Mendengar ucapan Elvan, sontak semua orang yang duduk di meja itu terperangah, terutama Marissa beserta bibi Elvan, Nara.
“Kekasih yang baru kamu lamar?” ulang Nara dengan suara tidak suka. “Apa maksud omong kosongmu ini?”
Elvan mengabaikan pertanyaan Nara, lalu beralih pada seorang pelayan, mengisyaratkan agar segera mengambilkan kursi tambahan untuk dirinya. Setelah itu, dia menarik satu kursi kosong yang berada di sebelah sang ibu, lalu berkata pada Diva, “Duduklah di sini.”
Perlakuannya begitu lembut dan perhatian, sampai-sampai semua orang yang melihatnya kembali terbelalak tak percaya. Bahkan Marissa berujung meremas gaunnya erat dengan tidak suka.
Di sisi lain, Diva merasa canggung. Kentara dirinya tidak diterima oleh sebagian besar orang di meja tersebut, bagaimana dia bisa duduk dengan tenang!?
Namun, di saat itu sebuah tangan meraih tangan Diva. “Duduklah, Diva.”
Ternyata, itu adalah ibunda Elvan, Anita!
“Jangan begitu gugup,” ucap Anita dengan lembut seraya menarik Diva untuk duduk di sebelahnya.
“T-terima kasih, Tante …,” jawab Diva canggung.
Setelah pelayan datang dan Elvan duduk di sebelah Diva, sebuah suara terdengar berkumandang, “Elvan, bibimu tadi bertanya.” Itu adalah Hartono Wongso, kakek Elvan sekaligus pendiri LuxTech Group yang ternama!
Elvan menatap sang kakek sekilas, lalu berujung menghela napas untuk menjawab, “Diva adalah tunanganku, dan itu bukan omong kosong. Apa begitu sulit untuk menerima kenyataan ini?”
Cara bicara Elvan yang begitu ketus membuat suasana menjadi tegang, terutama untuk Diva yang jantungnya berdebar tidak karuan. Tidak bisakah pria itu memperkenalkannya dulu dengan lebih baik!?
Akhirnya, dengan usaha untuk memerankan identitas barunya dengan lebih baik, Diva pun berdiri dari kursinya dan membungkuk sedikit untuk memperkenalkan diri, “Halo, semuanya. Namaku Diva Gantari. Aku kekasih Elvan.” Dia menegapkan tubuh dan tersenyum agak canggung. “Maaf sudah datang tiba-tiba dan mengganggu waktu makan siang kalian seperti ini.”
Mendengar Diva memperkenalkan diri, jujur Elvan agak terkejut. Dia tidak menyangka wanita yang beberapa saat lalu sangat menentang idenya itu bisa berperan dengan begitu alami, layaknya seorang kekasih yang baru pertama kali dikenalkan kepada keluarganya.
Di saat ini, Anita berkata sembari meraih tangan Diva, “Astaga, Diva. Tidak perlu sungkan seperti itu. Kami tidak merasa terganggu sama sekali.” Wanita itu melirik sang ayah yang menampakkan ekspresi keruh, lalu menambahkan, “Kami hanya terkejut mendengar Elvan pertama kali memperkenalkan dirimu sebagai … kekasih yang sudah dilamar ….”
Melihat sebagian besar orang penasaran dengan identitas Diva, Anita pun kembali bertanya, “Kamu … sudah lama kenal sama El?”
“Sudah, Tante,” jawab Diva dengan usaha untuk tetap tenang.
“Berapa lama?”
“Sekitar satu tahun.”
“Satu tahun?” Suara bibi Elvan kembali terdengar. “Baru kenal satu tahun, tapi sekarang sudah dilamar?” Wanita dengan leher penuh perhiasan itu mendengus dingin. “Hebat juga kamu, Elvan. Serius atau main-main kamu?”
Mendengar ini, Elvan mendengus. “Serius atau tidak, itu urusanku dan Diva. Tidak perlu Bibi khawatirkan soal itu.” Pria itu kemudian menyesap minumannya dengan santai.
“Kamu–!”
Nara–bibi Elvan–merasa sangat tersinggung. Akan tetapi, ayahnya terus memerhatikan gerak-geriknya, membuat wanita itu tidak leluasa membalas ucapan Elvan. Dia pun beralih kepada Diva.
“Kamu kenal Elvan dari mana?” tanyanya dengan tatapan tidak suka.
“Lingkaran teman, Tante. Kebetulan ada salah seorang teman Elvan yang temanku juga,” jawab Diva, masih dengan sopan.
Mendadak, di saat ini satu suara merdu menimbrung, “Lingkaran teman yang mana? Kok aku tidak tahu?”
Diva menoleh, menyadari bahwa Marissalah yang sekarang berbicara. Sejak awal, wanita itu menatapnya dengan sangat tajam. Diva tahu, pasti wanita itu sekarang sedang memakinya mati-matian dalam hati.
Belum sempat pembicaraan perjodohan dibicarakan, kedatangan Diva malah menggagalkan semuanya.
Namun, dari cara pandang Marissa terhadapnya, Diva tahu wanita itu belum menyerah dan berniat mengulik lebih jauh hubungannya dengan Elvan.
Akhirnya, Diva pun memasang senyum termanisnya dan berkata, “Memangnya semua teman Elvan, kamu harus tahu, ya? Maaf bertanya seperti ini, tapi karena Elvan belum pernah menceritakan, aku jadi belum tahu. Memang kamu siapanya Elvan?”
Mendengar balasan itu, bukan hanya Marissa, tapi semua orang di meja itu terkejut.
“Pfft ….” Suara tawa yang tertahan mengalihkan perhatian seisi meja, mereka menoleh dan melihat ternyata sosok Elvanlah yang tertawa!
Diva berpura-pura bingung. “Kenapa tertawa, Van? Kamu serius belum pernah cerita ke aku soal dia ….”
Melihat ekspresi pura-pura Diva yang begitu alami, Elvan pun tersenyum. “Dia Marissa, anak angkat bibi dan pamanku.”
Mulut Diva membentuk huruf ‘O’, lalu tampak tersenyum tak berdaya. “Ah, yang dulu katanya berniat dijodohkan denganmu, ya?”
Mendengar kata ‘dulu’, ekspresi Marissa langsung memburuk, begitu pula wajah Nara dan suaminya.
Sebaliknya, Elvan tersenyum semakin semringah, merasa sangat terhibur dengan sandiwara Diva. “Ya, yang itu,” jawabnya santai. “Akan tetapi, jangan khawatir. Itu dulu.” Dia menatap sang bibi. “Sekarang, tidak mungkin lagi.”
“Apa kamu serius?”
Perhatian semua orang beralih dari Elvan dan Diva, menuju kepada Marissa. Wanita muda itu tampak memasang wajah tidak suka dan curiga.
“Kamu serius dengan wanita ini?” tanya Marissa lagi.
Elvan memiringkan kepala. “Kamu kira aku bercanda?”
Marissa memicingkan mata. “Aku lebih curiga kamu berpura-pura.” Dia pun melirik Diva. “Pun sikapnya tidak buruk, tapi penampilannya terlewat sederhana. Bukan seperti tipemu.” Dia menatap Elvan lagi. “Oleh karena itu, aku sulit untuk percaya.”
Percakapan antara Marissa dan Elvan membuat suasana di meja itu kembali tegang. Sedangkan Diva, dia jujur lebih merasa tersinggung dibandingkan takut kepada Marissa.
Apa maksud wanita itu dia terlihat sederhana? Gaun yang dia kenakan untuk menghadiri pernikahan Nico hari ini menghabiskan hampir setengah gaji bulanannya! Ini adalah gaun termahal yang pernah Diva beli! Enak saja dibilang sederhana!
Di saat Diva sedang memikirkan hal tersebut dan memaki-maki keangkuhan Marissa dalam hati, dia mendengar Elvan mendadak berkata, “Kalau ingin bukti, mudah saja.” Pria itu menoleh ke arah Diva, lalu meletakkan tangannya di tengkuk Diva.
Kaget, Diva menautkan alis. “Elvan, apa yang–”
Tidak sempat menyelesaikan ucapannya, Diva dikejutkan dengan Elvan yang menarik kepalanya mendekat dan–
Cup!
Elvan sungguh mencium Diva di depan keluarganya!
Ciuman hangat mendarat di bibir Diva, membuat mata wanita itu membola. Logikanya mendorong agar tangannya mendorong Elvan menjauh. Akan tetapi, instingnya mengatakan kalau dia melakukan hal itu, maka situasi akan menjadi kacau dan runyam. Alhasil, Diva hanya bisa pasrah di bawah kendali Elvan. Melihat kejadian itu di depan mata, semua orang seolah membeku! Bagaimana tidak? Semua anggota keluarga paham, Elvan adalah orang yang berjabat tangan dengan klien saja sebisa mungkin dihindari. Pria itu adalah seorang clean freak! Akan tetapi, sekarang, pria yang paling menghindari bersentuhan dengan orang lain itu … berujung mencium seorang wanita?! Bukan kecupan, tapi ciuman! Untuk waktu yang cukup lama pula! Demikian, ini adalah hal yang sangat menggemparkan! SREET! Di tengah keterkejutan itu, suara kursi yang bergesekkan dengan lantai terdengar. Para senior menoleh dan mendapati Marissa berdiri dari kursinya. Mata wanita muda itu berkaca-kaca, tampak sakit hati dan ingin menangis melih
Terkejut dengan siapa yang menghubunginya, Diva menautkan alisnya. Dari mana pria itu mendapatkan nomor rekening dan juga nomor teleponnya?! Sesaat Diva kebingungan, tapi kemudian, dia mengingat latar belakang Elvan yang berkuasa dan tidak lagi heran. Dengan uang, segala hal bisa dibeli dan didapatkan, termasuk informasi pribadi seseorang. “Kenapa kamu menghubungiku?” tanya Diva ketus. “Aku ingin memberitahukan mengenai–” “Imbalan atas pelecehan yang kamu lakukan?” potong Diva, masih merasa marah akan hal itu. “Diva … aku–” “Dengar, Tuan Elvan Wongso. Aku paham niatmu, dan aku akan menerima uang tutup mulutmu. Akan kujamin apa yang terjadi beberapa hari yang lalu menjadi rahasia. Oleh karena itu, berhenti menghubungiku … karena aku tidak ingin lagi terlibat denganmu!” PIP! Usai mengatakan itu, Diva memutus panggilan tanpa menunggu balasan Elvan. Dia yakin pria itu akan terus mengganggunya kalau uang tersebut tidak dia terima. Diva terlalu paham cara bermain orang-orang kalang
Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh. “Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?” “Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!” “Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.” Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu. Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?” Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?! Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?” Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau
Waktu seolah berhenti saat Diva melihat sosok Elvan menjulang di hadapannya. Satu tangan pria itu mencengkeram lengan petugas keamanan, selagi yang satunya lagi memegang tangan Diva, melindunginya. “Elvan …,” panggil Diva dengan agak kaget. Mendengar suara Diva, Elvan langsung menghempaskan tangan petugas keamanan dan berbalik menatap wanita itu. “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” Diva menggeleng. “Aku nggak apa-apa ….” Walau Diva menjawab seperti itu, tapi Elvan bisa melihat tangan wanita itu memegangi pergelangan tangannya sendiri yang memerah akibat cekalan Nico tadi. Hal itu membuat pancaran mata Elvan menggelap dan dia menghadap ke arah sang pemilik pesta. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Elvan berkata dengan nada datar, tetapi suara itu terdengar seperti lonceng kematian. Nico terlihat sangat gugup dengan ucapan Elvan barusan, apalagi tatapan mata yang menghujam ke arahnya, seolah dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Otaknya berputar, bingung lanta
