"Jejaka, kamu tidak mengenal aku, Aku bukan gadis perawan seperti bayanganmu."
Jejaka tertawa lirih, agak tersinggung. "Kau jangan mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga menyukaiku, aku melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu dirimu sendiri."
"Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya. Aku sudah tidak perawan lagi."
Jejaka tertawa geli.
"Kenapa tertawa? Kamu menertawakan aku?" Larasati cemberut.
"Tidak, aku tidak menertawakan kamu. Aku geli mendengar alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Aku tetap mencintaimu, apakah kamu sudah tidak perawan lagi, semua itu aku tidak peduli. Aku mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini dan tak ada hubungannya dengan masa lalumu"
"Kamu gila!"
"Ya memang aku gila, sudah kukatakan padamu, aku kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya kecuali menjadikan kamu kekasihku, aku bersungguh-sungguh."
Larasati menatap lelaki itu dengan pandangan penuh arti cinta. "Sini Jejak
Setelah lima hari berdiam di goa, tenaga Larasati sudah pulih seperti sediakala. Pagi itu, kedua insan yang sedang jatuh cinta itu sepakat bepergian bersama. Mereka menuju gunung semeru, untuk mengunjungi guru Jejaka, Begawan Tapa Pamungkas. Tapi kali ini Larasati mengajak Jejaka untuk mengambil jalur lewat sungai. Karena begitu banyak halang rintang selama mereka lewat jalur darat. Bagi Jejaka tidak masalah. Mau lewat darat ataupun sungai. Asalkan selalu bisa bersama-sama Larasati.Di jaman itu, sungai merupakan lalu lintas paling mudah dan murah bagi para pelancong dan pedagang. Orang hanya perlu menyewa perahu milik perguruan dan keamanan mereka pasti terjamin.Sepasang kekasih itu menyewa perahu berukuran sedang yang cukup untuk tujuh delapan orang penumpang. Di bagian tengah ada gubuk beratap daun nyiur, tempat penumpang berlindung dari panas mentari. Tukang perahu seorang lelaki kurus berusia separuh baya dibantu seorang anak remaja.Perjalanan air biasany
GUMALA yang kini adalah Larasati, selama melakukan perjalanan bersama Jejaka, pemuda itu telah bercerita banyak tentang Larasati. Tentu saja juga diungkapkan perasaan cintanya terhadap Larasati yang diutarakan pada Gumala, kawan seperjalanan yang dikira adalah seorang pemuda.Diceritakan pula oleh Jejaka kalau Larasati telah membencinya. Hampir saja Larasati yang waktu itu menyamar sebagai Gumala membuka rahasianya sendiri. Sebenarnya Larasati sama sekali tidak membenci pemuda itu. Bahkan sebaliknya mencintainya. Tapi, rasa malu dan beberapa sebab-sebab lain membuatnya merasa rendah diri bersama-sama Jejaka.Salah satu hal yang paling berat adalah janjinya terhadap 'ayahnya' Gadis itu memang telah bersumpah untuk memberi hukuman pada pemuda itu. Tapi janji itu sulit dilakukannya, karena cintanya pada Jejaka. Maka Larasati memutuskan untuk menjauhi Jejaka saja.Tapi ternyata rasa rindu untuk melihat Jejaka itu tidak tertahankan lagi. Setelah lama otaknya bekerja
"Ada apa?" tanya Jejaka begitu tubuh Surya telah dekat. Surya sendiri tampak terpengarah terpesona melihat sosok cantik jelita yang berdiri disebelah Jejaka."Ada apa?!" tanya Jejaka lagi dengan sedikit keras hingga menyadarkan Surya dari keterperangahannya."Gawat, Tuan Jejaka Emas..!" ujar Surya masih terengah-engah."Panggil saja aku Jejaka...," pinta pemuda bermata biru itu. Risih rasanya mendapat panggilan yang begitu tinggi."Ada apa?"Sementara itu, Surya mengatur napasnya sebelum kembali berbicara. "Beberapa pekan yang lalu, seorang pemuda datang ke desa ini menanyakan tempat tinggal Kakek Begawan Tapa Pamungkas....""Pemuda! Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Jejaka. Dadanya tiba-tiba terasa berdebar tegang."Nggg..., tampan.... Pakaiannya coklat. Dan di kanan kiri pinggangnya terselip sebuah kapak berwarna perak..."Berubah wajah Jejaka mendengarnya. Jejaka memalingkan pandangannya kearah Larasati.“Darba&rdq
"Lalu..., apa yang terjadi dengan kakek dan nenekku...!” desak Jejaka setengah berteriak. Ketegangan membuat pikiran jernihnya menguap.Dicekalnya leher baju Surya dan dihentak-hentakkannya. "Katakan! Katakan, apa yang terjadi pada kakek dan Nenekku...!"Tubuh Surya gemetar. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong dari pemuda bermata biru itu. Nyalinya kontan menciut."Sabar Jejaka..., sadarlah, Sadar...," ucap Larasati mencoba menenangkan Jejaka. Ucapan Larasati itu rupanya berhasil menyadarkan Jejaka. Pelahan cekalan Jejaka pada leher baju pemuda itu mengendur. Kemudian tubuh Surya pun diturunkan."Hhh...!"Jejaka menghembuskan napas berat. Sepasang matanya pun kembali meredup. Ditekap wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Kang," ucap Jejaka lirih. "Aku khilaf. Tapi, kuharap Kakang bersedia mengatakan apa terjadi pada kakek dan nenek. Katakan, Kang. Sekalipun berita itu buruk, aku sudah siap untuk mendengarnya."Sur
Nenek berpakaian putih itu menganggukkan kepalanya. "Aku juga tahu. Kalau tidak salah, pemuda itu berjuluk Jejaka Emas!"“Tepat” Ratu Bulan termenung."Dan ciri-ciri Jejaka Emas mirip pemuda ini!" sambung Algojo Hijau lagi."Ahhh...! Kau benar!" nenek tinggi kurus ini mulai teringat. Sementara itu, Jejaka juga terkejut melihat nenek berpakaian serba putih itu. Kelihaian nenek ini sudah dirasakannya. Sekarang dia datang berdua dengan kawannya yang sekali lihat saja diketahui kalau kepandaiannya tidak rendah.Larasati memegang pundak Jejaka dengan lembut agar Jejaka bisa meredam amarahnya. Jejaka sekarang tengah dilanda kemarahan yang meluap-luap. Tapi, tentu saja sebagai seorang pendekar menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, pemuda ini tidak meluapkan amarahnya secara sembarangan. Maka Jejaka yang memang tidak ingin mencari permusuhan, mencoba bersikap tenang. Ditunggu bagaimana tindakan Ratu Bulan terhadapnya. Jelas terlihat kalau nenek it
Seketika berubah wajah Jejaka."Maksud, Kakek?" tanya Jejaka Emas.Wajah Algojo Hijau berubah serius."Sejak puluhan tahun yang lalu, kami adalah sepasang tokoh yang tidak terkalahkan. Kami pun gemar bertanding, sehingga tak terhitung lawan yang rubuh di tangan kami. Sampai akhirnya, kami bertemu dengan Begawan Tapa Pamungkas. Melalui suatu pertarungan yang sengit, kami berhasil dikalahkannya. Tentu saja hal ini membuat penasaran, di samping malu yang besar. Maka kami katakan padanya, bahwa sepuluh tahun lagi kami akan datang menantang untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tapi rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. Semenjak itu kami pun kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Begawan Tapa Pamungkas telah lebih dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal. Untunglah ada dirimu yang menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami b
Bergegas Jejaka berlari menghampiri. Sesaat kemudian Jejaka Emas telah berada dalam jarak tiga tombak dari arena pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah dikeroyok itu. Dan ini membuat pemuda berbaju merah keemasan ini menjadi agak terkejut.Orang yang tengah dikeroyok itu berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju hitam bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar baja hitam dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam bergerak, di situ pasti ada sesosok tubuh yang rubuh."Cakar Garuda...," desah Jejaka.Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan tengah dicarinya, bergerak menghampiri."Heh"! Kau lagi, Jejaka Emas" Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini bersama-sama temanmu akan mengeroyokku?" ejek Darba memanas-manasi. Sepa
Sementara itu pertarungan antara Cakar Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu, memang terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya. Setiap kali besi berbentuk cakar di tangannya bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit kematian terdengar saling susul."Aaa...!"Pekik nyaring melengking panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu. Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan antara Jejaka Emas menghadapi Darba. Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini. Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya, karena telah membasmi perguruannya."Hiyaaa...!"Diiringi pekik kemarahan laksana binatang terluka, Cakar Garuda melompat menerjang Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan Je