"Mau kemana kamu, Ram?" tanya Lilik, ketika mendapati Ramon keluar dan mengunci pintu kamarnya, dengan membawa Ransel yang sepertinya penuh barang. Sejak menerima telfon dari Radit, yang mengabari kalau Hadi sakit parah. Ramon buru-buru pulang, Siap-siap berangkat ke Blora. Bahkan Ardia dia minta pulang sendiri naik taksi. Padahal biasanya gadis itu selalu dia antar jemput. Ini masalah Hadi lebih penting. Ramon menghela nafas, kemudian menatap Lilik lekat-lekat. "Ke Blora, Bulek.""Lho, ke Blora? Mas Hadi sakit, atau gimana?" Tentu itu yang terlintas pertama kali di kepala Lilik, mendengar nama daerah itu disebut. Usia Hadi sudah tua, jadi wajar kalau sakit-sakitan. "Tadi siang anak setan telfon ---" "Radit, Ram. Radit! Dia itu punya nama, jangan kamu panggil seenaknya," sahut Lilik cepat. Meski bukan anaknya, dan tak punya hubungan darah sama sekali. Sampai sekarang Lilik masih jengkel, tiap Ramon memanggil adiknya dengan sebutan anak setan. Apa Ramon lupa? Dalam tubunya dan Radi
"Sorry, Ar. Senin aku belum bisa pulang, kamu ngantor sendiri nggak pa-pa?" Ramon sudah di Blora sejak jumat malam. Dibantu beberapa tetangga Ramon membawa Hadi ke rumah sakit terdekat untuk mendapat tindakan. Namun sayangnya, hingga minggu sore kondisi Hadi masih belum ada perubahan. Hingga rencana Ramon untuk kembali ke Semarang, terpaksa diundur. Padahal Ramon juga menghawatirkan keselamatan Ardia, si iblis belum tertangkap. Sejak sampai Blora, Ramon selalu menelfon Ardia melaporkan apa saja kegiatannya. Sudah macam istrinya saja, padahal tidak ada yang mengharuskan."Iya, Mas. Nggak pa-pa. Kondisi ayahnya Mas Ramon belum stabil, ya?" Ardia tak pernah tahu hubungan Ramon dan Hadi seperti apa. Yang dia tahu, Ayah Ramon yang tinggal di Blora itu sakit parah, dan butuh anak-anaknya. "Iya, Nih. Masih belum sadar." Ada kekhawatiran dalam nada suara Ramon. Pikiran Ramon terpecah antara Ardia dan ayahnya. Kondisi Hadi yang belum ada perubahan, tak memungkinkan untuk ditinggal. Sementa
"Ardia ..., dia ...." Cukup lama Anton menjeda ucapannya, hatinya masih ragu. Pantaskah menyampaikan kabar buruk, sedangkan Ramon sendiri tengah bersedih? Ramon begitu menyayangi Ardi, Anton tahu itu. Bahkan beberapa minggu terakhir ini, mereka sudah seperti amplop dan perangko. Tak terpisahkan. Ramon pasti terpukul mendengar kabar ini, tapi dia harus tahu. "Ardia ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di basement kantor, Ram." Akhirnya Anton berhasil menyampaikan kabar itu, meski dengan berat hati.Lutut Ramon lemas seketika, seperti dicabut semua tulangnya mendengar ucapan Anton sahabatnya. "Dia babak belur, seperti habis dihajar. Tidak hanya hanya itu, bajunya koyak sana-sini, kemungkinan besar dia mengalami pelecehan seksual. Dan belum diketahui siapa pelakunya." Pelan suara Anton saat bercerita, tapi terdengar menggelegar bagai suara petir di telinga Ramon. Baru dua hari dia absen menjaga Ardia, gadis itu sudah mendapat bencana. Ramon jadi merasa berdosa. Padahal kemarin s
Ardia memeluk erat Ramon, seolah tak ingin melepasnya lagi. "Aku takut, Mas," rintih Ardia di pelukan Ramon. Setelah menerima telfon dari Anton, tentang Ardia yang selalu berusaha melukai dirinya sendiri. Ramon memutuskan pulang malam itu juga, semua urusan soal Hadi dia pasrahkan pada Radit, termasuk pindah rawat esok hari. Hati Ramon tak tenang mendengar gadis pujaannya menderita, dia ingin selalu berada di samping gadis itu. Menjaga dan memberi suport agar tidak putus asa. "Sstt .... Nggak pa-pa, jangan takut! Ada aku di sini." Pelan, Ramon mengelus punggung Ardia. "Iblis itu, dia masih di sini.""Sudah nggak ada, dia sudah pergi. Sudah ya, kamu istirahat dulu. Aku temani, oke?" Ardia menurut, dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ramon menarik selimut menutup tubuh Ardia hingga sebatas dada. "Ayo merem! Ini sudah malam," ucap Ramon lembut. Ardia mengangguk pelan, dipejamkannya matanya meski kantuk belum menyerang. Baru beberapa menit terpejam, tiba-tiba Ardia terlonjak kag
Ramon membatu di tempatnya, melihat sosok serupa Ardia berdiri dengan tangan terangkat memegang benda berbentuk suntikan. Keduanya saling tatap tanpa ada kata terucap, hingga beberapa saat. Beberapa saat kemudian dia berhasil menguasai diri. "Anda siapa? Ada urusan apa di sini." Tegas Ramon berkata. Dia menduga wanita ini mamanya Ardia, karena kemiripan keduanya. Tapi kenapa membawa suntikan? Dia bukan perawat atau dokter, kan? Renita yang terkejut menyembunyikan tangan di belakang punggung. "Sa--saya--- Perkenalkan saya Renita, mamanya Ardia." Meski terlihat gugup, wanita cantik itu terlihat cukup bisa menguasai diri. Renita selangkah mudur, menjauh dari ranjang Ardia. Dia mengulurkan tangan, bermaksud menyalami tapi Ramon bergeming. "Anda ini Ramon, ya? Tampan juga, pantas saja Ardia .... Ah, iya Ardia sering mengigau dan menyebut nama Anda, apa kalian ada hubungan spesial?" Wanita yang mengaku sebagai mamanya Ardia itu berusaha bersikap akrab, meski mendapat sikap dingin dari law
Seminggu berlalu, Ramon kembali sibuk bekerja. Tak mungkin dia terus cuti demi menjaga Ardia. Hidup butuh biaya, bukan? Hadi sudah diperbolehkan pulang, kini dia tinggal di apartemen bersama Radit. Setiap hari Ramon selalu mengunjungi laki-laki sepuh itu, menebus dua puluh tahun yang terbuang sia-sia. "Ini ada kiriman dari Bulek Lilik, Yah." Ramon meletakkan rantang di atas meja makan, dan menatanya. Meski sudah sukses dan mapan, Ramon terbiasa menyiapkan makanan, bahkan dia juga mahir masak. Didikan Lilik tentu saja. "Wah, kayaknya enak banget." Radit yang angkat bicara. "Kalau masakan Lilik, nggak usah diragukan lagi, Dit. Dari dulu dia sudah pinter masak. Ibumu dulu sering minta dimasakin sama, Lilik." Hadi kembali teringat kenangannya bersama Marini. "Emang Mama Rini nggak bisa masak ya, Pa?" Radit kini sudah memanggil Almarhumah dengan sebutan "Mama Rini". Meski tak mengenalnya secara langsung, dia selalu mendengar cerita tentang ibu kandung kakaknya itu, dari Hadi. " Bisa,
"Tapi aku nggak mau pacaran, aku maunya kita menikah." Todong Ramon tanpa basa-basi. "Aku ..., aku ...." Mendadak Ardia menjadi gagu. Gadis itu mundur beberapa langkah, hingga terduduk di ranjang. Matanya bergerak kesana kemari, menghindari tatapan sendu dari Ramon. Ramon berlutut di depan Ardia, diraihnya tangan gadis itu, tapi Ardia menolak. "Ijinkan aku menjadi pelindungmu, Ar. Ijinkan aku selalu ada di sisimu, saat kamu butuh." Ardia bergeming. "Aku mencintaimu, Ar. Aku siap menerimamu apa adanya, tak peduli masa lalu, atau pun latar belakang keluargamu. Aku mencintai semua yang ada padamu." Bukan jawaban yang Ramon terima, melainkan reaksi tak terduga dari Ardia. Dia terus meremas ujung bajunya, mendadak Ardia naik ke atas ranjang. Dia terisak dengan tangan yang terus bergerak liar, seperti orang yang menggosok tubuh saat mandi. "Aku kotor, Mas. Aku kotor." Ardia berucap sambil terus menggosok bajunya. "Hei, siapa yang bilang kamu kotor? Di mataku kamu tetap gadis suci, Ar
"Tapi aku cintanya sama Ardia, bukan sama Attaya atau yang lain, Ton." Anton baru saja hendak angkat bicara, namun raungan dari ponsel Ramon membuat dia mengurungkan niatnya. "Ha-lo," jawab Ramon ragu-ragu, mengingat panggilan yang masuk berasal dari nomer asing. "Mas, bisa jemput aku sekarang?" mohon suara itu pelan. Ramon menepuk kening, kenapa dia bisa lupa begini? Hari ini Ardia sudah diperbolehkan pulang, setelah menjalani perawatan di bagian kejiwaan. Emosinya sudah stabil, sudah bisa diajak komunikasi dengan baik. Hingga dokter memutuskan untuk rawat jalan saja. Setelah kejadian pemerkosaan itu, jiwa Ardia mengalami goncangan. Beberapa kali dia melakukan percobaan bunuh diri, berkali-kali berusaha melukai diri sendiri. Hingga membutuhkan penanganan ahlinya. "Iya, aku meluncur ke sana, ya. Kamu sudah beres-beres, kan?" tanya Ramon kemudian. "Sudah, Mas. Sudah siap semua, tinggal berangkat." "Oke, tunggu aku, ya. Aku kesana sekarang!" Tak ingin Ardia menunggu lama, Ramon s
"Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk
"Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena
"Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu
Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be
"Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,
Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se