Larasati memandang lekat wajah Jejaka di hadapannya. "Terus terang saja aku sangat menyukainya, apakah aku sudah jatuh cinta? Begitu mudahnya" Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia merunduk malu. Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya robek, hampir separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin menutup dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh Jejaka sudah melihatnya. "Apakah ia menyukai aku, jatuh cinta padaku?" Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi, kata-katanya keluar begitu saja, "Gila, mana mungkin!"
Jejaka terkejut. "Apanya yang gila?"
Larasati juga terkejut. "Tidak, tidak apa-apa” kata Larasati gugup.
Jejaka diam. Larasati memecah kesunyian "Jejaka, hari sudah gelap, apakah tidak lebih baik jika kita menyalakan api." Larasati terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut nama lelaki itu begitu saja, seperti sudah akrab.
Namun Jejaka tidak memerhatikan perubahan sebutan itu. "Kamu benar. Kita memang harus mencari tempat untuk tidur. Di
Goa itu cukup besar. Jejaka telah membersihkan goa itu. Tadinya basah, lembab dan kumuh, Jejaka menjadikannya tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Ada tumpukan kayu kering untuk menghangatkan tubuh. Ada obor damar untuk penerangan. Ada tumpukan jerami di atas papan dirancang untuk tempat tidur.Ia menyalakan obor. Cahaya obor menerangi goa, samar-samar. Jejaka menatap Larasati. Lekuk dan liuk tubuh gadis itu tampak jelas, pinggangnya yang kecil ramping, buah dadanya yang montok dan pinggulnya yang semok, membentuk bayangan indah. Jejaka tadinya sudah tahu Larasati seorang gadis muda yang cantik. Namun di goa ini, segalanya makin jelas. Larasati ibarat seorang bidadari dengan kecantikan yang membuat lelaki mana pun bisa mabuk kepayang.Mendadak saja Larasati berseru "Jejaka, bajuku basah kuyup. Sekarang aku perlu api unggun untuk mengeringkan baju ini."Jejaka tersadar dari lamunan dan perhatiannya pada tubuh molek Larasati. "Aku punya beberapa baju di sini, ka
Larasati memandang Jejaka dengan perasaan geli. "Aku belum pernah makan ikan mentah, amis.""Namanya, ikan marong. Khasiatnya merangsang tubuh memperbanyak darah. Kamu banyak kehilangan darah, itu sebab kamu lemas dan untuk memulihkan tenagamu biasanya perlu waktu cukup lama. Kalau ikan itu kau masak, khasiat ikan marong itu akan hilang. Coba dulu, enak dan segar!"Jejaka memberi contoh. Ia mencomot seekor, melahapnya dengan enak. Darah ikan meleleh dari mulutnya. Larasati nyengir melihat Jejaka melahap ikan. Hati-hati dia membawa ikan itu ke mulutnya. Digigitnya dengan enggan.Rasanya enak. Manis dan hangat. Larasati tertawa, Jejaka pun tertawa. Ia merasa perutnya hangat Tanpa malu-malu, saking laparnya, ia tertawa lepas sambil melahap tiga ekor ikan. Jejaka terpesona memandang wajah Larasati yang tampak cantik saat tertawa tadi. Cahaya api unggun yang agak redup, sudah cukup untuk menonjolkan kecantikan alamiah itu. Tanpa sadar Jejaka menghela nafas."K
Jejaka memeluk Larasati, menciumnya lagi. Larasati merapatkan tubuhnya, balas mencium dengan bernafsu. Sesaat kemudian ia melepaskan diri. "Jejaka, jangan sekarang, lukaku masih sakit. Terutama luka di bagian dada. Lukanya belum kering." Ia tertawa sambil mendorong tubuh Jejaka. Lelaki ini memegang tangannya, sekali lagi ia menggumuli tubuh si gadis. "Jangan sekarang," kata Larasati. Ia berbisik di telinga Jejaka. "Tunggu tiga malam lagi, saat itu lukaku pasti sudah kering, tidak perih lagi."Melewati dua hari Jejaka berlatih silat di air terjun. Sementara Larasati lebih sering menghabiskan waktu di dalam goa, berlatih tenaga dalam. Sesungguhnya tenaga dalamnya sudah pulih. Namun ia perlu waktu memikirkan hubungannya dengan Jejaka. "Ini hubungan yang aneh dan unik. Baru berkenalan dia sudah menyatakan menyukaiku, apakah bukannya nafsu birahi, mungkin juga dia mengatur siasat dan tipuan. Dia hanya mengincar tubuhku, setelah menikmati tubuhku, dia akan pergi meninggalkan
"Jejaka, kamu tidak mengenal aku, Aku bukan gadis perawan seperti bayanganmu."Jejaka tertawa lirih, agak tersinggung. "Kau jangan mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga menyukaiku, aku melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu dirimu sendiri.""Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya. Aku sudah tidak perawan lagi."Jejaka tertawa geli."Kenapa tertawa? Kamu menertawakan aku?" Larasati cemberut."Tidak, aku tidak menertawakan kamu. Aku geli mendengar alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Aku tetap mencintaimu, apakah kamu sudah tidak perawan lagi, semua itu aku tidak peduli. Aku mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini dan tak ada hubungannya dengan masa lalumu""Kamu gila!""Ya memang aku gila, sudah kukatakan padamu, aku kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya kecuali menjadikan kamu kekasihku, aku bersungguh-sungguh."Larasati menatap lelaki itu dengan pandangan penuh arti cinta. "Sini Jejak
Setelah lima hari berdiam di goa, tenaga Larasati sudah pulih seperti sediakala. Pagi itu, kedua insan yang sedang jatuh cinta itu sepakat bepergian bersama. Mereka menuju gunung semeru, untuk mengunjungi guru Jejaka, Begawan Tapa Pamungkas. Tapi kali ini Larasati mengajak Jejaka untuk mengambil jalur lewat sungai. Karena begitu banyak halang rintang selama mereka lewat jalur darat. Bagi Jejaka tidak masalah. Mau lewat darat ataupun sungai. Asalkan selalu bisa bersama-sama Larasati.Di jaman itu, sungai merupakan lalu lintas paling mudah dan murah bagi para pelancong dan pedagang. Orang hanya perlu menyewa perahu milik perguruan dan keamanan mereka pasti terjamin.Sepasang kekasih itu menyewa perahu berukuran sedang yang cukup untuk tujuh delapan orang penumpang. Di bagian tengah ada gubuk beratap daun nyiur, tempat penumpang berlindung dari panas mentari. Tukang perahu seorang lelaki kurus berusia separuh baya dibantu seorang anak remaja.Perjalanan air biasany
GUMALA yang kini adalah Larasati, selama melakukan perjalanan bersama Jejaka, pemuda itu telah bercerita banyak tentang Larasati. Tentu saja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Larasati yang diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.Diceritakan pula oleh Jejaka kalau Larasati telah membencinya. Hampir saja Larasati yang waktu itu menyamar sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Larasati sama sekali tidak membenci pemuda itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Jejaka.Salah satu hal yang paling berat adalah janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada Jejaka. Maka Larasati memutuskan untuk menjauhi Jejaka saja.Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat Jejaka itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja
"Ada apa?" tanya Jejaka begitu tubuh Surya telah dekat. Surya sendiri tampak terpengarah terpesona melihat sosok cantik jelita yang berdiri disebelah Jejaka."Ada apa?!" tanya Jejaka lagi dengan sedikit keras hingga menyadarkan Surya dari keterperangahannya."Gawat, Tuan Jejaka Emas..!" ujar Surya masih terengah-engah."Panggil saja aku Jejaka...," pinta pemuda bermata biru itu. Risih rasanya mendapat panggilan yang begitu tinggi."Ada apa?"Sementara itu, Surya mengatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Begawan Tapa Pamungkas....""Pemuda! Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Jejaka. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang."Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak berwarna perak..."Berubah wajah Jejaka mendengarnya. Jejaka memalingkan pandangannya kearah Larasati.“Darba&rdq
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan nenekku...!” desak Jejaka setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap.Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak-hentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang terjadi pada kakek dan Nenekku...!"Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong dari pemuda bermata biru itu. Nyalinya kontan menciut."Sabar Jejaka..., sadarlah, Sadar...," ucap Larasati mencoba menenangkan Jejaka. Ucapan Larasati itu rupanya berhasil menyadarkan Jejaka. Pelahan cekalan Jejaka pada leher baju pemuda itu mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan."Hhh...!"Jejaka menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. Ditekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Jejaka lirih. "Aku khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi pada kakek dan nenek. Katakan, Kang. Sekalipun berita itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."Sur