Di dalam mobil yang berjalan itu, Diva hanya diam. Elvan sendiri juga tidak melakukan interupsi apa pun setelah dia bertanya alamat rumah Diva, sengaja memberikan ketenangan untuk wanita yang saat ini pasti sedang memikirkan begitu banyak hal. Selagi menyetir, Elvan menghela napas dalam hati. Pria itu tidak menyangka kalau ternyata wanita yang ada di sebelahnya ini sangat bodoh, bisa-bisanya dibohongi oleh orang-orang macam Nico dan Nadya. Dan lagi, walau mungkin benar Diva mengacaukan pernikahan dua orang itu, tapi harusnya dua orang itu sadar akan kesalahan mereka yang berselingkuh di belakang Diva dan meminta maaf, bukan malah mempermalukannya di depan seluruh pegawai kantor lainnya! ‘Seperti kata Diva, harta dan pendidikan tidak menunjukkan ‘kelas’ seseorang,’ batin Elvan. “Terima kasih, Elvan.” Ucapan itu membuyarkan lamunan Elvan, membuat pria itu melirik Diva melalui ekor matanya, kemudian kembali fokus ke depan. “Untuk?” “Terima kasih karena sudah membantuku.” Diva berka
Diva terdiam sesaat, memerhatikan wajah Elvan. Pria itu memang tidak melihat ke arah Diva, tapi dia bisa merasakan ucapan Elvan ini tidak main-main. Karena Diva tidak berbicara, Elvan pun melanjutkan, “Waktu itu, aku hanya fokus dengan tujuanku saja tanpa mempertimbangkan perasaanmu.” Saat itu juga, Diva menyadari kalau Elvan sedang membahas ciuman itu. Dia memalingkan wajah ke depan, menghindar dari menatap wajah Elvan karena wajahnya mulai memerah ketika mengingat kembali momen tersebut. “Selama kamu tidak melakukan hal gila lagi, kumaafkan.” Diva berkata singkat. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Diva merelakan ciuman pertamanya begitu saja. Akan tetapi, kalau dirinya tidak mendapatkan bantuan dari Elvan tadi di pesta, mungkin dirinya sekarang akan menjadi cemoohan sekantor dan bisa dibayangkan betapa buruknya lingkungan kerjanya nanti. Bukan hanya Nadya semakin merajalela dan Nico mempersulit pekerjaannya, tapi bisa jadi orang-orang akan terus menggunjing dan menghinanya. Membay
“Kamu kenapa?” tanya Lukman, ayah Diva, saat melihat putri keduanya itu masuk ke dalam rumah dengan wajah merona. “A-ah? Nggak apa-apa, Yah. C-capek mungkin.” Diva menjawab dengan agak terbata. “P-Prisya mana, Yah? Kok nggak keliatan?” ucapnya, mengalihkan topik. Lukman memicingkan mata, tapi kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Tadi keluar sebentar, bilangnya mau beli sesuatu,” jawab Lukman seiring kembali fokus pada tontonannya. Mulut Diva membentuk huruf ‘O’, tapi tidak menimpali lagi. “Ya udah, Diva ke kamar dulu ya.” “Hmm.” Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan oleh Nico, keluarga Diva bukan dari golongan kelas atas, mereka hanya keluarga menengah saja. Ayahnya seorang PNS, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Diva anak kedua dari empat bersaudara. Clarisa, sang kakak pertama, sudah menikah, sedangkan Ratri, anak ketiga, tidak tinggal di rumah karena sebuah alasan. Yang terakhir, Prisya, sudah bekerja, dan menjadi saudara yang paling dekat dengan Diva
Melihat putranya mematung di tempat, baru menyadari seberapa fatal kesalahannya, Hardan pun mendengus dan berbalik. “Sudah! Papa malas bicara sama kamu,” ucapnya. “Dibandingkan bahas hal ini, lebih baik kamu cari cara memperbaiki hubunganmu dengan Elvan. Kalau perlu, suruh Nadya yang jadi dalang masalah kemarin untuk minta maaf kepada Elvan!” “Loh, kok jadi Nadya, Pa?” tanya Nico bingung. “Kan Mira yang cari masalah sama Diva dan berujung membuat kita ditegur Elvan?” Hardan mendelik. “Apa kamu bodoh!? Kamu kira tanpa dorongan dari Nadya, pegawai kamu itu berani bertindak!? Pakai otakmu!” Setelah mengatakan itu, pria itu langsung pergi meninggalkan Nico sendiri di sana. Sebelum pergi, dia memaki dengan suara rendah, “Punya anak nggak punya otak!” Mendengar ucapan Ayahnya barusan membuat Nico mengepalkan tangan. Dia berusaha memikirkan kembali ucapan ayahnyat. Memang benar, Mira selaku seorang pegawai tidak mungkin akan bertindak sampai sejauh itu kalau tidak ada yang lebih kuat di
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk