mereka kaget kita sih udah tahu... hehehe... temen2 thanks buat yang kasih vote maupun giftnya! sayang kalian banyak2.... 🥰🥰🥰
Elvan tahu keduanya pasti sangat terkejut, tetapi dia tidak mau menanggapi lebih jauh, sebelum rasa penasaran mereka muncul lebih banyak Elvan segera berkata, “Sayang, aku pulang dulu.” Elvan mengusap kepala Diva sejenak lalu membelai singkat pipinya. Diva yang masih terkejut ini, tak bergeming menatap Elvan. “Titip salam buat Ibu, ya Yah, sepertinya dia masih bicara serius dengan Paman Isaac.” Elvan berkata pada Lukman, pria itu membalas dengan anggukan singkat dan tersenyum. Elvan melangkah ke arah pintu, Diva segera mengiringi langkahnya dengan cepat di belakang. Sampai di depan pintu kamar itu, Diva tidak tahan untuk tidak bertanya. “Kamu … sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan ayah?” tanya Diva penasaran. “Sepertinya kamu tanya ayahmu saja,” jawab Elvan dengan memamerkan senyumnya. “Ck! sok ganteng kamu!" Diva kembali berdecak kesal. "Terserah mau sok ganteng atau memang ganteng beneran yang penting kamu mau sama aku!" Elvan menggoda Diva. "Elv~!" belum sem
Ucapan Lukman jelas membuat Diva dan Prisya tidak bisa berkata-kata untuk sesaat, terutama Diva yang saat ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, raut wajahnya benar-benar terlihat menegang. Diva merasakan tenggorokannya sangat serat dia berusaha mengatakan sesuatu pada ayahnya, “Ja-jadi maksud ayah dia ….” “Apa Elvan sudah menceritakannya padamu tentang kecelakaannya itu? Tentang yang membuatnya trauma pada laut?” tanya Lukman dengan suara tenangnya. Diva menggeleng, Elvan memang belum memberitahunya secara langsung, tapi dia tahu dari Dokter Reynand tentang masalah ini, kemarin sempat dia ingin bertanya tapi … lagi-lagi dia lupa karena kebersamaan dengan Elvan rasanya sayang kalau dipakai untuk memikirkan hal yang berat. Baru saja dia ingin bertanya langsung, dia malah tidak bisa menghubungi pria itu lagi. Rasanya dia menyesal sekarang, karena penyakit lupanya sering kambuh saat terpesona oleh aura dominan milik pria itu. “Apa ayah bisa ceritakan semuanya? Yang Diva tah
Raut wajah Diva menegang, kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran jahat, apa ada orang yang setega itu? Menghilangkan nyawa orang lain demi kekuasaan sesaat di dunia ini?“Lalu apa yang selanjutnya terjadi?” Diva bertanya dengan cepat.“Saat tiba di pelabuhan teman ayah yang lain mulai memberikan keterangan pada petugas, sedangkan ayah langsung pulang.”Keterangan Lukman membuat dahi Diva mengkerut, “Kalau begitu harusnya ayah sampai di rumah tidak lama, kan?”“Ya, tapi saat mau pulang, motor yang ayah bawa bannya kempes jadi harus cari tukang tambal ban, HP yang ayah bawa juga batrenya habis jadi tidak bisa menghubungi ibumu.” “Okay itu masalah kita, tentang Elvan, bagaimana keadaan Elvan setelah itu?” tanya Diva lagi.“Itu … ayah tidak tahu lagi tentang pria itu setelah dia dibawa oleh tim penyelamat dan beberapa teman ayah menggunakan ambulan.”“Apa ayah tidak cerita dengan teman-teman ayah yang saat itu bersama ayah tentang berlanjutnya cerita pria asing yang kalian selamatkan itu?
Mendengar hal itu otak Diva langsung berpikir kalau sebenarnya Elvan sedang merencanakannya dalam diam! Pria itu benar-benar di luar perhitungan. Diva lalu tersenyum sambil membuka paper bagnya, bangga dengan pria itu, ternyata dia sangat dimanjakan oleh Elvan, tahu begini dia tidak perlu repot-repot untuk menyusun banyak plan a, b c, sampai z.“Aih, sekarang senyum-senyum kemarin masam-masam, kalo udah seneng gini biasanya lupa sama adik sendiri.” Prisya berkata pada Diva dengan nada mengayun.“Namanya juga jatuh cinta, Pris,” goda Lukman pada anaknya.“Apaan sih berisik banget, entar didenger ibu sama si paman bule lagi!” Diva berkata dengan melihat ke arah luar.“Ada-ada saja kalian ini, biarkan mereka melepas rindu dulu. Mau tau yang mereka bicarakan tadi?” Lukman berkata dengan penuh misteri.“Apa?!” sahut keduanya bersamaan.“Shhh!” Lukman menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. “Jangan berisik, nanti Danish bangun mau sama ibu kalian kan repot.”“Ya ayah sih, sok-sok-an bikin
Diva benar-benar tidak menyangka kalau ayahnya berkata demikian setelah dukungan penuh dia terima.“Apa menurut ayah Diva akan mundur?” tanya Diva membalas tatapan tajam ayahnya.Lukman menundukkan kepalanya dan tersenyum. “Sepertinya tidak mungkin.”“Kalau ayah tahu jawabannya kenapa ayah masih bertanya?” “Ayah harus memastikan sekali lagi, kalau pernikahan itu lebih baik sekali seumur hidup Diva, dan ayah tidak mau kamu menyerah atas apa yang kamu pilih.”“Tapi … kalau melihat aku kesakitan dan bertahan dengan pilihanku, ayah pasti akan melakukan sesuatu agar aku tidak sakit lagi kan? Seperti yang akan ayah lakukan pada Kak Clarissa?” Ucapan Diva membuat Lukman tertegun.“Apa artinya kalau terjadi hal yang buruk ayah akan menyuruhku untuk bercerai saja dari Elvan?” tanya Diva lagi.“Seperti yang akan ayah lakukan pada pernikahan Kak Clarissa?” Kalimat Diva ini lebih seperti sebuah pernyataan bukan pertanyaan.“Pernikahan itu adalah hal yang sakral, karena itu ayah harus memastikan b
Belum sempat Diva ingin protes lagi, pria itu berkata pada Diva dengan menepuk pelan pundaknya beberapa kali untuk memberikan keyakinan. “Diva, percaya sama Paman, okay, nanti paman akan menghubungimu kembali.” Walaupun sebenarnya Diva berpikir apa gunanya sebuah cincin? Bukankah ini bisa dibuat tiruannya? Diva tidak ada pilihan lain selain mengiyakan dengan cara mengangguk, percuma mau protes dengan apa yang ada dalam pikirannya sekarang, Diva hanya bisa membuktikan ucapannya saja, apa bisa dipercaya atau tidak. Diva lalu kembali ke kamar mereka, sebelum keluar Diva sengaja mengganjal pintu dengan slot dalam kamar agar pintu tetap terbuka, jadi saat itu Diva langsung bisa masuk tanpa menekan bel. Baru saja dia melangkah masuk, terlihat di sana wajah Ayah, Ibu dan juga Prisya sedikit tegang, Diva merasakan kalau ada hal yang sedang mereka bicarakan. ‘Ah, sepertinya aku tertinggal sesuatu,’ rutuk Diva dalam hati. “Kita harus melakukannya, secepatnya, Yah!” Indah berkata dengan
“Kurang satu, cincin milik Ara, kalau semuanya disatukan maka bayangannya ini akan terlihat jelas. Sebuah gambar wajah yang melambangkan kakek kalian, Joachim Wennink, lalu huruf W ditengahnya dan gambar yang lebih kecil ini mewakili kami masing-masing,” jelas Indah, membenarkan pikiran Diva sebelumnya. “Semua hal sudah diperhitungkan semua oleh kakek kalian, termasuk kunci akses ke ruangan-ruangan pribadi di dalam rumah yang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk, dan ... cincin ini salah satu kuncinya.” Indah kembali menjelaskan. “Wow, kupikir ini hanya ada di dalam film saja,” celetuk Prisya tiba-tiba, dia benar-benar terlihat sangat kagum dengan apa yang dijelaskan oleh ibunya. Beda halnya dengan Diva, saat ibunya mengatakan hal demikian dia labgsung terpikir sesuatu. “Nah, kalau ini diberikan paman padaku, bagaimana dia bisa masuk ke ruangan itu? Apa dia mengalami kesulitan?” Pertanyaan Diva membuat Indah tersenyum. “Artinya kamu tahu, kalau dia tidak main-main
“Ini ... benar-benar gila!” Prisya akhirnya menyadari sesuatu yang besar ini.Diva hanya diam melihat ekspresi adiknya itu.“Kamu melupakan hal penting ini cepat sekali ternyata. Kakak saja masih ingat dengan apa yang kamu cari tentang keluarga Wennink dalam sekali baca.”“Okay kakakku memang yang terbaik walau kadang juga suka lem … ot,” ucap Prisya dengan santai.“Ya wajarlah, Kakakmu ini hanya manusia biasa, bukan Tuhan yang tahu segalanya! Lupakan tentang ibu dan keluarganya itu dulu, kita balik cerita ke masalah Kak Clarissa. Sekarang kamu cari tahu tentang keluarga Sugara, kakak pikir tidak terlalu sulit untuk menemukannya, kan?” Diva berkata dengan nada serius pada Prisya.“Ya, sepertinya begitu,” ucap Prisya terdengar santai.“Kupikir paman kita itu tahu juga tentang Kak Clarissa, apalagi berdasarkan cerita ayah, mereka sudah bertemu sejak kemarin, artinya ayah dan paman pasti sudah banyak bercerita, kan?” Ucapan Diva diaminkan oleh Prisya dengan menganggukkan kepalanya perlaha
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk