Hehm ... anaknya mau nyelidikin bapak emaknya, kira-kira bisa cepet ketahuan gak ya?
Sementara itu di tempat lain.Bulan memantul di atas permukaan air yang bergelombang, suara deburan ombak yang menyapu bibir pantai mengeluarkan suara yang saling bersahutan, namun bau khas amis dari laut ini, saat menyeruak masuk mengenai indra penciuman Elvan, membuatnya ingin mengeluarkan makanan yang dia makan di rumah Diva tadi. Akan tetapi dia sadar, ini bukan saatnya menghindari hal ini.“Nak Elvan, apa kamu benar baik-baik saja?” tanya Lukman pada Elvan karena dia melihat wajah Elvan yang cukup berbeda sejak lima menit yang lalu saat mereka keluar dari dalam mobil.“Ti-tidak apa-apa, Om,” jawab Elvan singkat dengan sedikit terbata, dia berusaha untuk terus mengolah emosinya, karena saat ini hatinya mulai bergejolak hebat menahan sebuah rasa yang sangat membuatnya ketakutan. Mencoba untuk tidak memperlihatkan kelemahan terbesarnya selama ini pada orang lain.“Kamu yakin?” Lukman kembali memastikan kalau pria yang sedang bersamanya saat ini dalam keadaan baik-baik saja.“I-iya, O
Tidak ada yang salah dengan kalimat yang dilontarkan oleh ayah Diva ini, tapi sekali lagi Elvan tahu apa yang dia inginkan! Dia hanya menginginkan wanita itu, tidak ada yang lain dan yang pantas menggantikan posisi Diva di hatinya. “Nak Elvan, pikirkan lagi semuanya dengan kepala dingin. Saya tahu, kamu mengambil keputusan dengan cepat, tapi cepat belum tentu akurat. Gunakan hati dan pikiranmu. Saat kamu sudah memberikan keputusan akhir, maka saat itu juga harusnya kamu siap dengan segala konsekuensinya. Jadilah pria yang bertanggung jawab dengan keputusan yang kamu buat.” Lukman kembali menambahkan. Elvan masih diam, selain dia masih menetralkan suasana hatinya yang sedikit bergelombang karena rasa traumanya itu, dia juga berpikir tentang apa yang diucapkan oleh Lukman ini. Tidak ada yang salah dari kata-katanya. “Om, saya sudah memutuskannya, maka saya tidak bisa mundur lagi.” Elvan menjawab dengan nada yang tegas. “Apa kamu yakin bisa menerima semua perbedaan ini?” Pertanyaan Lu
Elvan diam mendengar jawaban dari Lukman, yang secara tidak langsung itu juga sebuah peringatan, secara tidak langsung dia sudah tau arti dari ucapan pria ini.“Maaf, Om, baiklah saya tidak akan mengatakan apapun,” ucap Elvan.Lukman hanya memberikan tanggapan datar.“Kita pulang saja, sepertinya sudah sangat malam dan kamu juga perlu istirahat. Akan saya katakan saat kita jalan pulang.”*** “Diva, bangunlah, Nak, sudah pagi.” Suara Indah mengalun di telinga Diva yang masuk melalui mimpinya. Matanya benar-benar masih betah untuk merapat, dia ingin tidur lebih lama lagi, karena semalaman dia sudah mengatur rencana yang cukup rumit dan sudah menyiapkan beberapa skenario untuk dijalankan hari ini.“Diva …,” panggil Indah lagi dari luar kamarnya.“Kakak bangun! Ini udah pagi.” Prisya menepuk pundak Diva yang masih betah untuk memejamkan matanya.Diva sudah mendengar suara ibunya, dia juga tahu ini sudah pagi, tapi dia benar-benar sangat lelah, dia hanya ingin minta waktu sedikit lagi saj
Lukman tahu dia pasti akan mendapatkan tatapan kekecewaan dari anaknya ini, tetapi dia harus melakukan hal ini, karena ini jalan terbaik untuk Diva. “Artinya sudah jelas kalau kamu harus berhenti bekerja,” ucap Lukman lagi. “Sebenarnya apa yang Ayah bicarakan dengan Elvan semalam?” tanya Diva dengan perlahan, rasa gembiranya karena tahu Ratri sudah jauh lebih baik tadi langsung berganti dengan perasaan tragis yang menyakitkan. ‘Apa karena ini Elvan tidak menghubungiku? Apa Ayah melakukan sesuatu pada Elvan?’ Banyak pertanyaan muncul di dalam kepala Diva, mengacak-acak pikirannya sehingga membuatnya lambat berpikir. Dia sedih, sampai rasa kecewa yang sangat dalam itu sudah tidak bisa lagi membuatnya menangis. “Ayah tidak bicara yang buruk apapun tentangmu, tapi untuk saat ini kamu lebih baik jaga jarak dengan Elvan.” Kembali kalimat itu membuat perasaan Diva hancur berkeping-keping, pikirannya kosong, semua angan tentang mimpinya terasa seperti luluh lantak dalam waktu sekejap. “Ta
Ketukan kamar terdengar saat Diva masih berkutat dengan pikirannya sendiri, sayup-sayup suara ibunya memanggil dari arah luar.“Diva, ayo sayang kita pergi sekarang.” Ini panggilan kesekian kalinya yang terdengar di telinga Diva. Dia dengar hanya saja dia tidak menyahut, pikirannya sedang tidak ada bersama dengan dirinya sendiri sekarang.“Div–” Baru saja Indah ingin mengetuk pintu kamar Diva lagi, kali ini Diva sudah membukanya. Anaknya ini sudah berpakaian lengkap dan membawa tas selempangnya.“Ayo, Bu. Kita semua ikut, kan?” Diva berkata dengan datar, wajahnya juga tidak menunjukkan ekspresi seperti biasanya. Indah sedikit heran karena selama ini walaupun Diva sedang sedih, dia jelas akan menampakkan wajahnya kalau dia sedang sedih, namun sekarang …? Wanita itu malah bersikap dingin, walaupun bicara dengannya, tetapi Indah bisa merasakan kalau pikiran Diva tidak bersama dirinya.“Danish sama siapa?” tanya Diva mengernyitkan keningnya, karena selama ini yang menggendong Danish selalu
Sinar matahari sudah masuk melalui celah jendela kamar Elvan, pria itu sampai pagi ini tetap terjaga, apalagi mengingat banyak hal yang dia dan ayah Diva ceritakan, seolah berbincang dengan teman lama, tanpa ada rasa canggung, bahkan saling memberi masukan. Pembicaraan yang diduga oleh Elvan akan menjadi sebuah ketegangan itu ternyata malah sebaliknya, dia tidak menyangka dengan sikap dan tingkah Lukman sebelumnya kalau dia akan diperlakukan sebaik ini. Berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing bahkan mengingat tentang banyak hal dari segi kisah cinta yang sangat banyak diterpa cobaan serta kisah hidup yang pedih dan pilu yang tak pernah diceritakan pada orang lain. “Diva, kamu akan tetap menjadi satu-satunya.” Elvan berkata sambil melihat ponselnya yang saat ini menampilkan wajah Diva yang sedang tersenyum dari aplikasi galeri. “Aku berharap kamu tidak mengecewakanku.” Elvan berkata pada gambar itu lagi, kemudian meletakkan kembali ponselnya di sembarang tempat di atas tempat
Indah sangat terkejut saat melihat Diva yang duduk dengan tatapan kosong dan anaknya itu membiarkan lengannya tergantung hingga darah itu mengalir begitu saja membasahi lantai.“Diva, maaf ibu kelamaan.” Suara Indah tersebut menarik kesadaran Diva yang sejak tadi pikirannya kosong.“Ah, apa, Bu?” tanya Diva, lalu dia juga merasakan aliran air yang mengalir di lengannya, dia lalu melihatnya dan sadar kalau saat ini darahnya menetes cukup banyak di lantai.“Sudah-sudah, nanti Ibu bersihkan kamu diam dulu, ini Ibu obatin dulu luka kamu.” Indah berkata pada Diva lalu dengan cepat mengobati lengan anaknya itu. Tidak menunggu lama luka gores yang cukup tajam itu kini sudah tertutup sepenuhnya.Sebenarnya sembari mengobati luka Diva, Indah mengamati wajah anaknya sesekali tapi terlihat jelas Diva seperti tidak ada pikiran dalam kepalanya. Indah paham apa yang dirasakan oleh Diva, dia ingin memberitahu pada anaknya yang sebenarnya terjadi, tetapi sekali lagi dia harus patuh dengan suaminya. S
Diva keluar dari dalam rumah dengan pakaian yang berbeda dan wajah yang terlihat seperti biasanya, membuat ketiga anggota keluarganya keheranan.“Bu, Ibu yakin tadi Diva masih terlihat sedih?” tanya Lukman pada Indah dan istrinya itu mengangguk cepat.“Benar, Yah! tadi dia benar-benar seperti itu, tatapannya kosong dan dia benar-benar kacau tapi dia tidak sedikitpun bicara tentang Elvan.” Indah merespon suaminya.“Artinya dia sudah dapat ilham kali, Yah!” celetuk Prisya membuat kening Lukman berkerut.“Kamu ada-ada saja, Pris.” Respon Lukman.“Tuh, Liat aja, mukanya Kak Diva malah cerah begitu seolah gak ada masalah sama si kakak ipar.” Prisya menunjuk ke arah Diva yang saat ini masih berusaha untuk menggembok teralis rumah dengan susah payah, karena memang Diva tidak terbiasa dengan proses penguncian pintu saat akan keluar, bisa dihitung dengan jari dia menjadi penghuni terakhir rumah ini.“Kakak ipar-kakak ipar, kamu kepedean banget bilang begitu, Pris.” Lukman berkata pada Prisya de
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk