Ctar! Dilecutkannya sabuk itu sekali ke udara. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri kedua adiknya untuk bergabung.
Gumala kini tidak bersikap ceroboh. Pemuda ini tahu kalau ujung sabuk lawan mengandung racun jahat. Sempat tercium olehnya bau amis memuakkan ketika cambuk itu menyambar-nyambar tadi.
"Haaat...!"
Buaya Putih mendahului menyerang. Sabuk di tangannya melecut di udara sebelum menyambar deras ke arah ubun-ubun Gumala.
"Hiyaaa...!"
Buaya Hitam pun tak ketinggalan. Sabuknya mematuk-matuk ganas ke arah dada.
"Hiaaat...!" teriak Buaya Belang tak mau kalah. Sabuk buriknya menyapu ke arah kedua lutut. Tiga buah serangan secara bersamaan datang, mengancam tubuh Gumala. Suatu kerja sama yang teratur baik. Memang cukup berbahaya serangan ini. Apalagi senjata mereka lemas seperti sabuk kulit. Arah sasaran yang dituju tentu dapat berubah-ubah dalam seketika. Hal ini jelas akan menyulitkan lawan yang diserang.
Tapi yang diserang kal
Gumala yakin kalau saja mereka mengeroyok secara tak teratur, jangankan hanya tiga orang, bia r dita mbah dua kali lipat pun mampu mengalahkan tanpa mengalami kerepotan seperti ini. Jadi rupanya karena keteraturan dalam penyerangan inilah yang menyebabkan mereka begitu tangguh. Kalau saja Gumala bisa membuat mereka kurang menjadi satu saja, pasti kehebatan itu akan hancur.Mendapat pikiran demikian, Gumala mulai menelaah setiap serangannya tadi. Ditemukan kalau tadi penyerangannya berpindahpindah. Pertama menyerang Buaya Putih, lalu mengancam Buaya Hitam. Di lain saat, mencecar Buaya Belang. Tekadnya sekarang adalah mengarahkan serangan pada satu orang saja."Haaat..!"Kini Gumala mengarahkan serangannya pada Buaya Putih yang memang sejak tadi diincarnya. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, Buaya Hitam dan Buaya Belang bergegas datang menolongnya, menyampoki serangan itu bersama-sama. Tapi kali ini tidak seperti yang sudah-sudah. Gumala kini tidak memped
"Bukan urusanmu!" bentak Gumala garang seraya melompat menerjang Darba. Tahu kelihaian pemuda berbaju coklat itu, Gumala segera mengerahkan segenap kemampuannya. Tangan kanannya yang berbentuk cakar menyambar ke arah pelipis, sementara tangan kirinya dipalangkan di depan dada. Melihat serangan itu, Darba hanya tertawa mengejek. Dengan sebuah gerakan sederhana, didoyongkan tubuhnya ke belakang seraya mengangkat tangan kirinya untuk menangkis serangan itu. Bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah perutPlak! Dughk...!Suara benturan keras antara tangan dengan tangan, dan tangan dengan kaki yang mengandung tenaga dalam dahsyat, terdengar beberapa kali. Tendangan Darba berhasil dipatahkan Gumala dengan tangan kiri yang terpalang dari atas ke bawah. Akibat benturan itu, baik Gumala maupun Darba sama-sama terhuyung.Gumala terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Darba terhuyung satu langkah. Gumala menggertakkan gigi. Begitu daya dorong yang me
Tapi, kenapa pemuda itu terlihat begitu khawatir" Setelah tanpa hasil menerka-nerka, akhirnya Darba memutuskan untuk tidak memikirkannya. Biarlah pemuda itu sendiri yang kerepotan menghadapi angin serangan tangannya.Maka segera Darba meningkatkan serangannya. Lewat jurus kedua puluh, Gumala mulai terdesak. Sebenarnya kalau saja Gumala tidak mempedulikan angin serangan yang mengenai pakaiannya, dia tak akan terdesak begitu. Pemuda ini banyak melakukan gerakan untuk mengelakkan serangan yang sebenarnya tidak berbahaya. Jadi, dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.Memang berkat 'kerajinannya' mengelakkan angin serangan itu, pakaiannya sampai saat ini masih tetap utuh. Hanya ada satu bagian yang robek memanjang pada bahu kanan atas."Haaat...!"Tiba-tiba Gumala berteriak nyaring. Kemudian tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali diudara. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, tangannya telah menggenggam sebatang pedan
Putaran tubuh Gumala terhenti ketika menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh terguling di tanah. Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak.Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa lagi kalau bukan Buaya Hitam!Wut...! Prattt...!"Akh...!"Gumala mengeluh ketika ujung cambuk berduri itu melecut pada bagian paha dan bawah dadanya. Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru sekarang ini dia benar-benar mati."Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala memejamka
"Ohhh...!"Tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut si gadis, Gadis itu terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus."Manusia kurang ajar!" teriak Larasati keras. Tangannya pun melayang.Plak...! Dengan deras dan keras telapak tangan gadis itu menampar pipi Jejaka. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna merah."Tunggu sebentar, Larasati! Akan kujelaskan...," ucap Jejaka gugup.Tapi Gumala yang sebenarnya Larasati itu sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.Bukkk! Dengan telak, tendangan itu menghantam Jejaka yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau melawan. Untungnya Larasati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda bermata biru ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Jejaka yang terkena sasaran pukulan dan t
"Bagaimana mengobatinya, apakah kamu bisa? Apakah kamu punya obatnya?" Saat itu si gadis merasa perutnya mual, "Aku mual, rasanya mau muntah." Saat berikutnya ia muntah. Lendir mengandung sedikit darah.Jejaka merasa serba salah. "Racun mulai mengganas. Aku bisa menolongmu, tetapi..."Gadis itu semakin bingung. "Katakan, apakah ada syarat untuk pertolonganmu? Katakan!"Wajah Jejaka memerah, agak tersinggung. "Kamu salah, Larasati. Aku menolongmu karena kebetulan ingin menolong, itu saja. Aku tidak minta apa-apa sebagai imbalan, tetapi aku khawatir kamu salah sangka. Soalnya aku harus mengisap darah dari luka kamu, dan luka itu ada di paha dan dada" Waktu menyebut paha dan dada, suara Jejaka rnenjadi lirih. "Tetapi kalau tidak ditolong, kamu bisa lumpuh atau mati."Wajah gadis ini memerah. Malu. Ia baru tahu mengapa Jejaka menjadi kikuk. Lukanya tepat di perbatasan payudara dan bahu, untuk mengisap luka artinya pemuda itu harus meraba dan melihat buah dadanya. Luka di paha tempatnya se
Tetapi sia-sia, sesaat kemudian wajah Jejaka hadir kembali mengusir wajah lelaki tadi. Tak sampai sepenanakan nasi, saat malam sudah mulai gelap, Jejaka muncul. "Aku agak sulit menemukan rumput yang dua jenis, tetapi untunglah masih bisa kutemukan. Ini kamu kunyah, airnya kautelan, ampasnya kamu balur di luka. Sekarang aku akan mengisap luka di pahamu"Tanpa disengaja dua pasang mata saling menatap. Hutan sudah mulai gelap namun keduanya merasa rikuh, jantung berdegup kencang. Ada perasaan tersembunyi yang dirasakan keduanya. Jejaka mengalihkan bicara, "Aku akan mengobati luka di pahamu"Berkata demikian, ia merobek celana di batas paha, mengisap lukanya. Seperti cara mengobati luka di dada, setelah menyedot darah beracun, ia melabur dengan obat dedaunan. "Jejaka, kau mahir dalam ilmu pengobatan, tentu gurumu bukan sembarang orang. Dia pasti pendekar bernama besar."Jejaka merasa gugup. Ia masih terpesona setelah memegang paha mulus yang kenyal berotot. Ia berupaya mengendalikan birah
Larasati memandang lekat wajah Jejaka di hadapannya. "Terus terang saja aku sangat menyukainya, apakah aku sudah jatuh cinta? Begitu mudahnya" Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia merunduk malu. Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya robek, hampir separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin menutup dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh Jejaka sudah melihatnya. "Apakah ia menyukai aku, jatuh cinta padaku?" Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi, kata-katanya keluar begitu saja, "Gila, mana mungkin!"Jejaka terkejut. "Apanya yang gila?"Larasati juga terkejut. "Tidak, tidak apa-apa” kata Larasati gugup.Jejaka diam. Larasati memecah kesunyian "Jejaka, hari sudah gelap, apakah tidak lebih baik jika kita menyalakan api." Larasati terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut nama lelaki itu begitu saja, seperti sudah akrab.Namun Jejaka tidak memerhatikan perubahan sebutan itu. "Kamu benar. Kita memang harus mencari tempat untuk tidur. Di