Putaran tubuh Gumala terhenti ketika menabrak pagar tembok. Tanpa ampun bgi, tubuh yang sedang sempoyongan itu jatuh terguling di tanah. Belum juga pemuda berbaju hitam ini menyadari apa yang terjadi, sosok tubuh yang disangkanya sudah tewas tadi tiba-tiba bergerak.
Tangannya yang menggenggam sabuk kulit buaya berwarna hitam itu melayang. Siapa lagi kalau bukan Buaya Hitam!
Wut...! Prattt...!
"Akh...!"
Gumala mengeluh ketika ujung cambuk berduri itu melecut pada bagian paha dan bawah dadanya. Kontan rasa panas menjalar di sekitar tempat yang terkena sabetan. Kepalanya pun terasa pusing. Sementara Buaya Hitam sehabis melecutkan sabuknya, mengeluh tertahan dan rubuh dengan napas putus. Baru sekarang ini dia benar-benar mati.
"Ha ha ha...! Sekarang tamatlah riwayatmu!"
Masih tertangkap oleh pendengaran Gumala, suara tawa penuh kemenangan dari Darba. Dicobanya untuk bangkit. Tapi rasa pusing yang menggayuti kepala menghambatnya. Gumala memejamka
"Ohhh...!"Tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut si gadis, Gadis itu terkejut setengah mati. Gadis itu seketika memekik, lalu bergegas bangkit dengan wajah memerah bagai kepiting rebus."Manusia kurang ajar!" teriak Larasati keras. Tangannya pun melayang.Plak...! Dengan deras dan keras telapak tangan gadis itu menampar pipi Jejaka. Begitu kerasnya sehingga nampak pada pipi pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna merah."Tunggu sebentar, Larasati! Akan kujelaskan...," ucap Jejaka gugup.Tapi Gumala yang sebenarnya Larasati itu sama sekali tidak mempedulikannya. Segera dia bangkit, lalu merapikan pakaiannya. Dan kembali diterjangnya pemuda itu.Bukkk! Dengan telak, tendangan itu menghantam Jejaka yang sama sekali tidak berusaha mengelak atau melawan. Untungnya Larasati hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya ketika melihat pemuda bermata biru ini sama sekali tidak mengelak atau menangkis.Meskipun begitu, tetap saja sekujur tubuh Jejaka yang terkena sasaran pukulan dan t
"Bagaimana mengobatinya, apakah kamu bisa? Apakah kamu punya obatnya?" Saat itu si gadis merasa perutnya mual, "Aku mual, rasanya mau muntah." Saat berikutnya ia muntah. Lendir mengandung sedikit darah.Jejaka merasa serba salah. "Racun mulai mengganas. Aku bisa menolongmu, tetapi..."Gadis itu semakin bingung. "Katakan, apakah ada syarat untuk pertolonganmu? Katakan!"Wajah Jejaka memerah, agak tersinggung. "Kamu salah, Larasati. Aku menolongmu karena kebetulan ingin menolong, itu saja. Aku tidak minta apa-apa sebagai imbalan, tetapi aku khawatir kamu salah sangka. Soalnya aku harus mengisap darah dari luka kamu, dan luka itu ada di paha dan dada" Waktu menyebut paha dan dada, suara Jejaka rnenjadi lirih. "Tetapi kalau tidak ditolong, kamu bisa lumpuh atau mati."Wajah gadis ini memerah. Malu. Ia baru tahu mengapa Jejaka menjadi kikuk. Lukanya tepat di perbatasan payudara dan bahu, untuk mengisap luka artinya pemuda itu harus meraba dan melihat buah dadanya. Luka di paha tempatnya se
Tetapi sia-sia, sesaat kemudian wajah Jejaka hadir kembali mengusir wajah lelaki tadi. Tak sampai sepenanakan nasi, saat malam sudah mulai gelap, Jejaka muncul. "Aku agak sulit menemukan rumput yang dua jenis, tetapi untunglah masih bisa kutemukan. Ini kamu kunyah, airnya kautelan, ampasnya kamu balur di luka. Sekarang aku akan mengisap luka di pahamu"Tanpa disengaja dua pasang mata saling menatap. Hutan sudah mulai gelap namun keduanya merasa rikuh, jantung berdegup kencang. Ada perasaan tersembunyi yang dirasakan keduanya. Jejaka mengalihkan bicara, "Aku akan mengobati luka di pahamu"Berkata demikian, ia merobek celana di batas paha, mengisap lukanya. Seperti cara mengobati luka di dada, setelah menyedot darah beracun, ia melabur dengan obat dedaunan. "Jejaka, kau mahir dalam ilmu pengobatan, tentu gurumu bukan sembarang orang. Dia pasti pendekar bernama besar."Jejaka merasa gugup. Ia masih terpesona setelah memegang paha mulus yang kenyal berotot. Ia berupaya mengendalikan birah
Larasati memandang lekat wajah Jejaka di hadapannya. "Terus terang saja aku sangat menyukainya, apakah aku sudah jatuh cinta? Begitu mudahnya" Pikiran ini membuat wajahnya memerah. Ia merunduk malu. Tiba-tiba ia melihat baju di bagian dadanya robek, hampir separuh payudaranya nyembul keluar. Ia ingin menutup dengan tangannya. Tetapi batal, biarlah, toh Jejaka sudah melihatnya. "Apakah ia menyukai aku, jatuh cinta padaku?" Tanpa sadar ia membantah pikirannya tadi, kata-katanya keluar begitu saja, "Gila, mana mungkin!"Jejaka terkejut. "Apanya yang gila?"Larasati juga terkejut. "Tidak, tidak apa-apa” kata Larasati gugup.Jejaka diam. Larasati memecah kesunyian "Jejaka, hari sudah gelap, apakah tidak lebih baik jika kita menyalakan api." Larasati terkejut dengan dirinya sendiri, menyebut nama lelaki itu begitu saja, seperti sudah akrab.Namun Jejaka tidak memerhatikan perubahan sebutan itu. "Kamu benar. Kita memang harus mencari tempat untuk tidur. Di
Goa itu cukup besar. Jejaka telah membersihkan goa itu. Tadinya basah, lembab dan kumuh, Jejaka menjadikannya tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Ada tumpukan kayu kering untuk menghangatkan tubuh. Ada obor damar untuk penerangan. Ada tumpukan jerami di atas papan dirancang untuk tempat tidur.Ia menyalakan obor. Cahaya obor menerangi goa, samar-samar. Jejaka menatap Larasati. Lekuk dan liuk tubuh gadis itu tampak jelas, pinggangnya yang kecil ramping, buah dadanya yang montok dan pinggulnya yang semok, membentuk bayangan indah. Jejaka tadinya sudah tahu Larasati seorang gadis muda yang cantik. Namun di goa ini, segalanya makin jelas. Larasati ibarat seorang bidadari dengan kecantikan yang membuat lelaki mana pun bisa mabuk kepayang.Mendadak saja Larasati berseru "Jejaka, bajuku basah kuyup. Sekarang aku perlu api unggun untuk mengeringkan baju ini."Jejaka tersadar dari lamunan dan perhatiannya pada tubuh molek Larasati. "Aku punya beberapa baju di sini, ka
Larasati memandang Jejaka dengan perasaan geli. "Aku belum pernah makan ikan mentah, amis.""Namanya, ikan marong. Khasiatnya merangsang tubuh memperbanyak darah. Kamu banyak kehilangan darah, itu sebab kamu lemas dan untuk memulihkan tenagamu biasanya perlu waktu cukup lama. Kalau ikan itu kau masak, khasiat ikan marong itu akan hilang. Coba dulu, enak dan segar!"Jejaka memberi contoh. Ia mencomot seekor, melahapnya dengan enak. Darah ikan meleleh dari mulutnya. Larasati nyengir melihat Jejaka melahap ikan. Hati-hati dia membawa ikan itu ke mulutnya. Digigitnya dengan enggan.Rasanya enak. Manis dan hangat. Larasati tertawa, Jejaka pun tertawa. Ia merasa perutnya hangat Tanpa malu-malu, saking laparnya, ia tertawa lepas sambil melahap tiga ekor ikan. Jejaka terpesona memandang wajah Larasati yang tampak cantik saat tertawa tadi. Cahaya api unggun yang agak redup, sudah cukup untuk menonjolkan kecantikan alamiah itu. Tanpa sadar Jejaka menghela nafas."K
Jejaka memeluk Larasati, menciumnya lagi. Larasati merapatkan tubuhnya, balas mencium dengan bernafsu. Sesaat kemudian ia melepaskan diri. "Jejaka, jangan sekarang, lukaku masih sakit. Terutama luka di bagian dada. Lukanya belum kering." Ia tertawa sambil mendorong tubuh Jejaka. Lelaki ini memegang tangannya, sekali lagi ia menggumuli tubuh si gadis. "Jangan sekarang," kata Larasati. Ia berbisik di telinga Jejaka. "Tunggu tiga malam lagi, saat itu lukaku pasti sudah kering, tidak perih lagi."Melewati dua hari Jejaka berlatih silat di air terjun. Sementara Larasati lebih sering menghabiskan waktu di dalam goa, berlatih tenaga dalam. Sesungguhnya tenaga dalamnya sudah pulih. Namun ia perlu waktu memikirkan hubungannya dengan Jejaka. "Ini hubungan yang aneh dan unik. Baru berkenalan dia sudah menyatakan menyukaiku, apakah bukannya nafsu birahi, mungkin juga dia mengatur siasat dan tipuan. Dia hanya mengincar tubuhku, setelah menikmati tubuhku, dia akan pergi meninggalkan
"Jejaka, kamu tidak mengenal aku, Aku bukan gadis perawan seperti bayanganmu."Jejaka tertawa lirih, agak tersinggung. "Kau jangan mencari-cari alasan. Aku tahu kamu juga menyukaiku, aku melihat itu di matamu Kau tak bisa menipu dirimu sendiri.""Kamu harus percaya! Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya. Aku sudah tidak perawan lagi."Jejaka tertawa geli."Kenapa tertawa? Kamu menertawakan aku?" Larasati cemberut."Tidak, aku tidak menertawakan kamu. Aku geli mendengar alasan itu. Bagiku, semua itu tidak ada artinya. Aku tetap mencintaimu, apakah kamu sudah tidak perawan lagi, semua itu aku tidak peduli. Aku mencintaimu karena keadaanmu sekarang ini dan tak ada hubungannya dengan masa lalumu""Kamu gila!""Ya memang aku gila, sudah kukatakan padamu, aku kasmaran dan mencintaimu, tak ada obatnya kecuali menjadikan kamu kekasihku, aku bersungguh-sungguh."Larasati menatap lelaki itu dengan pandangan penuh arti cinta. "Sini Jejak