Sama-sama pinter. Pasangan ini harusnya satu frekuensi dan sekufu, kan? 😂😂😂
Sebenarnya Diva jelas tahu persis pasti Prisya langsung mengerti dengan kode-kode itu, karena saat melihat transaksi itu Prisya langsung mengetikkan sesuatu di ponselnya dan meraih struk itu untuk dilihatnya.“Kamu memang benar-benar cepat tanggap.” Diva menjawab ucapan Prisya yang bisa menebak apa yang dia pesankan untuk Elvan.“Jelas dong!” Prisya berkata dengan berbangga diri.“Tapi apa Kakak ipar menyadari hal ini?” tanya Prisya pada Diva dengan sedikit keraguan.Diva tidak langsung menjawab, dia menghentikan langkahnya dan melihat lekat ke arah Prisya. “Kamu yang seperti ini saja bisa cepat menebak, apalagi orang yang kamu pertanyakan itu." Diva memperlihatkan senyum manisnya."Dia itu adalah Elvan Sabil Wongso, seperti kalimat andalanmu yang sering kamu ulang-ulang pada kakakmu ini. ‘Ingat, Kak dia adalah Elvan Sabil!’ sekarang, kenapa malah kamu meragukan kemampuan berpikir kakak iparmu itu, heh?” Diva berkata dengan penuh penekanan pada kalimatnya. Sudah tidak kaku lagi Diva
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke Clover Health Clinic tempat di mana Ratri dirawat. Keluarga Lukman segera keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk. Setelah melalui berbagai macam prosedur pemeriksaan terhadap data diri, mereka akhirnya diantarkan secara bergantian per dua orang ke ruangan perawatan Ratri, karena berdasarkan catatan dokter Ratri masih belum diperkenankan untuk dijenguk langsung oleh orang banyak sekaligus.“Dokter Reynand!” sapa Prisya sambil melambaikan tangan saat melihat pria jangkung itu saat melewati kursi tunggu mereka.Pria yang dipangil Prisya itu langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Prisya dan juga Diva yang saat ini masih duduk menunggu giliran mereka.“Hei, Pris,” jawabnya lalu mendekati keduanya.Diva dan Prisya langsung berdiri dari kursinya dan menyapa dokter itu.“Ini pasti Diva, ya?” Dokter Reynand berkata saat melihat Diva. Selain wajahnya yang sedikit mirip dengan Ratri, Reynand sudah tahu dan mendengar nama ini dari Elvan. Su
“Bagaimana apa sudah lega?” tanya Reynand pada pasiennya ini.“Ya, terima kasih, Dok. Ayah, Ibu, maafin Ratri, ya? Danish, mama juga minta maaf sama kamu, ya.” Kali ini Ratri melihat ke arah ayah dan ibunya yang sedang menggendong Danish. Tatapan itu nampak bernyawa, walaupun itu tatapan yang sedikit menyayat hati, tetapi itu jauh lebih baik daripada melihat Ratri yang biasanya menatap mereka dengan pandangan kosong seolah dia hidup di dunianya sendiri dan membentengi diri untuk tetap di dalamnya tanpa ada yang boleh masuk.“Bagus, terus pertahankan seperti itu dulu ya, Ratri.” Reynand berkata dengan suara rendah yang cukup membuat orang yang mendengarnya terbuai.Ratri melihat ke arah Reynand dan mengangguk. “Baik, Dok, sekali lagi terima kasih.” “Tidak masalah, sebenarnya Saya yang harus berterima kasih padamu, karena kamu sudah melakukannya dengan baik.” Kembali Reyand berbicara pada Ratri dengan suara yang tenang.“Sekarang, katakan pada Saya, bagaimana perasaanmu?” tanya Reynand
Ingatan Diva terulang saat Prisya mengatakan tentang trauma Elvan. Sudah beberapa kali dia ingin bertanya pada adiknya tentang hal ini, tapi dia melupakannya. Dia juga sempat ingin bertanya pada Elvan kemarin saat di mobil, tetapi keburu Prisya datang dan dia kembali mengurungkan niatnya. Kali ini dia tidak bisa tinggal diam saja, setidaknya dia harus tahu apa yang sebenarnya menjadi ketakutan Elvan yang tidak dia ketahui. Dia masih coba untuk mendengarkan percakapan ayah dan juga Dokter Reynand, tapi sepertinya sudah tidak ada hal lain yang penting. ‘Diva, setidaknya kamu harus cari tahu tentang ketakutan Elvan ini.’ Diva berkata dalam hati, karena alasan itu jugalah membuat jantung Diva berpacu dengan sedikit cepat. Dia memikirkan Elvan yang terlihat sangat kuat, tetapi menyimpan kerapuhan. Hal semacam ini akan sangat berbahaya jika ada orang lain yang tahu, apalagi pesaing bisnisnya. Setelah melihat ayahnya pergi ke parkiran mobil, gegas Diva mendekati Reynand. “Dokter Reynand
“Li-ma tahun lalu?” Diva mengulang ucapan Reynand.“Ya, sebenarnya jauh lebih baik lagi kalau yang menceritakan ini adalah yang bersangkutan, karena ini menyangkut urusan pribadinya.” Diva menyadari kalau ini adalah penolakan secara halus yang diberikan oleh Reynand padanya.Diva diam dia nampak berpikir, saat ini dia juga bingung mau bicara dengan siapa? Tanya dengan yang bersangkutan sudah barang tentu belum memungkinkan untuk saat ini, karena komunikasi yang hanya berupa isyarat yang sangat sulit dilakukan. Tanya langsung dengan ayahnya? Diva jelas sangat ragu apa ayahnya mau bicara tentang Elvan, apalagi dia terdengar tegas menyuruhnya untuk jaga jarak dengan Elvan.“Apa tidak bisa dokter saja yang cerita?” tanya Diva lagi dengan sedikit memohon.Reynand menghela napas berat."Dok, Saya juga ingin melakukan sesuatu untuk Elvan, Saya harap Dokter bisa mengerti," bujuk Diva."Baiklah Diva, saya juga berpikir kalau kamu setidaknya tahu sedikit tentang masalah ini." Reynand berkata de
Saat tiba di ruang Ratri, Diva melihat adiknya itu sedang tertidur. Dia lalu melihat ponselnya yang tergeletak di side bed cabinet dan mengambilnya.“Kak Diva,” panggil Ratri dengan suara yang serak, membuat Diva menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Ratri.Adiknya itu tersenyum melihat Diva. Diva berjalan mendekati Ratri.“Terima kasih banyak, Kak Diva.” Ucapan Ratri membuat Diva heran, dia lalu memeluk adiknya.“Kamu berterima kasih untuk apa?” tanyanya dengan suara lembut.“Ratri tahu, semua ini karena Kak Diva. Ratri akan berusaha untuk tetap kuat.” Ratri berkata dengan suara tertahan. Diva masih memeluknya dengan kehangatan, memberikan redaman emosi yang akan keluar dari Ratri.“Kamu itu memang kuat, karena itu Tuhan memberikan cobaan seperti ini. Dia tahu kamu mampu melewatinya. Jadi, cepatlah pulih, ok!” Diva merenggangkan pelukannya dan melihat ke arah Ratri dengan tatapan lembut. Melihat mata Ratri yang mulai berkaca-kaca, Diva menangkupkan tangannya di wajah Ratri.“M
Elvan masih sibuk dengan pekerjaannya saat bel rumahnya menginterupsi kalau saat ini dia sedang kedatangan tamu. Gegas dia melangkahkah kaki ke arah pintu rumahnya, bel terus berbunyi sepanjang dia berjalan untuk membuka pintu rumah, dari caranya menekan bel seperti ini, Elvan sudah tahu persis siapa yang datang.“Kakak tidak pergi kencan?” tanya Alisha saat pintu dibuka oleh Elvan.Elvan hanya mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Alisha ini. “Kalimat basa-basimu itu sangat ketinggalan sekali.” Elvan menjawab datar. Alisha hanya tertawa singkat lalu menjawab, "Iya-iya aku mengerti! Kalau kakak pergi harusnya tidak membukakan pintu untukku, kan?"“Dan juga, tekan bel tidak perlu berkali-kali.” Elvan berkata pada adiknya sambil menutup pintu rumah saat wanita itu melewatinya untuk masuk.“Lagian salah sendiri, siapa yang suruh ganti kode akses, jadi aku kan gak bisa langsung masuk.” Alisha mencebik.Elvan tidak menjawab dan berjalan masuk mengiringi Alisha dari belakang, lalu kedu
“Kakak pasti menyadari hal ini, kan? Kakak tahu persis bagaimana Bibi Nara itu kelakuannya. Menurutku sangat tidak masuk akal sekali kalau Bibi Nara tidak punya rencana untuk menjatuhkan keluarganya Kak Diva di acara itu.” Alisha kembali berkata pada Elvan dengan berapi-api menyatakan pendapatnya.“Dia pasti tidak akan tinggal diam karena rencananya untuk menjodohkan Kak El dengan anak angkatnya itu gagal. Aku yakin disana pasti ada ajang memperburuk citra Kak Diva dan menjatuhkan martabat keluarganya.” Alisha masih berkata dengan menggebu-gebu menyatakan pendapatnya ini."Mungkin bisa jadi si Bibi Nara akan menekan keluarga Kak Diva untuk mundur! Tapi yang aku heran kenapa kakek yang biasanya memiliki insting tajam malah seperti mendukung ide gila ini."Apa kakek sengaja? Apa kakek sebenarnya juga menolak kehadiran Kak Diva? Kalau kita ingat, dulu Kakek sangat mendukung ide gila Bibi Nara untuk menjodohkan Kak El dengan si Marissa itu, kan?" Alisha mengeluarkan berbagai analisa dalam
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk