Hehm... Hehm ... hehm ... sabar ditunggu kelanjutannya, ya!
Raut wajah Diva menegang, kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran jahat, apa ada orang yang setega itu? Menghilangkan nyawa orang lain demi kekuasaan sesaat di dunia ini?“Lalu apa yang selanjutnya terjadi?” Diva bertanya dengan cepat.“Saat tiba di pelabuhan teman ayah yang lain mulai memberikan keterangan pada petugas, sedangkan ayah langsung pulang.”Keterangan Lukman membuat dahi Diva mengkerut, “Kalau begitu harusnya ayah sampai di rumah tidak lama, kan?”“Ya, tapi saat mau pulang, motor yang ayah bawa bannya kempes jadi harus cari tukang tambal ban, HP yang ayah bawa juga batrenya habis jadi tidak bisa menghubungi ibumu.” “Okay itu masalah kita, tentang Elvan, bagaimana keadaan Elvan setelah itu?” tanya Diva lagi.“Itu … ayah tidak tahu lagi tentang pria itu setelah dia dibawa oleh tim penyelamat dan beberapa teman ayah menggunakan ambulan.”“Apa ayah tidak cerita dengan teman-teman ayah yang saat itu bersama ayah tentang berlanjutnya cerita pria asing yang kalian selamatkan itu?
Mendengar hal itu otak Diva langsung berpikir kalau sebenarnya Elvan sedang merencanakannya dalam diam! Pria itu benar-benar di luar perhitungan. Diva lalu tersenyum sambil membuka paper bagnya, bangga dengan pria itu, ternyata dia sangat dimanjakan oleh Elvan, tahu begini dia tidak perlu repot-repot untuk menyusun banyak plan a, b c, sampai z.“Aih, sekarang senyum-senyum kemarin masam-masam, kalo udah seneng gini biasanya lupa sama adik sendiri.” Prisya berkata pada Diva dengan nada mengayun.“Namanya juga jatuh cinta, Pris,” goda Lukman pada anaknya.“Apaan sih berisik banget, entar didenger ibu sama si paman bule lagi!” Diva berkata dengan melihat ke arah luar.“Ada-ada saja kalian ini, biarkan mereka melepas rindu dulu. Mau tau yang mereka bicarakan tadi?” Lukman berkata dengan penuh misteri.“Apa?!” sahut keduanya bersamaan.“Shhh!” Lukman menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. “Jangan berisik, nanti Danish bangun mau sama ibu kalian kan repot.”“Ya ayah sih, sok-sok-an bikin
Diva benar-benar tidak menyangka kalau ayahnya berkata demikian setelah dukungan penuh dia terima.“Apa menurut ayah Diva akan mundur?” tanya Diva membalas tatapan tajam ayahnya.Lukman menundukkan kepalanya dan tersenyum. “Sepertinya tidak mungkin.”“Kalau ayah tahu jawabannya kenapa ayah masih bertanya?” “Ayah harus memastikan sekali lagi, kalau pernikahan itu lebih baik sekali seumur hidup Diva, dan ayah tidak mau kamu menyerah atas apa yang kamu pilih.”“Tapi … kalau melihat aku kesakitan dan bertahan dengan pilihanku, ayah pasti akan melakukan sesuatu agar aku tidak sakit lagi kan? Seperti yang akan ayah lakukan pada Kak Clarissa?” Ucapan Diva membuat Lukman tertegun.“Apa artinya kalau terjadi hal yang buruk ayah akan menyuruhku untuk bercerai saja dari Elvan?” tanya Diva lagi.“Seperti yang akan ayah lakukan pada pernikahan Kak Clarissa?” Kalimat Diva ini lebih seperti sebuah pernyataan bukan pertanyaan.“Pernikahan itu adalah hal yang sakral, karena itu ayah harus memastikan b
Belum sempat Diva ingin protes lagi, pria itu berkata pada Diva dengan menepuk pelan pundaknya beberapa kali untuk memberikan keyakinan. “Diva, percaya sama Paman, okay, nanti paman akan menghubungimu kembali.” Walaupun sebenarnya Diva berpikir apa gunanya sebuah cincin? Bukankah ini bisa dibuat tiruannya? Diva tidak ada pilihan lain selain mengiyakan dengan cara mengangguk, percuma mau protes dengan apa yang ada dalam pikirannya sekarang, Diva hanya bisa membuktikan ucapannya saja, apa bisa dipercaya atau tidak. Diva lalu kembali ke kamar mereka, sebelum keluar Diva sengaja mengganjal pintu dengan slot dalam kamar agar pintu tetap terbuka, jadi saat itu Diva langsung bisa masuk tanpa menekan bel. Baru saja dia melangkah masuk, terlihat di sana wajah Ayah, Ibu dan juga Prisya sedikit tegang, Diva merasakan kalau ada hal yang sedang mereka bicarakan. ‘Ah, sepertinya aku tertinggal sesuatu,’ rutuk Diva dalam hati. “Kita harus melakukannya, secepatnya, Yah!” Indah berkata dengan
“Kurang satu, cincin milik Ara, kalau semuanya disatukan maka bayangannya ini akan terlihat jelas. Sebuah gambar wajah yang melambangkan kakek kalian, Joachim Wennink, lalu huruf W ditengahnya dan gambar yang lebih kecil ini mewakili kami masing-masing,” jelas Indah, membenarkan pikiran Diva sebelumnya. “Semua hal sudah diperhitungkan semua oleh kakek kalian, termasuk kunci akses ke ruangan-ruangan pribadi di dalam rumah yang hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk, dan ... cincin ini salah satu kuncinya.” Indah kembali menjelaskan. “Wow, kupikir ini hanya ada di dalam film saja,” celetuk Prisya tiba-tiba, dia benar-benar terlihat sangat kagum dengan apa yang dijelaskan oleh ibunya. Beda halnya dengan Diva, saat ibunya mengatakan hal demikian dia labgsung terpikir sesuatu. “Nah, kalau ini diberikan paman padaku, bagaimana dia bisa masuk ke ruangan itu? Apa dia mengalami kesulitan?” Pertanyaan Diva membuat Indah tersenyum. “Artinya kamu tahu, kalau dia tidak main-main
“Ini ... benar-benar gila!” Prisya akhirnya menyadari sesuatu yang besar ini.Diva hanya diam melihat ekspresi adiknya itu.“Kamu melupakan hal penting ini cepat sekali ternyata. Kakak saja masih ingat dengan apa yang kamu cari tentang keluarga Wennink dalam sekali baca.”“Okay kakakku memang yang terbaik walau kadang juga suka lem … ot,” ucap Prisya dengan santai.“Ya wajarlah, Kakakmu ini hanya manusia biasa, bukan Tuhan yang tahu segalanya! Lupakan tentang ibu dan keluarganya itu dulu, kita balik cerita ke masalah Kak Clarissa. Sekarang kamu cari tahu tentang keluarga Sugara, kakak pikir tidak terlalu sulit untuk menemukannya, kan?” Diva berkata dengan nada serius pada Prisya.“Ya, sepertinya begitu,” ucap Prisya terdengar santai.“Kupikir paman kita itu tahu juga tentang Kak Clarissa, apalagi berdasarkan cerita ayah, mereka sudah bertemu sejak kemarin, artinya ayah dan paman pasti sudah banyak bercerita, kan?” Ucapan Diva diaminkan oleh Prisya dengan menganggukkan kepalanya perlaha
Lalu, terdengar isakan Clarissa kembali dari sambungan telepon itu."Kalau masih mau menangis, menangis saja, kak," ucap Diva lagi.Terima kasih, Terima kasih atas bantuan kalian nanti," ucap Clarissa disela-sela tangisnya itu.Setelah tangisnya yang mulai mereda lagi, Diva kembali bertanya, “Apa kakak benar-benar sudah bertekad untuk pergi dari rumah itu?”“Ya, kakak sudah memutuskannya.” Clarissa berkata tanpa keraguan kali ini, terdengar helaan napas yang lumayan berat saat dia mengatakannya."Apa kakak juga sudah bersiap untuk berpisah?” tanya Diva lagi dengan suara rendah, karena dia perlu memastikan kakaknya benar-benar membulatkan tekad, percuma kalau masih ada keraguan, karena semua nanti akan sia-sia saja.“Hmm, tentu saja kakak sudah sangat yakin, tapi … kakak tidak tahu apakah nantinya hak asuh atas anak-anak kakak ini bisa jatuh ke tangan kakak atau tidak.” Suara Clarissa terdengar putus asa.“Kakak tenang saja, kita akan berusaha membuatnya menjadi seperti keinginan kakak.
“Su-a-mi-ku?” Diva mengeja tulisan itu dengan pelan, bola matanya sedikit membesar dan membuat kedua alisnya terangkat, detik berikutnya lengkungan senyumnya terukir dan wajahnya mulai merona. Mengetahui hal ini membuat Prisya merotasi bola matanya dan mengeluarkan ekspresi seperti ingin muntah.“Ah, dunia terasa milik berdua saja! Kakak cepatlah sadar, belum apa-apa sudah salah tingkah duluan.” Prisya menarik kesadaran Diva dengan pikirannya sendiri.“Sudah nyaris pukul setengah satu dini hari, cepat hubungi Kak Elvan. Jangan terpesona kelamaan entar lupa lagi tujuan awal.” Kembali Prisya memperingatkannya.“Iya-iya, cerewet banget. Jam segini pasti kita tidak akan mengganggu istirahatnya, kan?” Diva memastikan pada Prisya, namun adiknya itu menjawabnya dengan tatapan tajam.“Terserah, mau hubungi atau tidak, kalau tidak mau hubungi Kak Elvan aku mau pesan tiket pesawat.” Prisya berkata dengan penekanan yang tebal di sana.“Kalau orang normal jam segini memang waktu istirahat, kan, ta