Kini Jejaka baru menyadari bahwa bau harum ayam panggang yang tadi diciumnya itulah yang menjadi penyebabnya. Tubuh Jejaka mulai limbung, berkali-kali pemuda ini mengalami kesulitan. Pelahan namun pasti kekuatannya mulai mengendur. Jurus 'Naga Pamungkas' ternyata banyak menguras tenaga.
Seiring mulai lelahnya Jejaka, desakan-desakan Darba dirasakannya semakin berat. Lambat namun pasti Jejaka Emas terdesak.
"Ha ha ha...!" pemuda berpakaian coklat itu tertawa bergelak. Suatu tawa kemenangan. "Hanya sampai di sini sajakah kepandaianmu yang tersohor itu, Jejaka Emas"! Sungguh lucu sekali!" Sambil berkata demikian, Darba terus memperhebat serangan-serangannya. Akibatnya, Jejaka semakin kewalahan! Pontang-panting Jejaka Emas berjuang menyelamatkan selembar nyawanya. Lewat empat puluh jurus, keadaan Jejaka kian mengkhawatirkan. Pemuda bermata biru ini tidak lagi mempergunakan jurus 'Naga Pamungkas'-nya. Melainkan hanya menggunakan jurus asal-asalan saja untuk menghindari sera
Plak...! Tubuh Darba terhuyung dua langkah ke belakang. Seketika tangannya bergetar hebat. Pemuda murid Ki Jatayu ini segera mengetahui kalau sosok bayangan hitam yang muncul dan menangkis serangannya, ternyata memiliki tenaga dalam dahsyat.Pemuda baju coklat ini meraung keras. Ditatapnya tajam-tajam sosok tubuh hitam yang telah menangkis serangannya itu. Matanya bersinar merah, memancarkan kemarahan yang amat sangat.Dan tahu-tahu sosok baju hitam yang tak lain dari Gumala telah berdiri di depan Jejaka. Sikapnya nampak jelas melindungi pemuda bermata biru itu."Kau terluka, Kakang?" tanya Gumala. Kecemasan tampak membayang di wajahnya. Jejaka hanya menganggukkan kepalanya."Pergilah kau, Adi Gumala. Lekas! Pemuda itu hebat sekali. Biar, aku yang menahannya...."Setelah berkata demikian, Jejaka Emas terbatuk-batuk. Cairan merah kental seketika keluar dari mulutnya."Tidak, Kang. Kau terluka cukup parah. Biar aku yang menghadapinya. Kau beri
Cring...! Dua buah senjata yang berbeda bertemu di tengah jalan, dalam sebuah benturan yang keras dan nyaring."Haaat...!"Darba menggertakkan gigi, menandakan kemarahannya yang memuncak. Kapak di tangannya segera berkelebatan kian dahsyat seiring kemarahannya yang semakin berkobar. Tapi Gumala mampu membendung setiap serangan lawan. Pedang di tangannya mengeluarkan bunyi menggerung dahsyat setiap kali digerakkannya. Sepertinya di dalam pedang itu mengandung kekuatan seekor naga.Pertarungan antara kedua orang muda itu berlangsung sengit dan cepat. Sehingga sebentar saja belasan jurus telah berlalu. Tapi sampai saat ini, belum nampak tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang."Tahan!" teriak Darba keras sambil melempar tubuh ke belakang, dan hinggap sekitar dua tombak dari tempatnya semula. Mendengar teriakan itu, Gumala langsung menghentikan gerakannya. Tangan kanannya yang menggenggam pedang, bersilangan dengan tangan kiri d
DENGAN mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Gumala berlari cepat sambil memanggul tubuh Jejaka. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, melihat barangkali Darba mengejarnya. Lega hatinya ketika tak juga melihat bayangan pemuda itu di belakangnya. Pelahan dikurangi kecepatan lari yang membuat napasnya terengah-engah. Sambil terus berlari, ditatapnya wajah Jejaka yang terkulai lemah di kedua tangannya. Pemuda bermata biru itu rupanya telah pingsan.Gumala baru menghentikan larinya ketika telah tiba di dekat kereta kuda yang ditinggalkan tadi. Segera dicarinya tempat yang tersembunyi di balik semak-semak, kemudian direbahkannya tubuh pemuda itu di situ.Sekali lihat saja Gumala dapat mengetahui kalau luka-luka yang diderita Jejaka Emas cukup parah. Bagian-bagian yang terkena serangan itu memang terlihat jelas. Bagian dada sebelah kiri yang terkena tusukan, tampak kulitnya sobek.Gumpalan darah yang telah mengering, mengelilingi sekitar luka itu. Sementara bagian per
Jejaka Emas tersentak. Ingatannya langsung melayang pada Larasati yang selalu memakai pakaian serba putih. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda ini pun melompat dari kereta. Tubuhnya melesat cepat ke arah bayangan putih tadi."Kau teruskan saja perjalananmu, Gumala. Sampai di simpang tiga, belok ke kiri. Sekitar sepuluh tombak dari situ, ada sebuah rumah yang paling besar dan bagus. Itulah rumah kepala desa. Aku datang belakangan," jelas Jejaka dari kejauhan.Memang dengan tingkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, tak sukar bagi Jejaka Emas untuk mengirimkan pesan jarak jauh ke orang yang dituju. Sedangkan Gumala hanya dapat mengangguk. Entah kepada siapa anggukan kepalanya itu ditujukan. Karena tubuh Jejaka sudah lenyap dari situ.Jejaka Emas segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Disadari kalau bayangan putih yang sekilas dilihatnya tadi adalah Larasati. Maka jelas dia tidak akan bisa mengejarnya kecuali mengerahkan segenap kemampuannya. Tapi betapapun pemuda be
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Anak Bagus!" kembali nenek ini berujar. Tapi kali ini suaranya mengandung ancaman maut. 'Tak ada seorang pun yang dapat hidup setelah mempermainkan Ratu Bulan!"Begitu selesai dengan ucapannya, nenek yang berjuluk Ratu Bulan itu menggerakkan tangan yang menggenggam tongkat bulan sabitnya.Cappp! Tongkat itu menancap dalam di tanah."Bersiaplah kau, Anak Bagus! Hiyaaa...!" Didahului oleh sebuah teriakan nyaring yang menggetarkan jantung, Ratu Bulan melompat menerjang Jejaka. Kedua tangannya yang membentuk cakar aneh menyambar-nyambar dahsyat ke arah Jejaka, sehingga menimbulkan suara angin berciutan.Jejaka Emas terperanjat kaget. Pemuda ini tahu, tidak ada gunanya berusaha mencegah. Nenek aneh ini pasti tidak akan mendengarkan ucapannya. Maka cepat-cepat digeser kakinya mengelakkan serangan itu.Tapi tiba-tiba tubuh nenek itu berbalik. Dan bersamaan dengan itu kakinya mengibas, mengancam pelipis. Sebuah serangan ya
Ratu Bulan yang sudah dicekam amarah, tentu saja tidak akan membiarkan lawannya lolos. Cepat dia melompat mengejar, sambil mengirimkan serangkaian serangan maut.Si nenek sudah bersorak dalam hati. Ia yakin betul kalau serangannya kali ini akan menemui sasaran. Sudah terbayang dibenaknya bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya ini, akan jatuh terkapar. Dapat dibayangkan betapa terkejut hari Ratu Bulan, ketika serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasaran itu tahu-tahu hanya menyambar tempat kosong. Tubuh pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Yang diketahui, sebelum serangan itu tiba pemuda bermata biru itu telah bergerak.Gerak Kilat Dewata telah Jejaka pergunakan untuk menghadapinya lawannya. Selagi nenek itu kebingungan mencari lawannya, dirasakan angin dingin berhembus di belakangnya. Cepat dilempar tubuhnya ke depan dan bergulingan menjauh, mendekati tongkatnya yang tertancap di tanah.Tappp!Disambarnya tongkat bulan sabitnya, dan
"Ahhh...!"Buaya Putih memekik kaget. Kecepatan gerak pemuda yang mirip wanita ini, benar-benar mengejutkannya. Sepasang matanya hanya dapat menangkap sekelebatan bayangan hitam yang menyambar deras ke arah kepalanya. Angin bercicitan nyaring mengiringi tibanya serangan itu.Untung-untungan laki-laki berjuluk Buaya Putih itu membanting tubuhnya ke tanah dan langsung bergulingan menjauh dari arena. Tapi Gumala yang tengah dilanda luapan amarah itu tidak akan melepaskan lawannya.Tekadnya sudah bulat untuk melenyapkan Buaya Putih yang terlalu memandang rendah dirinya. Sementara itu keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuh Buaya Putih ketika merasa serangan bayangan hitam yang terus mengikuti ke mana tubuhnya menghindar. Perasaan panik langsung menghinggapinya.Tubuhnya terus bergulingan, berusaha menyelamatkan diri. Buaya Belang dan Buaya Hitam tentu saja menyadari bahaya maut yang mengancam kakaknya. Sebagai tokoh-tokoh yang telah mempunyai pengal
Ctar! Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri kedua adiknya untuk bergabung.Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi."Haaat...!"Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun Gumala."Hiyaaa...!"Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada."Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua lutut. Tiga buah serangan secara bersamaan datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan menyulitkan lawan yang diserang.Tapi yang diserang kal