Ada yang mau lebih dari 1 per hari gak sih? Tanggepannya di kolom komen dong temen-temennya Chinta.. ❤❤❤ hehe
Sadar kalau dirinya berpikir terlalu jauh perihal masalah ini, Diva menggelengkan kepalanya. ‘Sudahlah, dibandingkan memikirkan itu, ada satu hal lain yang perlu kupikirkan ….’ Dia mendadak menghela napas berat, membuat Elvan meliriknya dan menyadari ekspresi di wajah Diva.“Kamu kenapa?” tanya Elvan, berpikir apakah kemarahannya yang membuat Diva tidak nyaman. Mestinya, dia tidak boleh terlalu keras dengan gadis ini, kalau pun dia berpikiran tentang bercanda, seharusnya dia tidak salah juga, karena memang hubungan ini sejak awal hanya berpura-pura saja.Diva sendiri tersentak ditanya seperti itu dan berujung menundukkan kepala, tampak gelisah, dia ragu apakah dia harus menceritakan hal ini pada Elvan atau tidak. “Aku ….”“Kenapa? Katakan saja, jangan membuat orang penasaran.” Elvan berusaha membuat suasana nyaman untuk Diva, karena dari caranya ini, Diva akan menyampaikan sesuatu yang penting. Pengalamannya yang bertemu dengan banyak orang, membuatnya bisa dengan mudah membaca gerak l
Waktu seolah berhenti. Diva bohong kalau tidak merasakan desiran kehangatan menyelimuti hatinya, tangan Elvan yang menggenggamnya saat ini, memberikan sebuah rengkuhan yang sedikit memaksanya untuk menerima rasa baru dalam kalbunya.Diva juga merasakan ucapan ketulusan dari perkataan Elvan barusan dan juga genggaman tangan ini, entah kenapa Diva ingin merasakannya lebih lama. ‘Tidak masalah Diva, kamu hanya perlu merasakan ini sesaat, tunggu sampai dia sendiri yang melepaskannya,’ teriak hati Diva.Setelah sekian lama berlalu dan mobil Elvan sudah mendekati rumah Diva, gadis itu tiba-tiba berkata, “Van nanti turunin di depan komplek saja, ya.” Ucapan itu membuat Elvan mengerutkan keningnya. “Kamu tahu ini sudah jam berapa?” Dari nadanya bicara Elvan terdengar keberatan, membuat Diva tersenyum dalam hati, merasakan kekhawatiran pria itu, tapi tetap saja dia tidak boleh berpikiran lebih.“Karena itulah, aku khawatir nanti Ayah nungguin di depan rumah dan–”“Kamu takut ketahuan orang ru
Mata Diva mendelik mendengar tebakan adiknya. “Apaan sih kamu! Pokoknya temen. Mau cewek mau cowok kenapa kamu kepo?!” Diva berkata sesantai mungkin sembari melepaskan pakaiannya satu per satu!“Kakak nggak tahu malu ih! Cepet pake bajunya!”“Kakak mau ganti baju, kamu yang masuk ke kamar orang di saat yang tidak tepat.”“Terus kakak gak mandi? Seharian di luar, sekarang malah gak mandi?!”“Liat jam, udah malam, mandinya dirapel besok aja! Mending kamu keluar gih! Kakak mau ganti daleman sekalian.” Diva berkata terus terang.Bukannya keluar, Prisya malah membalikkan badannya ke arah tembok. “Ganti saja, aku tunggu, masih banyak yang mau kutanyain!”Diva mengernyitkan keningnya dia sadar Prisya tidak akan puas kalau tidak mendapatkan jawaban darinya. Diva sengaja melakukan semuanya dengan gerakan lambat, lalu dia keluar kamar untuk mencuci muka dan gosok gigi sebelum tidur, dia berharap nanti saat kembali lagi ke kamar sang adik sudah pergi meninggalkan kamarnya.Namun, harapannya tidak
Setelah sampai di kediamannya, Elvan sedang menghubungi seseorang, mempertanyakan perihal trauma yang dimiliki oleh wanita itu. “Apa bekas lukanya terlihat jelas?”“Seharusnya tidak, Pak, karena itu lebih ke dalam bagian kepala,” jawab suara di seberang sana.“Baiklah, terima kasih informasimu.”Setelah mengatakan hal itu, Elvan mematikan sambungannya. Pria itu kemudian mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas meja. “Pantas saja dia begitu takut.”“Di tempat pacuan kuda, mana mungkin tidak naik kuda, kan?” Elvan kembali bicara pada dirinya sendiri.“CK! Lagian kenapa dia masih mau sih? Kalau trauma kan pasti akan takut banget nantinya. Apa dia tidak memikirkan diri sendiri?” Elvan berdecak kesal, tetapi saat mengingat wajah Diva yang cukup serius untuk pergi, sepertinya dia memiliki keinginan untuk mengobati rasa ketakutannya itu.Elvan lalu menyatukan kedua tangannya dan meletakkannya di bawah dagu seraya mengingat momen apa saja yang biasa mereka lewati. Namun detik berikutnya dia m
Beberapa saat Prisya terdiam. ‘Lagi-lagi nanyain Kak Diva,’ batin Prisya. “Pris?” Suara Elvan membuatnya tersadar. “Ah, iya, iya, Pak Elvan, seharusnya dia sudah tidur.” Prisya menjawab cepat. “Seharusnya?” Elvan berkata dengan nada sedikit penuh penekanan. Sadar dengan sifat Elvan yang tidak suka dengan kalimat menebak-nebak Prisya kemudian berkata, “Begini, Pak, tadi sebelum keluar kamarnya, dia sedang melakukan aktivitasnya seperti biasa, sudah dipastikan saat semuanya selesai dia pasti akan langsung tidur.” “Oh, ya?” Elvan bertanya seolah ingin meminta penjelasan lebih detail lagi. “Ya, dia akan dengan cepat tertidur begitu menyentuh kasur. Kalau tidur juga seperti keb–!" Ah, hampir saja kelepasan mengatakan hal yang kurang baik. "Ehm, maksud saya dia kalau tidur, sudah pasti sangat pulas. Pak … apa saya boleh bertanya sesuatu, Pak?” tanya Prisya sedikit berani. “Apa katakan saja?” “Apa Bapak serius dengan kakak saya?” Prisya benar-benar untuk tidak tahan bertanya tentang h
Prisya benar-benar merasa seperti mendapat nightmare yang sesungguhnya! Dia belum tidur tetapi malah mendapatkan sebuah fakta yang mengejutkan tepat sepuluh menit lebih dari jam 12 malam! Tangannya gemetar saat membaca pesan itu, Prisya berusaha untuk tenang lalu mengetikkan pesan lagi. [Saya tidak menjamin akan membantu, tapi saya yang akan menjadi orang pertama mencari Bapak kalau ada apa-apa dengan Kakak saya.] Setelah mengirim pesan itu, Prisya melempar ponselnya ke sembarang tempat, lalu mencoba menutup matanya, biarlah besok pagi dia akan perlahan-lahan bertanya pada kakaknya. Mengingat hubungannya dengan Nico sebelumnya, bisa dipastikan Diva akan sangat tertutup masalah hubungan cintanya kali ini. *** Prisya sudah duduk cantik dan menikmati sarapannya saat melihat Diva keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah sama rapi seperti dirinya. “Pagi Kak Diva,” sapa Prisya dengan tersenyum ramah. “Mau kemana Pris?” tanya Diva heran melihat penampilan adiknya, tumben sekali d
Diva heran kenapa Prisya bisa berkata seperti barusan, Prisya bekerja di sini sebagai apa sebenarnya? Diva terus bertanya-tanya dalam hati, dia penasaran, tapi kalau dia tanya langsung dengan Prisya, sudah barang tentu anak itu tidak akan mau memberikan informasi yang akurat. Suara tanda henti lift terdengar, Diva langsung ke luar dan berjalan menuju ruangannya, di koridor, dia menyapa beberapa rekan yang berpapasan, dan dia ingat. Bukankah kantor ini akan briefing tiap pagi? Artinya setidaknya orang-orang di lantai 15 tahu tentang Prisya, kan? Ah, dia setidaknya harus mencari tahu tentang Prisya! Apa mungkin Prisya masuk di salah satu Divisi SDM dan Kesekretariatan? Mengingat hanya Divisi itu saja yang satu lantai dengan CEO dan COO. “Hei Div, pagi bener udah di kantor aja.” Winda menyapa Diva saat melewati Diva. Diva tersenyum seperti biasa. “Semalam dijemput sama calon suami kamu ya, Div?” Pertanyaan Winda memancing keingintahuan rekan kerja mereka yang sudah dateng, dengan cep
Sudah beberapa hari dari Diva mengirim pesan pada Elvan, dia tidak menerima satu balasan apapun, entah kenapa rasanya sedikit kosong, hal bodoh yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah mengecek apakah jaringannya bermasalah atau handphonenya yang rusak? “CK!” Diva berdecak kesal, apalagi mengingat ini adalah hari dimana dirinya akan ada di area pacuan kuda keluarga Elvan! Sekarang pria itu kemungkinan besar masih mengurus urusan pekerjaan dengan si Miko. Beberapa kali Diva terlihat bolak-balik kamar dengan hati yang sedikit kalut. “Tenang Diva, kamu bisa kok! Ayo jangan terlihat lemah. Itu hanya kuda, kan? Cuma kuda kok, jadi jangan takut ya!” Diva memberikan semangat pada dirinya sendiri, tapi ingat itu bukan tentang kuda saja, Diva malah kepikiran tentang semua yang ada di sana. “Di sana nanti ada siapa saja? Gak mungkin acara keluarga itu hanya mamanya Elvan saja.” Lalu bayangan beberapa keluarga Elvan kembali bermain di kepala Diva, kalau ini acara keluarga setidaknya yang
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk