Hehm... gimana ini... sebenernya apa yang ada di dalam kepala diva ini, ya? 🧐🧐😎
Belum sempat Diva ingin protes lagi, pria itu berkata pada Diva dengan menepuk pelan pundaknya beberapa kali untuk memberikan keyakinan. “Diva, percaya sama Paman, okay, nanti paman akan menghubungimu kembali.” Walaupun sebenarnya Diva berpikir apa gunanya sebuah cincin? Bukankah ini bisa dibuat tiruannya? Diva tidak ada pilihan lain selain mengiyakan dengan cara mengangguk, percuma mau protes dengan apa yang ada dalam pikirannya sekarang, Diva hanya bisa membuktikan ucapannya saja, apa bisa dipercaya atau tidak. Diva lalu kembali ke kamar mereka, sebelum keluar Diva sengaja mengganjal pintu dengan slot dalam kamar agar pintu tetap terbuka, jadi saat itu Diva langsung bisa masuk tanpa menekan bel. Baru saja dia melangkah masuk, terlihat di sana wajah Ayah, Ibu dan juga Prisya sedikit tegang, Diva merasakan kalau ada hal yang sedang mereka bicarakan. ‘Ah, sepertinya aku tertinggal sesuatu,’ rutuk Diva dalam hati. “Kita harus melakukannya, secepatnya, Yah!” Indah berkata dengan
“Kurang satu, cincin milik Ara, kalau semuanya disatukan maka bayangannya ini akan terlihat jelas. Sebuah gambar wajah yang melambangkan kakek kalian, Joachim Wennink, lalu huruf W ditengahnya dan gambar yang lebih kecil ini mewakili kami masing-masing,” jelas Indah, membenarkan pikiran Diva sebelumnya. “Semua hal sudah diperhitungkan semua oleh kakek kalian, termasuk kunci akses ke ruangan-ruangan pribadi di dalam rumah yang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk, dan ... cincin ini salah satu kuncinya.” Indah kembali menjelaskan. “Wow, kupikir ini hanya ada di dalam film saja,” celetuk Prisya tiba-tiba, dia benar-benar terlihat sangat kagum dengan apa yang dijelaskan oleh ibunya. Beda halnya dengan Diva, saat ibunya mengatakan hal demikian dia labgsung terpikir sesuatu. “Nah, kalau ini diberikan paman padaku, bagaimana dia bisa masuk ke ruangan itu? Apa dia mengalami kesulitan?” Pertanyaan Diva membuat Indah tersenyum. “Artinya kamu tahu, kalau dia tidak main-main
“Ini ... benar-benar gila!” Prisya akhirnya menyadari sesuatu yang besar ini.Diva hanya diam melihat ekspresi adiknya itu.“Kamu melupakan hal penting ini cepat sekali ternyata. Kakak saja masih ingat dengan apa yang kamu cari tentang keluarga Wennink dalam sekali baca.”“Okay kakakku memang yang terbaik walau kadang juga suka lem … ot,” ucap Prisya dengan santai.“Ya wajarlah, Kakakmu ini hanya manusia biasa, bukan Tuhan yang tahu segalanya! Lupakan tentang ibu dan keluarganya itu dulu, kita balik cerita ke masalah Kak Clarissa. Sekarang kamu cari tahu tentang keluarga Sugara, kakak pikir tidak terlalu sulit untuk menemukannya, kan?” Diva berkata dengan nada serius pada Prisya.“Ya, sepertinya begitu,” ucap Prisya terdengar santai.“Kupikir paman kita itu tahu juga tentang Kak Clarissa, apalagi berdasarkan cerita ayah, mereka sudah bertemu sejak kemarin, artinya ayah dan paman pasti sudah banyak bercerita, kan?” Ucapan Diva diaminkan oleh Prisya dengan menganggukkan kepalanya perlaha
Lalu, terdengar isakan Clarissa kembali dari sambungan telepon itu."Kalau masih mau menangis, menangis saja, kak," ucap Diva lagi.Terima kasih, Terima kasih atas bantuan kalian nanti," ucap Clarissa disela-sela tangisnya itu.Setelah tangisnya yang mulai mereda lagi, Diva kembali bertanya, “Apa kakak benar-benar sudah bertekad untuk pergi dari rumah itu?”“Ya, kakak sudah memutuskannya.” Clarissa berkata tanpa keraguan kali ini, terdengar helaan napas yang lumayan berat saat dia mengatakannya."Apa kakak juga sudah bersiap untuk berpisah?” tanya Diva lagi dengan suara rendah, karena dia perlu memastikan kakaknya benar-benar membulatkan tekad, percuma kalau masih ada keraguan, karena semua nanti akan sia-sia saja.“Hmm, tentu saja kakak sudah sangat yakin, tapi … kakak tidak tahu apakah nantinya hak asuh atas anak-anak kakak ini bisa jatuh ke tangan kakak atau tidak.” Suara Clarissa terdengar putus asa.“Kakak tenang saja, kita akan berusaha membuatnya menjadi seperti keinginan kakak.
“Su-a-mi-ku?” Diva mengeja tulisan itu dengan pelan, bola matanya sedikit membesar dan membuat kedua alisnya terangkat, detik berikutnya lengkungan senyumnya terukir dan wajahnya mulai merona. Mengetahui hal ini membuat Prisya merotasi bola matanya dan mengeluarkan ekspresi seperti ingin muntah.“Ah, dunia terasa milik berdua saja! Kakak cepatlah sadar, belum apa-apa sudah salah tingkah duluan.” Prisya menarik kesadaran Diva dengan pikirannya sendiri.“Sudah nyaris pukul setengah satu dini hari, cepat hubungi Kak Elvan. Jangan terpesona kelamaan entar lupa lagi tujuan awal.” Kembali Prisya memperingatkannya.“Iya-iya, cerewet banget. Jam segini pasti kita tidak akan mengganggu istirahatnya, kan?” Diva memastikan pada Prisya, namun adiknya itu menjawabnya dengan tatapan tajam.“Terserah, mau hubungi atau tidak, kalau tidak mau hubungi Kak Elvan aku mau pesan tiket pesawat.” Prisya berkata dengan penekanan yang tebal di sana.“Kalau orang normal jam segini memang waktu istirahat, kan, ta
Untuk membuat suasana lebih nyaman, Diva lalu berkata, “Baiklah, nanti aku akan memberitahu ini pada Prisya sekarang."“Oh, iya, untuk yang menemaninya nanti aku akan suruh Bimo saja dan beberapa orang lagi untuk ikut bersamanya agar keselamatan mereka bisa dijaga dengan baik,” ujar Elvan lagi.“Ah, kamu seperti dewa penolong yang datang dari langit, Van! Aku ingin memelukmu sekarang.” Diva berkata tanpa malu-malu.“Seharusnya kita lebih cepat menikah Diva,” ucap Elvan dengan terkekeh ringan.“Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu lagi.” Diva merengek manja.“Besok aku akan menyuruh Alisha menjemputmu di sana. Jam berapa kamu ready?” tanya Elvan lagi padanya.“Menjemputku untuk bertemu denganmu?!” tanya Diva dengan tidak sabaran.“Bukan, besok aku masih ada urusan yang perlu kuselesaikan, memakan waktu yang lumayan panjang, ada waktu mungkin sudah malam, aku tidak mau menganggu waktu istirahatmu.” Ucapan Elvan membuat Diva sedikit kecewa.“Lalu Alisha menjemputku untuk apa?” tanya D
[Kalau sudah sampai di sini nanti, aku sudah bilang ke Bimo untuk membawa mereka ke apartemen milikku, memang tidak terlalu besar, tapi keamanannya terjaga. Kupikir kakakmu bisa tinggal dengan nyaman untuk sementara waktu.][Masalah ini, ayah harus diberitahu, karena tidak mungkin dirahasiakan, lagipula keadaannya sudah berbeda, kan?][Dan kalau dia memang sudah benar-benar memutuskan untuk berpisah, Prisya juga tahu kuasa hukum yang sering kugunakan, suruh adik kita itu menemui mereka, dan ajak mereka ke apartemen itu, agar Kak Clarissa tidak perlu keluar.]Ketiga pesan yang datang dari Elvan secara beruntun inilah yang membuat keduanya benar-benar merasa sedang mendapatkan pertolongan yang tidak tanggung-tanggung dari pria itu.“Baik, semua urusannya sudah selesai, lalu bagaimana cara memberi tahu ayah masalah ini?” tanya Prisya pada Diva.“Ya tinggal dibicarakan saja pada ayah nanti, dan itu kamu tidak perlu memikirkannya, tugasmu seperti yang kita buat saja, dan mudah-mudahan kamu
“Ibuuuu~~~!” Diva tidak terima saat orang tuanya mengatakan hal itu, apalagi ibunya yang sangat jarang menggodanya seperti ini. “Nah, benar seperti yang dikatakan oleh Ibu, kamu habiskan dulu hidangannya, nanti baru ayah beritahu.” Lukman mendukung ucapan istrinya sambil tertawa. “Ih, puas banget deh bikin orang penasaran! Lagian apa susahnya tinggal bilang aja,” rengek Diva sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Ini Div, dikit lagi loh.” Indah lalu memberikan sepiring kue ke depan Diva. “Ibu! Ini gulanya terlalu banyak, kalau Diva gendut gimana? Nanti Elvan malah gak suka sama Diva lagi!” Diva bersungut kesal. “Kata siapa? Lagian jangan berpikir tentang hal begitu, orang gendut memangnya tidak boleh jatuh cinta? Ibu yakin apapun kondisi fisik kita, jaga hati kita agar aura dari dalam tubuh kita tetap keluar.” Indah berkata dengan tenang pada anaknya. “Yee … itukan kata ibu yang gak pernah gemuk. Beda pendapat kalo–” “Udah habisin aja, Div, itu dikit kok.” Lukma