Hai2 semua! Chinta mau kasih tau sama kalian, nanti dari hari ini sampe senin/selasa Chinta mungkin akan slow up, soalnya Chinta mau ada acara keluarga dan tempatnya di luar kota. CHinta usahain banget bisa tetep update min 1 bab ya! tapi, tenang setelah itu, nanti kita up banyak2 lagi! Maaf ya 🙏🙏🙏 Sayang kalian banyak2! ❤️❤️❤️
Beberapa saat sebelumnya. “Kita lihat saja nanti apakah anakmu itu benar-benar tidak main-main atau tidak.” Hartono berkata dengan Darma saat mereka semua sedang berkumpul menunggu kedatangan Elvan. “Aku hanya ragu dengan Elvan, menurutku tidak mungkin hubungan mereka bisa berjalan secepat itu, ditambah lagi … Elvan ini orang yang cukup ambisius, Yah.” Darma berkata dengan suara rendah pada Hartono. “Tapi menurutku, Sayang, anak kita itu benar-benar serius. Lagipula, dia bahkan sampai masuk rumah sakit karena …." Anita menghela napas sejenak, "maksudku, dia bahkan rela melakukan apapun demi Diva, kan?” Anita membantah argumen Darma tentang perasaan Elvan. “Ya, tapi apa kamu lupa, Ma, dia adalah Elvan, kadang kita tidak tahu mana yang benar-benar serius dan tidak darinya, bahkan satu tahun lalu sebelum ini, dia nyaris menyetujui lamaran dari anak teman kamu itu, karena dia ingin mengakuisisi perusahaan orang tuanya. Apa kamu yakin secepat itu dia menemukan Diva ini?" Darma berka
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Diva tak henti melihat ke arah Elvan dengan tatapan dalam. “Kenapa melihatku seperti itu, nanti wajahku akan berlubang dilihat dengan tajam seperti itu.” Elvan berkata pada Diva seperti biasanya. “Van, apa kamu pernah berpikir kalau ini nyata?” tanya Diva dengan suara rendah. Elvan mengerutkan keningnya. “Lagi-lagi berpikir begitu, apa tidak cukup nyata dengan mencubit orang lain dan orang menjerit sakit?” “Orang lain? Bukannya kamu itu bukan orang lain?” Diva tersenyum lalu menekan pipi Elvan dengan jari telunjuknya. “Diva, kamu ini kenapa sih?” Elvan makin heran dengan tingkah Diva ini. “No, aku gak kenapa-napa, cuma memastikan aja kalo kamu itu bukan makhluk hologram yang tak bisa kusentuh.” Diva terkekeh senang. “Ada-ada saja,” gumam Elvan menyadari tingkah Diva yang seperti anak kecil ini. “Van, ternyata Chef Cantika itu kakak ipar kamu, ya?” Diva kali ini berkata dengan nada serius. “Ah, tentang tadi, kamu mengenalnya dari mana? Setahuku
Diva merasakan kekecewaan tatapan yang diisyaratkan di wajah Elvan, dia sadar kalau dirinya sangat egois. Namun, dia lebih paham dengan apa yang akan mereka hadapi kalau terlalu cepat mengambil langkah seperti ini. Kemudian, dia menghela napas berat beberapa saat lalu menggenggam tangan pria itu. “Maaf, aku benar-benar minta maaf, tapi bisakah kamu bersabar sedikit lagi padaku?” Diva berkata dengan suara yang sedikit berat. Elvan masih diam, dia lalu meraih wajah Diva dan menangkupkan kedua tangannya dan menatap dalam. “Kamu mengatakan kalau sampai Ratri pulih ‘kan? Kalau begitu, harusnya kamu mengizinkanku agar aku bisa mengusahakan cara apapun agar adikmu itu cepat pulih, bukan begitu, Diva? Ini cara paling adil diantara kita.” Kilat mata Elvan itu memberikan penekanan pada wanita itu. “Maksudmu?” Diva tidak mengerti dengan ucapan Elvan barusan. Pria itu hanya tersenyum miring penuh arti melihat Diva yang kini menuntut jawab darinya. “Tenang, aku tidak akan melakukan hal gila, y
Prisya begitu terkejut saat ibunya berkata kalau ayahnya ingin bicara dengannya menggunakan nada yang cukup tegas.Wanita itu mulai bertanya-tanya dan menebak, ‘Apa ini berhubungan dengan Kak Diva, ya?’“Pris? Apa kamu dengar Ibu?” tanya wanita itu dengan lembut.“I-itu … apa boleh agak sore sedikit? Prisya sedang ada kerjaan mendesak yang harus keluar sekarang, Bu.” Prisya terdengar gugup, tapi apa yang dikatakannya adalah sebuah kejujuran, dia memang ada urusan yang perlu segera dilakukan sekarang dan itu berkaitan dengan tugasnya sebagai salah seorang personal assistant Elvan.“Baiklah, tapi ingat jangan terlalu sore, karena ayah benar-benar ingin bicara padamu.” Ibunya berkata dengan suara tegas.*** Sementara itu di tempat lain.“Tidak perlu terlihat gugup seperti itu, apa rasa percaya dirimu itu sudah luntur?” Elvan berkata santai pada Diva saat mobil yang dikendarai Elvan memasuki lobi Tekno In Tower.Diva menghela napas sejenak, tak berselang lama mobil itu berhenti. Elvan tur
DIva yang mendapatkan perkataan tersebut langsung mengernyitkan keningnya, tidak ada angin dan hujan tiba-tiba rekannya ini malah berkata hal demikian. Diva mencoba tenang menanggapinya, dia lalu keluar dari dalam lift dan berjalan mendekati rekannya itu.“Kamu kenapa, Win? Apa kepalamu terbentur sesuatu?” tanya Diva dengan santai, tetapi tatapan matanya melihat ke arah Winda dengan sangat tajam, berjalan mendekatinya dan membuat wanita itu melangkah mundur.“Diva aku tidak menyangka ternyata kamu adalah orang yang seperti itu.” Dia kembali berkata dengan penekanan yang cukup dalam lalu tersenyum sinis pada Diva. Winda menghentikan langkah kakinya dan berdiri tegak mencoba untuk melawan Diva. Saat ini mereka berada dengan jarak yang cukup dekat. Diva masih mencoba untuk menenangkan dirinya. Menghadapi orang seperti ini untuk bertindak anarkis, rasanya tidak sesuai kelas.“Terserah apa yang ada dalam pikiranmu, lagipula aku tidak mengerti apa yang dimaksud trik kotor itu. Tapi, Win, ka
“Kamu mengancamku?!” Winda berkata dengan suara yang tidak suka.“Aku tidak tahu apa aku ini mengancammu atau tidak, tapi bekerja secara profesional, sudah dua kali kamu melakukan hal buruk terkait pekerjaan padaku! aku ingatkan kalau-kalau kamu lupa, pertama saat aku baru masuk, kedua kejadian kemarin! Kalau saja file itu tidak kuberikan lebih dulu, mungkin pekerjaan kita akan kembali tertunda karenamu! Jadi, jangan melibatkan rasa tidak sukamu itu di pekerjaan kita, karena kamu bisa menghambat kerjaan banyak orang. Apa kamu mengerti?” Diva berkata dengan nada tegas dan melihat ke arah Winda dengan tatapan tajam.Setelah melakukan hal itu, Diva menggeser pintu ruangan mereka dan masuk sendiri meninggalkan Winda yang masih terpaku di tempat itu.“Maaf, aku terlambat,” ucap Diva pada semuanya saat dia masuk ke ruangan ini.Ruangan ini awalnya hanya senyap karena beberapa karyawan ada yang belum pulang dari makan siang tiba-tiba menjadi gaduh karena kedatangan Diva.“Hei Diva! Aduhh kam
Setelah Prisya memutuskan sambungan teleponnya, Elvan terlihat berpikir tentang apa yang diucapkan wanita itu dan menghubungkannya dengan kekhawatiran Diva akan hubungan mereka jika terlalu cepat memberitahu kedua orang tuanya. “Apa orang tuanya memang seprotektif itu?” Pelipis Elvan berkedut. Tiba-tiba saja Dania membuyarkan lamuan Elvan. “Pak Elvan, ini file yang perlu ditandatangani segera dari bagian keuangan, lalu yang ini dari Bu Marissa, pagi tadi dia datang kemari dan mengatakan file ini harus segera ditandatangani dan bersifat rahasia.” Dania menyerahkan file lain dalam sebuah map tertutup yang bersegel yang belum terbuka. “Baiklah, letakkan saja di sana, nanti saya akan periksa lagi.” Elvan berkata seperti biasa. Namun baru beberapa langkah Dania akan meninggalkan ruangannya Elvan memanggilnya, “Dan, tunggu sebentar.” Sekretarisnya itu pun memutar badan dan menyahut cepat, “Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanyanya karena saat ini wajah Elvan terlihat sangat ser
Andi yang mendapatkan perintah tersebut sedikit heran, sejak kapan bosnya itu jadi suka memancing. “Alat pancing yang seperti apa, Pak?” tanya Andi pada Elvan, karena dia harus memastikan sekali lagi. “Yang terbaik dan jangan terlihat mahal dan mencolok,” titahnya dengan suara tegas. Elvan memang bicara cukup jelas, tetapi sayangnya hal ini makin membuat Andi kebingungan. "Maaf saya tanya lagi, Pak. Ini untuk memancing di kolam pemancingan, sungai atau di laut?" Walaupun opsi terakhir sepertinya tidak mungkin, karena Elvan sudah lama menghindari laut! Elvan diam sejenak lalu berkata, "Belikan saja yang terbaik dari semuanya." “Hah?! Apa ini untuk Pak Elvan?” tanyanya lagi dengan terkejut. Elvan belum merespon, membuat Andi harus sekali lagi bertanya, “Pak, apa Pak Elvan ingin pergi memancing?” tanyanya lagi. “Itu …, apa aku harus menjawab semua pertanyaanmu? Belikan saja dan jangan banyak tanya.” Elvan berkata dengan datar. Dia hanya tidak ingin anak buahnya itu banyak bicara.
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk