makanya jangan suudzhon dulu kan... hayooo sapa yg senyum2, padahal seharian bete.. 🥰🥰🥰
Indah sangat terkejut saat melihat Diva yang duduk dengan tatapan kosong dan anaknya itu membiarkan lengannya tergantung hingga darah itu mengalir begitu saja membasahi lantai.“Diva, maaf ibu kelamaan.” Suara Indah tersebut menarik kesadaran Diva yang sejak tadi pikirannya kosong.“Ah, apa, Bu?” tanya Diva, lalu dia juga merasakan aliran air yang mengalir di lengannya, dia lalu melihatnya dan sadar kalau saat ini darahnya menetes cukup banyak di lantai.“Sudah-sudah, nanti Ibu bersihkan kamu diam dulu, ini Ibu obatin dulu luka kamu.” Indah berkata pada Diva lalu dengan cepat mengobati lengan anaknya itu. Tidak menunggu lama luka gores yang cukup tajam itu kini sudah tertutup sepenuhnya.Sebenarnya sembari mengobati luka Diva, Indah mengamati wajah anaknya sesekali tapi terlihat jelas Diva seperti tidak ada pikiran dalam kepalanya. Indah paham apa yang dirasakan oleh Diva, dia ingin memberitahu pada anaknya yang sebenarnya terjadi, tetapi sekali lagi dia harus patuh dengan suaminya. S
Diva keluar dari dalam rumah dengan pakaian yang berbeda dan wajah yang terlihat seperti biasanya, membuat ketiga anggota keluarganya keheranan.“Bu, Ibu yakin tadi Diva masih terlihat sedih?” tanya Lukman pada Indah dan istrinya itu mengangguk cepat.“Benar, Yah! tadi dia benar-benar seperti itu, tatapannya kosong dan dia benar-benar kacau tapi dia tidak sedikitpun bicara tentang Elvan.” Indah merespon suaminya.“Artinya dia sudah dapat ilham kali, Yah!” celetuk Prisya membuat kening Lukman berkerut.“Kamu ada-ada saja, Pris.” Respon Lukman.“Tuh, Liat aja, mukanya Kak Diva malah cerah begitu seolah gak ada masalah sama si kakak ipar.” Prisya menunjuk ke arah Diva yang saat ini masih berusaha untuk menggembok teralis rumah dengan susah payah, karena memang Diva tidak terbiasa dengan proses penguncian pintu saat akan keluar, bisa dihitung dengan jari dia menjadi penghuni terakhir rumah ini.“Kakak ipar-kakak ipar, kamu kepedean banget bilang begitu, Pris.” Lukman berkata pada Prisya de
Diva tahu pasti kalau saat ini Prisya tidak mengerti dengan apa yang dimaksud olehnya, karena itu dia tersenyum puas saat Prisya kebingungan, mengerjai Prisya sungguh hiburan tersendiri sekarang ini, apalagi ditengah kepastian yang masih tetap ada kata ragu."Itu kartu debitnya kakak ipar?" tanya Prisya dengan mata membola."menurutmu? Pria gila mana yang mau kasih kartu debit yang isinya banyak begini sama kakakmu?" DIva menjawab sambil terkekeh ringan.“Ih, kakak bikin penasaran aja.” Prisya merengek karena Diva masih terus mempermainkannya, sedangkan Diva masih tersenyum penuh misteri.Mereka sampai di depan meja kasir, wanita paruh baya itu tersenyum ramah melihat Diva dan juga Prisya.“Mau gesek tunai, ya Mbak?” tanya wanita itu padanya, Diva kadang juga melakukan hal ini dengan teman-temannya dulu, siapa tahu wanita paruh baya ini masih mengingat dirinya.“Bukan dari kartu kredit tapi dari kartu debit, apa bisa melakukan dengan rincian transaksi ini, Tante?” Diva lalu mengeluarka
Sesaat sebelumnya. Diva tahu dia tidak boleh terus bersedih, dia menyadari satu hal, kalau Elvan tidak pernah begitu saja melakukan sesuatu yang mengejutkan kalau tidak ada hal yang dia kerjakan diam-diam. Setelah barang-barang itu selesai dia rapikan, Diva merogoh ponselnya yang ada di saku, lalu Diva dengan cepat mencari aplikasi media sosial milik Elvan yang ditunjukkan oleh Prisya semalam. Untuk sesaat, napas Diva tertahan karena kalimat yang membuatnya terbang tinggi semalam malah menghilang begitu saja. “Diva, ayo berpikir, ini bukan hal yang sesederhana untuk dia pergi begitu saja! Ayo berpikir lebih baik lagi.” Diva berkata pada dirinya sendiri sambil memejamkan mata, dia mencoba untuk berkonsentrasi dengan petunjuk-petunjuk aneh yang tersisa itu. Elvan mengganti foto profilnya dengan biji asam lalu terdapat caption kisah pohon asam. Diva dengan cepat mencari makna itu. “Simbol kesetiaan dan kesabaran?” Diva berkata dengan mengernyitkan keningnya. “Benar ternyata, apa beg
Sebenarnya Diva jelas tahu persis pasti Prisya langsung mengerti dengan kode-kode itu, karena saat melihat transaksi itu Prisya langsung mengetikkan sesuatu di ponselnya dan meraih struk itu untuk dilihatnya.“Kamu memang benar-benar cepat tanggap.” Diva menjawab ucapan Prisya yang bisa menebak apa yang dia pesankan untuk Elvan.“Jelas dong!” Prisya berkata dengan berbangga diri.“Tapi apa Kakak ipar menyadari hal ini?” tanya Prisya pada Diva dengan sedikit keraguan.Diva tidak langsung menjawab, dia menghentikan langkahnya dan melihat lekat ke arah Prisya. “Kamu yang seperti ini saja bisa cepat menebak, apalagi orang yang kamu pertanyakan itu." Diva memperlihatkan senyum manisnya."Dia itu adalah Elvan Sabil Wongso, seperti kalimat andalanmu yang sering kamu ulang-ulang pada kakakmu ini. ‘Ingat, Kak dia adalah Elvan Sabil!’ sekarang, kenapa malah kamu meragukan kemampuan berpikir kakak iparmu itu, heh?” Diva berkata dengan penuh penekanan pada kalimatnya. Sudah tidak kaku lagi Diva
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke Clover Health Clinic tempat di mana Ratri dirawat. Keluarga Lukman segera keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk. Setelah melalui berbagai macam prosedur pemeriksaan terhadap data diri, mereka akhirnya diantarkan secara bergantian per dua orang ke ruangan perawatan Ratri, karena berdasarkan catatan dokter Ratri masih belum diperkenankan untuk dijenguk langsung oleh orang banyak sekaligus.“Dokter Reynand!” sapa Prisya sambil melambaikan tangan saat melihat pria jangkung itu saat melewati kursi tunggu mereka.Pria yang dipangil Prisya itu langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Prisya dan juga Diva yang saat ini masih duduk menunggu giliran mereka.“Hei, Pris,” jawabnya lalu mendekati keduanya.Diva dan Prisya langsung berdiri dari kursinya dan menyapa dokter itu.“Ini pasti Diva, ya?” Dokter Reynand berkata saat melihat Diva. Selain wajahnya yang sedikit mirip dengan Ratri, Reynand sudah tahu dan mendengar nama ini dari Elvan. Su
“Bagaimana apa sudah lega?” tanya Reynand pada pasiennya ini.“Ya, terima kasih, Dok. Ayah, Ibu, maafin Ratri, ya? Danish, mama juga minta maaf sama kamu, ya.” Kali ini Ratri melihat ke arah ayah dan ibunya yang sedang menggendong Danish. Tatapan itu nampak bernyawa, walaupun itu tatapan yang sedikit menyayat hati, tetapi itu jauh lebih baik daripada melihat Ratri yang biasanya menatap mereka dengan pandangan kosong seolah dia hidup di dunianya sendiri dan membentengi diri untuk tetap di dalamnya tanpa ada yang boleh masuk.“Bagus, terus pertahankan seperti itu dulu ya, Ratri.” Reynand berkata dengan suara rendah yang cukup membuat orang yang mendengarnya terbuai.Ratri melihat ke arah Reynand dan mengangguk. “Baik, Dok, sekali lagi terima kasih.” “Tidak masalah, sebenarnya Saya yang harus berterima kasih padamu, karena kamu sudah melakukannya dengan baik.” Kembali Reyand berbicara pada Ratri dengan suara yang tenang.“Sekarang, katakan pada Saya, bagaimana perasaanmu?” tanya Reynand
Ingatan Diva terulang saat Prisya mengatakan tentang trauma Elvan. Sudah beberapa kali dia ingin bertanya pada adiknya tentang hal ini, tapi dia melupakannya. Dia juga sempat ingin bertanya pada Elvan kemarin saat di mobil, tetapi keburu Prisya datang dan dia kembali mengurungkan niatnya. Kali ini dia tidak bisa tinggal diam saja, setidaknya dia harus tahu apa yang sebenarnya menjadi ketakutan Elvan yang tidak dia ketahui. Dia masih coba untuk mendengarkan percakapan ayah dan juga Dokter Reynand, tapi sepertinya sudah tidak ada hal lain yang penting. ‘Diva, setidaknya kamu harus cari tahu tentang ketakutan Elvan ini.’ Diva berkata dalam hati, karena alasan itu jugalah membuat jantung Diva berpacu dengan sedikit cepat. Dia memikirkan Elvan yang terlihat sangat kuat, tetapi menyimpan kerapuhan. Hal semacam ini akan sangat berbahaya jika ada orang lain yang tahu, apalagi pesaing bisnisnya. Setelah melihat ayahnya pergi ke parkiran mobil, gegas Diva mendekati Reynand. “Dokter Reynand