Eh lepasin itu si Diva,
“Kakek ada bicara apa sama kamu?” tanya Elvan pada Diva yang masih sibuk dengan pikirannya dengan pernyataan Hartono barusan. Pria itu juga terlihat mengatur napasnya karena berlari tadi. “Sayang, apa kamu dimarahin sama Kakek?” tanya Elvan lagi yang akhirnya kata pertama dalam kalimat Elvan barusan membuat Diva tersentak dan reflek melihat kanan dan kiri. Tidak ada siapapun di dekat mereka dan Elvan bilang kata ‘Sayang’. Hal ini membuat Diva mengerutkan keningnya seketika. Apa Elvan memanggilnya hanya untuk berjaga-jaga takut didengar orang? “Aku ….” “Kenapa? Apa kakek memarahimu?” tanya Elvan lagi. Diva menggeleng cepat, “Tidak, tidak.” “Lalu kenapa wajahmu seperti itu?” Elvan bertanya dengan mengerutkan keningnya. “Itu … apa boleh aku bertanya satu hal padamu?” Diva berkata dengan sedikit ragu. Elvan tersenyum dengan lebar. “Tanya saja, kamu bebas menanyakan apapun padaku, jangan seperti orang lain, i
Elvan menatap Diva dengan tatapan penuh arti, sedangkan Diva beberapa kali meneguk air liurnya karena gugup.“Aku ….” Diva benar-benar tidak bisa berbohong, ingin rasanya dia bersembunyi detik ini juga karena kebohongan yang dia buat barusan.Elvan lalu tertawa melihat reaksi Diva yang menurutnya sangat menggemaskan itu.“Kenapa aktingmu buruk sekali dan tidak totalitas, Sayang?” Elvan tersenyum melihat wajah Diva yang mulai merona merah, entah itu karena malu atau gugup karena ketahuan.“Aku memang tidak bisa.” Diva berkata datar dan menyembunyikan kebohongannya.Elvan meletakkan busur panah di meja yang tidak jauh dari mereka. Lalu kembali berjalan mendekati Diva.“Oh, ya? Kamu benar-benar tidak bisa, ya?” Elvan berkata sambil bersedekap dada.Diva memalingkan wajahnya dan berkata, “Ya sudah kalau tidak percaya.”Alih-alih marah mendengar jawaban Diva yang nadanya sedikit tinggi, Elvan malah tertawa.Diva mendecakkan lidah, dia tahu Elvan pasti sudah tahu tentang hal ini sebelumnya!
Sesaat Diva terdiam mendapatkan perlakuan barusan, belum sempat dia bicara Elvan langsung menggenggam tangannya dan mengajaknya berlari di bawah guyuran hujan yang mulai deras. “Jangan lepaskan dan percepat langkahmu!” titah Elvan. Elvan mengajak Diva berlari cepat menuju Villa. Sampainya di teras belakang, beberapa anggota keluarga sudah terlihat di dalam lebih dulu, di sana hanya tersisa Al yang sedang tidur di kursi dimana kakinya diletakkan di atas meja kecil yang ada di depannya. “Al?” ucap Diva. “Sudah biarkan saja,” ucap Elvan. “Hah? Kok dibiarin, ini kan hujan, anginnya juga kencang, nanti kalau tiba-tiba masuk angin gimana?” Pertanyaan ini reflek keluar dari mulut Diva. Namun, setelah mengatakan hal tersebut, tiba-tiba Al bersuara tanpa membuka matanya. “Sudah Kakak gak perlu khawatir. Lagipula, di dunia medis tidak ada istilah masuk angin.” Hal ini membuat Diva terkejut dan Elvan menyeringai tipis, dia jelas paham bagaimana tingkah adiknya. “Kamu tidak tidur?” Diva
Setelah menghubungi Prisya, Elvan keluar dari tempat ini, pikirannya hanya satu, yaitu menemukan Diva! Dia segera berjalan ke lantai atas, tempat dimana kamar Alisha berada, tetapi, kamar tersebut dalam keadaan kosong. Baru saja dia melintas, di sana dia sudah bertemu dengan Marissa dan Niza, yang kebetulan sedang bicara berdua sambil melihat handphone. Elvan tidak terlalu menghiraukannya dan berjalan melewati keduanya. “Kak Elvan, kirain tadi Kakak gak dateng loh.” Nayla menyapa Elvan dengan santai. Elvan malas menanggapinya, dia pura-pura tidak mendengar. “Kak Elvan, apa Kakak yakin Diva akan menjadi bagian dari keluarga kita?” tanya Niza lagi. Mendengar nama Diva diseret, Elvan mau tidak mau menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya dan melihat dengan tajam ke arah Niza. “Tidak ada yang pantas selain Diva.” Elvan menjawab dengan suara dingin. Niza tiba-tiba terhenyak dan melihat ke arah Marissa, tetapi dia sangat penasaran sejauh apa Diva bagi Elvan. Dia kemudian be
Di sisi lain, Elvan mencari-cari keberadaan Diva. Dia sudah melihat ke ruang kumpul di atas di sana hanya ada Anggota keluarga lain yang Elvan malas untuk mendekatinya, karena akan bicara hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Apalagi di sana ada pamannya! Dia segera pergi sebelum mereka menyadari Elvan ada di sana. Akhirnya, saat melewati ruang tengah dekat dengan balkon samping yang menghadap ke kaki gunung. Elvan mendengar suara ceria dari Diva. Tanpa dia sadari, pria itu tersenyum dan langsung berjalan mendekat. Di sana dia sedang terlihat santai berbicara dengan Al dan juga kedua orang tuanya, bahkan sang ayah yang jarang tertawa terdengar terkekeh ringan. Cukup akrab dan itu membuat Elvan tersenyum lebar. ‘Tunangan palsu, ya?’ gumam Elvan pelan dan hanya dia sendiri yang mendengarnya, detik berikutnya dia tersenyum kecut. Kalau dilihat seperti sekarang, Diva malah lebih mirip dengan orang yang memang memiliki hubungan dekat dengan dirinya. Kata palsu itu rasanya ingin sek
Ucapan Elvan barusan membuat Diva menghentikan semua aktivitasnya dan tubuhnya membeku, dia langsung mendongakkan kembali wajahnya melihat Elvan dengan sangat jelas, tatapan pria itu sangat tajam. “Kamu bilang apa barusan?” tanya Diva dengan menyipitkan sebelah matanya. “Aku bilang, kalau ayahmu memaksa menikahimu, aku tidak masalah.” Elvan mengulang kata-katanya dengan tegas. Jangan tanya apa yang dirasakan Diva saat ini, dia tidak tahu apakah dia harus senang atau kesal. Pria itu dengan mudah mengatakan kata menikah secara santai. Menikah adalah hal yang sakral dan Diva sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan pernikahan hanya satu kali dalam hidupnya dan itu harus dengan orang yang dia cintai dan mencintai dirinya. Sekarang ini, dia mungkin baru menyukai Elvan, dia memang mengharapkan pria itu. Bahkan, tindakannya tadi juga seperti menuntut Elvan seperti pasangannya sungguhan. Akan tetapi, untuk syarat kedua Diva tentang pernikahan, bahwa dia harus menikah dengan oran