Melihat perkara Diva dan Nadya, seisi ruangan langsung heboh.
“Astaga, bukannya itu Diva dari departemen data analyst? Termasuk anak baru juga ‘kan dia?”
“Iya! Berani banget dia bikin ulah! Sama istri bos pula!”
“Fix, nggak lama lagi juga dia dipecat.”
Komentar demi komentar berterbangan di seluruh penjuru ruangan, tapi tidak ada satu pun yang membela Diva. Semua hanya sibuk berspekulasi nasib buruk macam apa yang menimpanya lantaran yakin bahwa Diva yang salah, terlebih karena mengingat Nadya memiliki kedudukan lebih tinggi dari wanita itu.
Menyadari betapa buruk situasinya, Diva berkata, “Istri Bapak jatuh sendiri, kenapa jadi menyalahkan saya?”
Balasan itu membuat semua orang terperangah. Sudah salah, tapi tidak mau mengaku?! Pun dia tidak salah, beraninya wanita itu secara gamblang melawan si bos?!
Dengan wajah marah, Nico membalas, “Mira jadi saksi kamu mendorong istri saya, dan kamu masih mengelak!?”
Bentakan Nico membuat Diva agak tersentak. Satu tahun berpacaran, walau tidak pernah seromantis itu, tapi pria tersebut tidak pernah bersikap kasar padanya. Sekarang, Nico malah membentaknya dan mempermalukannya di depan semua orang.
Haah … pria yang mudah dimanipulasi seperti ini, kenapa Diva bisa suka padanya dulu?
“Sayang, jangan marah-marah. Tidak enak sama semua tamu,” ucap Nadya sembari tersenyum pahit, seperti berusaha menahan tangis.
Melihat hal itu, Nico berkata dengan lembut, “Sayang, lengan kamu berdarah. Mana bisa aku diam saja kalau tahu penjahatnya siapa!” Pria itu melemparkan pandangan mematikan kepada Diva.
Alis Diva tertaut. “Saya tidak bersalah! Kalau ingin menyalahkan seseorang, salahkan istri Anda tidak berhati-hati!”
“Sudah sejauh ini, kamu masih ingin berbohong?!” tukas Nico. “Memang benar kata ibuku, ‘kelas’ bisa menunjukkan perangai seseorang! Dan kamu! Hanya wanita kelas rendah!”
Wajah Diva langsung pucat mendengar hal itu. Hatinya sakit, dan matanya agak berkaca-kaca, benar-benar bukan Nico yang selama ini dia kenal.
“Cepat panggil keamanan!” Nico berkata dengan kilatan kemarahan.
Tidak lama, petugas keamanan pun datang. “Hadir, Pak!”
“Seret wanita ini keluar!” titah Nico dengan keji.
Melirik Diva, petugas keamanan langsung menjulurkan tangan untuk mencekalnya. Akan tetapi, tepat sebelum tangan petugas keamanan menyentuh Diva, sebuah tangan lain langsung menghentikannya!
“Sekali kamu menyentuhnya, maka jangan salahkan aku mematahkan tanganmu!”
Terkejut, semua orang pun menoleh ke arah pemilik suara, mencari tahu siapa yang berani menghadang petugas keamanan yang diperintahkan Nico.
Namun, begitu melihat sosok yang membelanya, Diva langsung terperangah. “Elvan ….”
*Beberapa saat sebelumnya*
Di lorong kantor Tekno in Tower, terlihat seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam dan kemeja putih membalut tubuhnya, tengah berjalan beriringan dengan sekretaris pribadinya. Semua orang yang dia lewati membungkuk hormat, menunjukkan posisinya yang tinggi dan dihormati.
“Pak Elvan, nanti sore kita masih ada acara untuk menghadiri undangan pesta perayaan Nico Mahardika, apa Bapak akan hadir?” tanya Dania, sekretaris Elvan, saat mereka berjalan masuk ke ruang kerja pria itu usai sebuah meeting.
“Nico Mahardika?” Elvan mengerutkan keningnya. “Siapa?“
“Dari aplikasi ‘Keranjangku’, Pak,’ jelas Dania lagi.
“Seingatku kita tidak ada hubungan dengan ‘Keranjangku’,” balas Elvan lagi, paling tidak suka menghadiri acara ramai semacam itu.
“Ini … sebenarnya Tuan Hartono yang meminta Bapak untuk menghadirinya, menggantikan Beliau yang ada urusan penting dengan Nyonya Radiah,” jelasnya lagi.
Mendengar itu, Elvan menghela napas kasar. Dia baru ingat tentang pesan sang kakek yang mengharuskannya datang ke sebuah pesta.
“Oke, kirimkan saja alamatnya beserta detail acara, saya akan pergi sendiri untuk malam ini.”
“Baik, Pak.”
Beberapa jam setelah itu, Elvan pun pergi menuju restoran tempat pesta diadakan, Ocean Sky. Dia sengaja sampai lima belas menit lebih lambat agar tidak perlu hadir lama dalam pesta.
Melangkah masuk ke dalam ruang pesta, kehadiran Elvan langsung menarik perhatian banyak orang.
“Bukankah itu Elvan Sabil Wongso? Cucu dari Hartono Wongso, pendiri Lux Tech Group!?”
“Wah, dia tampan sekali! Persis artis!”
Komentar-komentar itu terus bertebaran, tapi Elvan tidak menggubrisnya. Matanya tengah menyapu sekeliling untuk mencari sang ‘tuan rumah’ yang mengadakan pesta agar dia bisa mengucapkan selamat dan pergi sesegera mungkin.
Namun, “misi” Elvan mendadak terhenti karena sebuah teriakan.
“Ah! Sakit sekali. Diva, kenapa kamu bersikap seperti ini!? Apa salahku padamu?!”
Mendengar nama ‘Diva’, kening Elvan langsung berkerut. Nama itu adalah nama yang beberapa waktu ini susah payah dia lupakan lantaran terus menghantui pikirannya.
Kesal, pria itu menoleh ke arah sumber suara, lalu melihat seorang wanita yang terjatuh dan juga seorang wanita lain yang berdiri dengan wajah terkejut.
Wajah wanita kedua itu adalah wajah yang sangat familier, wajah yang beberapa hari ini terus terbayang di benaknya.
Diva!
Elvan melihat bagaimana seorang pria berlari menghampiri wanita yang terjatuh di hadapan Diva. Dia mengenali pria tersebut sebagai Nico Mahadirka, pria yang mengadakan acara malam ini.
“Nadya!” teriak Nico seraya membantu istrinya berdiri. Dia kemudian menatap Diva marah. “Diva, apa yang kamu lakukan pada istri saya!?”
Bentakan yang diikuti dengan makian Nico kepada Diva langsung membuat seisi ruangan ricuh. Hal tersebut menyebabkan alis Elvan tertaut.
Sebagai orang yang telah menyelidiki sejumlah hal perihal Diva, Elvan langsung paham bahwa Nico adalah mantan kekasih yang menyelingkuhi Diva. Sedangkan Nadya, istri dari Nico, adalah sahabat baik yang mengkhianati Diva.
Namun, walau Elvan tahu mengenai semua hal ini, apa urusan permasalahan tersebut dengannya?
Tidak ingin ikut campur dalam masalah, Elvan pun hanya melipat kedua tangannya dan mendengar perdebatan panas Diva dan Nico.
“Saya tidak bersalah! Kalau ingin menyalahkan seseorang, salahkan istri Anda tidak berhati-hati!” teriak Diva dengan wajah diselimuti keyakinan.
“Sudah sejauh ini, kamu masih ingin berbohong?!” tukas Nico. “Memang benar kata ibuku, ‘kelas’ bisa menunjukkan perangai seseorang! Dan kamu! Hanya wanita kelas rendah!”
Mendengar kalimat terakhir Nico yang membuat wajah Diva berubah diselimuti ekspresi terluka, pelipis Elvan berkedut. Hatinya terasa panas dan tangannya tanpa sadar mengepal.
“Cepat panggil keamanan!” seru Nico yang kemudian mendatangkan dua petugas keamanan. “Seret wanita ini keluar!” titah Nico dengan keji.
Melihat tangan kasar petugas keamanan terjulur ke arah Diva, tubuh Elvan bergerak sendiri untuk mencengkeram lengan petugas keamanan tersebut. Hal tersebut membuat Nico terkejut dan menatap Elvan dengan wajah terkejut, langsung mengenali identitas pria tersebut.
“T-Tuan Elvan? Anda–”
Wajah Elvan tampak buruk dan diselimuti amarah mendalam. Dengan aura membunuh yang kental, pria itu berkata dengan suara dalam berbahaya, “Sekali kamu menyentuhnya, maka jangan salahkan aku mematahkan tanganmu!”
Waktu seolah berhenti saat Diva melihat sosok Elvan menjulang di hadapannya. Satu tangan pria itu mencengkeram lengan petugas keamanan, selagi yang satunya lagi memegang tangan Diva, melindunginya. “Elvan …,” panggil Diva dengan agak kaget. Mendengar suara Diva, Elvan langsung menghempaskan tangan petugas keamanan dan berbalik menatap wanita itu. “Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” Diva menggeleng. “Aku nggak apa-apa ….” Walau Diva menjawab seperti itu, tapi Elvan bisa melihat tangan wanita itu memegangi pergelangan tangannya sendiri yang memerah akibat cekalan Nico tadi. Hal itu membuat pancaran mata Elvan menggelap dan dia menghadap ke arah sang pemilik pesta. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Elvan berkata dengan nada datar, tetapi suara itu terdengar seperti lonceng kematian. Nico terlihat sangat gugup dengan ucapan Elvan barusan, apalagi tatapan mata yang menghujam ke arahnya, seolah dia sedang berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Otaknya berputar, bingung lanta
Di dalam mobil yang berjalan itu, Diva hanya diam. Elvan sendiri juga tidak melakukan interupsi apa pun setelah dia bertanya alamat rumah Diva, sengaja memberikan ketenangan untuk wanita yang saat ini pasti sedang memikirkan begitu banyak hal. Selagi menyetir, Elvan menghela napas dalam hati. Pria itu tidak menyangka kalau ternyata wanita yang ada di sebelahnya ini sangat bodoh, bisa-bisanya dibohongi oleh orang-orang macam Nico dan Nadya. Dan lagi, walau mungkin benar Diva mengacaukan pernikahan dua orang itu, tapi harusnya dua orang itu sadar akan kesalahan mereka yang berselingkuh di belakang Diva dan meminta maaf, bukan malah mempermalukannya di depan seluruh pegawai kantor lainnya! ‘Seperti kata Diva, harta dan pendidikan tidak menunjukkan ‘kelas’ seseorang,’ batin Elvan. “Terima kasih, Elvan.” Ucapan itu membuyarkan lamunan Elvan, membuat pria itu melirik Diva melalui ekor matanya, kemudian kembali fokus ke depan. “Untuk?” “Terima kasih karena sudah membantuku.” Diva berka
Diva terdiam sesaat, memerhatikan wajah Elvan. Pria itu memang tidak melihat ke arah Diva, tapi dia bisa merasakan ucapan Elvan ini tidak main-main. Karena Diva tidak berbicara, Elvan pun melanjutkan, “Waktu itu, aku hanya fokus dengan tujuanku saja tanpa mempertimbangkan perasaanmu.” Saat itu juga, Diva menyadari kalau Elvan sedang membahas ciuman itu. Dia memalingkan wajah ke depan, menghindar dari menatap wajah Elvan karena wajahnya mulai memerah ketika mengingat kembali momen tersebut. “Selama kamu tidak melakukan hal gila lagi, kumaafkan.” Diva berkata singkat. Sebenarnya, bukan tanpa alasan Diva merelakan ciuman pertamanya begitu saja. Akan tetapi, kalau dirinya tidak mendapatkan bantuan dari Elvan tadi di pesta, mungkin dirinya sekarang akan menjadi cemoohan sekantor dan bisa dibayangkan betapa buruknya lingkungan kerjanya nanti. Bukan hanya Nadya semakin merajalela dan Nico mempersulit pekerjaannya, tapi bisa jadi orang-orang akan terus menggunjing dan menghinanya. Membay
“Kamu kenapa?” tanya Lukman, ayah Diva, saat melihat putri keduanya itu masuk ke dalam rumah dengan wajah merona. “A-ah? Nggak apa-apa, Yah. C-capek mungkin.” Diva menjawab dengan agak terbata. “P-Prisya mana, Yah? Kok nggak keliatan?” ucapnya, mengalihkan topik. Lukman memicingkan mata, tapi kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Tadi keluar sebentar, bilangnya mau beli sesuatu,” jawab Lukman seiring kembali fokus pada tontonannya. Mulut Diva membentuk huruf ‘O’, tapi tidak menimpali lagi. “Ya udah, Diva ke kamar dulu ya.” “Hmm.” Seperti yang sebelumnya sudah disebutkan oleh Nico, keluarga Diva bukan dari golongan kelas atas, mereka hanya keluarga menengah saja. Ayahnya seorang PNS, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Diva anak kedua dari empat bersaudara. Clarisa, sang kakak pertama, sudah menikah, sedangkan Ratri, anak ketiga, tidak tinggal di rumah karena sebuah alasan. Yang terakhir, Prisya, sudah bekerja, dan menjadi saudara yang paling dekat dengan Diva
Melihat putranya mematung di tempat, baru menyadari seberapa fatal kesalahannya, Hardan pun mendengus dan berbalik. “Sudah! Papa malas bicara sama kamu,” ucapnya. “Dibandingkan bahas hal ini, lebih baik kamu cari cara memperbaiki hubunganmu dengan Elvan. Kalau perlu, suruh Nadya yang jadi dalang masalah kemarin untuk minta maaf kepada Elvan!” “Loh, kok jadi Nadya, Pa?” tanya Nico bingung. “Kan Mira yang cari masalah sama Diva dan berujung membuat kita ditegur Elvan?” Hardan mendelik. “Apa kamu bodoh!? Kamu kira tanpa dorongan dari Nadya, pegawai kamu itu berani bertindak!? Pakai otakmu!” Setelah mengatakan itu, pria itu langsung pergi meninggalkan Nico sendiri di sana. Sebelum pergi, dia memaki dengan suara rendah, “Punya anak nggak punya otak!” Mendengar ucapan Ayahnya barusan membuat Nico mengepalkan tangan. Dia berusaha memikirkan kembali ucapan ayahnyat. Memang benar, Mira selaku seorang pegawai tidak mungkin akan bertindak sampai sejauh itu kalau tidak ada yang lebih kuat di
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali Diva sudah tiba di kantor. Sengaja dia melakukan itu untuk merapikan semua barang-barang pribadinya, memasukkannya ke dalam box besar untuk dibawa pulang. Saat baru saja selesai, mendadak Diva menerima sebuah pesan. [Sudah selesai beresin barangnya?] Melihat pesan itu, tanpa sadar Diva tersenyum. Dia mengetikkan balasan. [Sudah. Sisa ngasih surat resign.] Tak sampai dua detik, Diva mendapatkan balasan. [Mau dijemput?] Membaca kalimat itu, Diva tertawa kecil. Dia cepat memberikan balasan lagi. [Nggak usah. Memangnya CEO L Tekno nggak ada kerjaan sampai bisa asal jemput-jemput karyawan perusahaan lain?] Usai mengirimkan balasan itu, Diva menggelengkan kepala. Sungguh tidak bisa dia sangka kalau dirinya bisa berakhir saling mengirimkan pesan sesantai itu dengan bujangan paling diincar satu negara. Ya, orang yang sedari tadi saling mengirimkan pesan dengannya adalah Elvan! Sejak blokirannya dibuka, Elvan terus mengiriminya pesan. Dan karena me
Nico terlihat panik. Dia membaca sekilas surat itu dan langsung terkejut. Diva sungguh ingin mengundurkan diri! Akan tetapi, dengan situasi hubungannya dengan Elvan, Nico tidak bisa membiarkan wanita itu berhenti sebelum semua masalahnya diberikan solusi! “Diva, kenapa kamu seperti ini, kamu masih sangat dibutuhkan di sini, kamu–” “Dibutuhkan kamu bilang?” ulang Diva dengan ekspresi mencemooh. Tidak percaya omong kosong seperti itu bisa keluar dari mulut Nico. "Setelah semua yang kamu lakukan, apa kamu kira kamu bisa memanfaatkanku lagi?" tanyanya. "Konyol!" maki Diva sebelum akhirnya membalikkan badannya dan melangkah pergi. “Diva tunggu!” Nico tidak terima Diva pergi begitu saja, dia kembali mencegah Diva dengan menarik tangannya. Hal tersebut membuat Diva kehilangan keseimbangan. Menyadari hal itu, Nico dengan cepat meraih pinggang Diva agar wanita itu tidak terjatuh ke lantai. Dengan posisi yang begitu dekat, Nico bertanya, “Kamu baik-baik saja?” Mata Diva mendelik. “Lep–”
“Kakek ….” Diva berkata dengan suara yang tercekat. Kata “Kakek” yang lolos dari mulut Diva ini membuat orang-orang terdiam, terutama Nico! Pria ini tidak menyangka bahwa Diva memanggil petinggi Lux Tech Group itu dengan sebutan kakek! Orang-orang biasanya akan memanggil Hartono dengan sebutan Pak atau Tuan, sebagai bentuk penghargaan. Akan tetapi, Diva malah memanggilnya dengan panggilan “Kakek”, sebutan untuk merujuk kepada keluarga. Apa itu artinya Diva berhubungan dekat dengan Lux Tech Group?! “Apa yang terjadi di sini?” Hartono mendekat dengan wajah marah. Diva sedikit cemas. Apa mungkin kakek Elvan ini termakan tudingan Nadya padanya!? Belum sempat Diva membuka suara, Nico langsung menjawab dengan terbata, “Pa-pak Hartono, ini hanya kesalahpahaman saja.” Lidahnya yang biasa dengan mudah mengeluarkan kata-kata sanjungan mendadak kelu. Dia melihat ke arah Diva untuk meminta pertolongan, tapi wanita itu membuang wajah dan hanya diam. “Kesalahpahaman ya?” Hartono berkata d
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk