Ah, mari kita selesaikan satu per satu!
Lalu, terdengar isakan Clarissa kembali dari sambungan telepon itu."Kalau masih mau menangis, menangis saja, kak," ucap Diva lagi.Terima kasih, Terima kasih atas bantuan kalian nanti," ucap Clarissa disela-sela tangisnya itu.Setelah tangisnya yang mulai mereda lagi, Diva kembali bertanya, “Apa kakak benar-benar sudah bertekad untuk pergi dari rumah itu?”“Ya, kakak sudah memutuskannya.” Clarissa berkata tanpa keraguan kali ini, terdengar helaan napas yang lumayan berat saat dia mengatakannya."Apa kakak juga sudah bersiap untuk berpisah?” tanya Diva lagi dengan suara rendah, karena dia perlu memastikan kakaknya benar-benar membulatkan tekad, percuma kalau masih ada keraguan, karena semua nanti akan sia-sia saja.“Hmm, tentu saja kakak sudah sangat yakin, tapi … kakak tidak tahu apakah nantinya hak asuh atas anak-anak kakak ini bisa jatuh ke tangan kakak atau tidak.” Suara Clarissa terdengar putus asa.“Kakak tenang saja, kita akan berusaha membuatnya menjadi seperti keinginan kakak.
“Su-a-mi-ku?” Diva mengeja tulisan itu dengan pelan, bola matanya sedikit membesar dan membuat kedua alisnya terangkat, detik berikutnya lengkungan senyumnya terukir dan wajahnya mulai merona. Mengetahui hal ini membuat Prisya merotasi bola matanya dan mengeluarkan ekspresi seperti ingin muntah.“Ah, dunia terasa milik berdua saja! Kakak cepatlah sadar, belum apa-apa sudah salah tingkah duluan.” Prisya menarik kesadaran Diva dengan pikirannya sendiri.“Sudah nyaris pukul setengah satu dini hari, cepat hubungi Kak Elvan. Jangan terpesona kelamaan entar lupa lagi tujuan awal.” Kembali Prisya memperingatkannya.“Iya-iya, cerewet banget. Jam segini pasti kita tidak akan mengganggu istirahatnya, kan?” Diva memastikan pada Prisya, namun adiknya itu menjawabnya dengan tatapan tajam.“Terserah, mau hubungi atau tidak, kalau tidak mau hubungi Kak Elvan aku mau pesan tiket pesawat.” Prisya berkata dengan penekanan yang tebal di sana.“Kalau orang normal jam segini memang waktu istirahat, kan, ta
Untuk membuat suasana lebih nyaman, Diva lalu berkata, “Baiklah, nanti aku akan memberitahu ini pada Prisya sekarang."“Oh, iya, untuk yang menemaninya nanti aku akan suruh Bimo saja dan beberapa orang lagi untuk ikut bersamanya agar keselamatan mereka bisa dijaga dengan baik,” ujar Elvan lagi.“Ah, kamu seperti dewa penolong yang datang dari langit, Van! Aku ingin memelukmu sekarang.” Diva berkata tanpa malu-malu.“Seharusnya kita lebih cepat menikah Diva,” ucap Elvan dengan terkekeh ringan.“Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu lagi.” Diva merengek manja.“Besok aku akan menyuruh Alisha menjemputmu di sana. Jam berapa kamu ready?” tanya Elvan lagi padanya.“Menjemputku untuk bertemu denganmu?!” tanya Diva dengan tidak sabaran.“Bukan, besok aku masih ada urusan yang perlu kuselesaikan, memakan waktu yang lumayan panjang, ada waktu mungkin sudah malam, aku tidak mau menganggu waktu istirahatmu.” Ucapan Elvan membuat Diva sedikit kecewa.“Lalu Alisha menjemputku untuk apa?” tanya D
[Kalau sudah sampai di sini nanti, aku sudah bilang ke Bimo untuk membawa mereka ke apartemen milikku, memang tidak terlalu besar, tapi keamanannya terjaga. Kupikir kakakmu bisa tinggal dengan nyaman untuk sementara waktu.][Masalah ini, ayah harus diberitahu, karena tidak mungkin dirahasiakan, lagipula keadaannya sudah berbeda, kan?][Dan kalau dia memang sudah benar-benar memutuskan untuk berpisah, Prisya juga tahu kuasa hukum yang sering kugunakan, suruh adik kita itu menemui mereka, dan ajak mereka ke apartemen itu, agar Kak Clarissa tidak perlu keluar.]Ketiga pesan yang datang dari Elvan secara beruntun inilah yang membuat keduanya benar-benar merasa sedang mendapatkan pertolongan yang tidak tanggung-tanggung dari pria itu.“Baik, semua urusannya sudah selesai, lalu bagaimana cara memberi tahu ayah masalah ini?” tanya Prisya pada Diva.“Ya tinggal dibicarakan saja pada ayah nanti, dan itu kamu tidak perlu memikirkannya, tugasmu seperti yang kita buat saja, dan mudah-mudahan kamu
“Ibuuuu~~~!” Diva tidak terima saat orang tuanya mengatakan hal itu, apalagi ibunya yang sangat jarang menggodanya seperti ini. “Nah, benar seperti yang dikatakan oleh Ibu, kamu habiskan dulu hidangannya, nanti baru ayah beritahu.” Lukman mendukung ucapan istrinya sambil tertawa. “Ih, puas banget deh bikin orang penasaran! Lagian apa susahnya tinggal bilang aja,” rengek Diva sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Ini Div, dikit lagi loh.” Indah lalu memberikan sepiring kue ke depan Diva. “Ibu! Ini gulanya terlalu banyak, kalau Diva gendut gimana? Nanti Elvan malah gak suka sama Diva lagi!” Diva bersungut kesal. “Kata siapa? Lagian jangan berpikir tentang hal begitu, orang gendut memangnya tidak boleh jatuh cinta? Ibu yakin apapun kondisi fisik kita, jaga hati kita agar aura dari dalam tubuh kita tetap keluar.” Indah berkata dengan tenang pada anaknya. “Yee … itukan kata ibu yang gak pernah gemuk. Beda pendapat kalo–” “Udah habisin aja, Div, itu dikit kok.” Lukma
Hal ini jelas membuat Diva tertegun. “Apa yang ayah katakan itu benar?” tanya Diva. Lukman hanya mengangguk. “Ah, apa kalau aku bilang aku mau sekarang dia juga bersedia?” Diva berkata asal dengan santai sembari mengunyah kue keju yang ada di atas meja dengan sedikit terpaksa. “Menurutmu?” Lukman bertanya balik. “Iya, aku tahu, bahkan kalau aku bilang detik ini juga, dia pasti mau, begitu, kan maksud ayah.” Diva berkata dengan penuh penekanan. Lukman tersenyum lalu mengeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kamu benar-benar mau sekarang juga?” “Ck! Mana mungkin aku menikah dengan cara dadakan tanpa persiapan. Ayah sendiri yang mengatakan kalau pernikahan itu adalah hal yang sakral dan tidak boleh asal jadi, mentang-mentang dia bisa melakukan banyak hal.” Diva berkata dengan bibir manyun. “Jadi, kamu mau kapan?” tanya Indah pada Diva dengan penasaran. “Cieee … sekarang ayah dan ibu kan yang penasaran kalo gitu … gimana kalo ayah dan ibu cerita dulu tentang kisah romantis kali
Lukman hanya tersenyum melihat anaknya itu, lalu detik berikutnya, Diva mangambil ponsel milik ayahnya tersebut dengan sedikit memaksa. “Van, ini tuh gak begitu kok, aku gak minta macem-macem.” Diva berkata dengan sedikit panik, lagipula dia tidak mau membuat Elvan makin banyak beban karena urusan ini. Memang, pernikahan di tepi pantai dengan pemandangan laut yang luas adalah impiannya, tapi saat tahu Elvan tidak bisa melakukan hal itu, setidaknya dia tidak akan memaksakan keinginannya ini. Dia tidak mau menuntut banyak hal dari Elvan. Terdengar suara tertawa renyah di ujung sana. “Tidak masalah, Sayang, aku tidak menyangka kalau ternyata kamu benar-benar menyukai laut.” “Kamu … tahu?” tanya Diva lagi, tetapi pertanyaan yang keluar dari mulutnya ini terasa begitu bodoh! Tidak mungkin Elvan tidak menyelidiki semua tentangnya, kan?! ‘Diva bodoh sekali kamu!’ gumam Diva dalam hati. “Aku tahu dari ayahmu, beliau mengatakan kalau ada kesempatan kamu pasti akan memilih liburan di pan
"Welcome, Kak Diva,” ucap Alisha saat mereka tiba di sebuah rumah dengan gaya minimalis di komplek perumahan elit yang cukup terkenal di kota ini. “Ini …?” “Rumah Kak Elvan,” jawab Alisha singkat. Diva tertegun saat Alisha mengatakan hal itu, bukan apa-apa, karena entah dari mana semuanya terasa mirip seperti apa yang dia inginkan, sebuah hunian minimalis yang cukup lega dengan high ceiling rooms, lalu terdapat konsep terbuka di bagian belakangnya, sehingga pencahayaan yang masuk terasa lebih terang. Setelah puas melakukan room tour singkat di rumah ini, Diva tersenyum singkat. ‘Ini kebetulan yang luar biasa,’ batin Diva. “Kak, mau minum apa?” “Gak perlu repot-repot, nanti aku ambil sendiri aja.” Diva berkata santai. “Ah, benar juga, ngapain aku tanya-tanya, bentar lagi Kak Diva tinggalnya sama Kak Elvan, kan?” Kalimat Alisha ini sontak membuat jantung Diva berdegup kencang, untuk menyamarkan rasa yang membuncah itu, dia dengan cepat mengalihkan pembicaraan, sekalian fokus de
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk