Saat mendengar pertanyaan itu, Diva sebenarnya malas untuk menjawabnya. Lagipula, daripada mendapatkan barang-barang mewah bukankah lebih baik mendapatkan restu keluarga terlebih dahulu? “Hei, Div, ditanya malah diem aja.” Winda berseru. Diva tersenyum menanggapinya. “Win, lagian ngapain sih nanya yang begini, siapa tahu Diva gak mau kasih tahu karena dia sudah dapet semuanya!” Reni menjawab perkataan Winda itu. “Yeee! Kamu kok sewot Ren! Mending kamu cari pacar gih!” Winda berkata dengan nada yang sedikit mengejek. “Entaran aja kalo udah waktunya.” Reni menjawab santai lalu memesan makanannya. “Eh Div, kamu mau apa? Katsu di sini enak loh!” Reni bertanya pada Diva, lalu Diva mengangguk setuju dengan rekomendasi Reni itu. "Okay, pesen katsu dua, lalu minumnya ...." Reni bergumam sendiri sembari mencatat pesanan mereka. “Aku pesen jus jeruk boleh?” tanya Diva pada Winda, dia jelas tahu etika minta izin, saat ditraktir oleh orang lain, tentunya. “Pesen aja, Div, mau yang mahal s
Ucapan Elvan barusan benar-benar membuat Diva terkejut, bagaimana mungkin Elvan ada di sini? Bukannya pria itu masih ada di rumah sakit? Apa jangan-jangan ….“Kamu maksa pulang, ya?!” Diva tidak sadar, suaranya memancing beberapa rekan kerjanya yang berjalan di depan berhenti dan melihat ke arahnya.“Ah, maap,” ucap Diva dengan tersenyum tidak enak hati pada mereka. “Kalian jalan duluan aja.” Diva berkata santai pada mereka, lalu setelahnya Diva berbalik kembali ke luar dan berjalan ke arah parkiran mobil Winda lalu mendongakkan kepalanya dan melihat ke atas di sana Elvan tersenyum memandangnya lalu dengan sekilas melambaikan tangannya sebelah, sedangkan sebelah lagi masih memegang ponselnya dan meletakkannya di telinga.“Kamu …! Kamu beneran maksa pulang, kan?!” Diva berkata dengan tatapan tajam melihat ke arah lawan bicaranya.“Naiklah cepat, di luar panas, nanti wajahmu terbakar matahari. Ah, rekanmu sudah mulai masuk ke sini. Cepatlah masuk.” Setelah mengatakan hal itu, Elvan terse
Miko yang mendapatkan tatapan seperti itu bukannya takut tapi malah terkekeh puas!“Wow! Baru kali ini aku benar-benar melihat secara nyata sosok Elvan Sabil dari keluarga Wongso bisa seperti ini karena seorang wanita!” Miko berkata seolah tidak ada hal besar yang sedang terjadi.“Hapus segera pikiran kamu tentang Diva! Jangan macam-macam dengannya! Ingat itu cuma masa lalu dan kamu itu sudah menyia-nyiakan masa lalu! Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggunya!” Elvan berkata dengan nada suara yang cukup kesal.“Nah! Satu lagi, sepertinya sudah lama sekali aku tidak mendengarmu berkata dengan intonasi beragam seperti itu, dan juga raut wajahmu akhirnya bisa tidak kaku lagi seperti sebelum mengambil alih L Tekno!” Miko berkata dengan penuh semangat.“Sudah ya! Yang jelas kamu jangan macam-macam dengan Diva! Karena aku sudah pasti tidak akan tinggal diam! Apalagi mencoba untuk menggodanya!” Elvan mengancam lawan bicaranya ini.Bukannya takut, Miko malah makin tertawa puas!“El, tenang sa
Miko menggeleng-gelengkan kepalanya dengan apa yang barusan saja diucapkan oleh Elvan, pria satu ini benar-benar berada di luar nalarnya saat ini.“Jangan katakan kalau sebenarnya tujuanmu itu bukan mengawasi diskusi pekerjaan, melainkan ingin melihat Diva saja.” Miko berseru padanya.“Menurutmu?” Elvan lalu menaikkan kedua bahunya dan segera masuk ke kamar pribadinya.“Tunggu aku Miko! Aku harus berganti pakaian dulu.” Elvan berkata dari dalam kamarnya itu.‘Benar-benar sudah dibuat buta oleh pesona Diva ternyata,’ ucap Miko sambil tersenyum simpul. ‘Diva, sepertinya kamu kali ini mendapatkan orang yang … tepat.’Lebih dari setengah jam Miko menunggu Elvan di depan televisi. Hal itu sedikit membuatnya merasa bosan, lalu dia menerobos masuk ke dalam kamar pria itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat walk in closet milik Elvan sudah sangat berantakan, beberapa pakaian berserakan di luar.“El, kamu ini apa-apaan? Apa di sini habis gempa bumi, sampai-sampai isinya nyaris keluar semua?!”
Tanpa banyak tanya Diva menyetujui ucapan Reni, “Baiklah.” Diva menjawab singkat pada rekannya itu.Setelah mereka bertukar tempat Reni berbisik pada Diva, “Sorry Div, apa si Vanvanmu itu sedang cemburu?” tanya Reni dengan senyum mengembang.Diva lalu menjawab dengan membalas senyuman, “Iya, dia memang kadang sedikit konyol!” Reni terkekeh ringan mendengar jawaban Diva ini, pun Diva melakukan hal yang sama, perbuatan mereka ini memancing perhatian yang ada di ruangan termasuk Elvan yang melihat ke arah mereka berdua.Sadar akan hal ini, Reni terdiam. Apalagi dia mendapatkan tatapan tajam dari Elvan.“Apa ada yang lucu?” tanya Elvan dengan nada dingin, membuat suhu ruangan di tempat ini makin dingin saja.“I-itu … ti-tidak ada Pak El, maaf saya memancing hal yang tidak perlu.” Reni berkata dengan tidak enak hati lalu mengedarkan pandang ke seluruh yang ada di ruangan ini.Sedangkan Elvan, mendapatkan balasan tatapan tajam dari Diva.“Diva, apa ada yang ingin kamu sampaikan? Sepertinya
Seisi ruangan sedikit terkejut saat Diva mengatakan hal itu. Namun, tidak dengan Elvan. Dia sudah sejak awal tahu kalau Diva pasti akan sangat kaget saat mengetahui sosok Miko yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan apa yang diucapkan Diva barusan, karena Diva menyebutkan nama depannya, tetapi sejak bergabung dengan L Tekno ini, pria itu memang lebih dikenal dengan nama Miko. “Hai, Diva, lama tidak berjumpa, ya, ternyata kamu masih mirip seperti sebelumnya” ucap Miko dengan santai lalu melirik sekilas ke arah Elvan yang memandangnya dengan tatapan was-was. Diva masih tidak bisa berkata-kata, dia masih sangat terkejut dengan kehadiran pria itu, sudah sangat lama sekali! “Eh, kalo kalian mau tahu, Diva ini dulu adalah adik kelas saya waktu sekolah!” Miko menjelaskan pada mereka yang ada di sana, hal ini membuat semuanya menganggukkan kepalanya. Semuanya tampak berpikir hal yang wajar saat Miko tidak terlalu mempermasalahkan urusan pekerjaan Diva kemarin. Berbeda dengan Elvan, Dia
Pikiran Diva berputar mengingat kejadian yang sangat lama itu. Saat dirinya baru pertama kali mendapatkan debaran jantung yang cukup kencang ketika melihat lawan jenisnya! Laki-laki yang beruntung itu adalah Zaydan Mikola, kakak kelas yang terlihat sangat tampan dan menawan, siapapun pasti mengidolakannya kala itu, namun sayangnya laki-laki itu hanya fokus pada sekolahnya saja. Diva sangat percaya diri dan berpikiran naif saat itu, dia beranggapan kalau dia bisa menaklukannya, sayangnya semua cara yang dia lakukan malah berujung kekecewaan! Bahkan saat itu dia sampai tidak berselera makan dan menyebabkan berat badannya turun lumayan jauh! Ya, kira-kira segila itu kisah remaja Diva! “Kak Zaydan, aku menyukaimu! Aku tidak mau lagi jadi adikmu. Apa kamu benar-benar tidak mau jadi pacarku saja?” Diva berkata dengan lantang saat menemui Zaydan di bandara. Saat itu Zaydan akan berangkat ke Amerika, dia mendapatkan beasiswa dari universitas yang terkemuka di dunia. Zaydan tersenyum melihat
Saat membaca pesan Elvan, Diva mengembangkan senyumnya! Kemudian tak berselang lama, kembali pesan masuk dari Elvan. [Dengarkan penjelasan dari atasanmu itu, tapi ingat, jangan berpikir macam-macam tentangnya! Berkonsentrasilah, namun jangan terpaku dengan kisah cinta masa lalumu.] Seketika wajah Diva memerah saat membaca pesan Elvan tersebut. Diva tidak kuasa untuk tidak melihat ke arah Elvan, dan memelototkan matanya, tetapi tindakannya barusan segera mendapatkan reaksi Elvan dengan menggerakkan dagunya ke arah Miko yang saat ini sedang bicara, menyuruhnya untuk memperhatikan penjelasan Miko. [Jangan menyindir tentang masa lalu yang buruk. Menyebalkan!] Setelah mengirimkan pesan tersebut. Diva memasukkan handphonenya ke saku blazernya, tak berselang lama, Miko selesai dengan pemaparannya dan mereka sibuk dengan diskusi. “Saya permisi ke belakang sebentar, Pak,” izin Diva pada Miko, pria itu hanya mengangguk memberikan persetujuan. Dengan cepat Diva keluar dari ruangan itu. Bar
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk