Lilik dilanda dilema, di satu sisi dia bahagia Ramon sudah bisa membuka hati untuk wanita. Tapi di sisi lain, dia tak ingin Angga kembali terluka. Angga meraih tangan mamanya, menggenggamnya erat dan menepuknya pelan. "Mama nggak usah sedih gitu, aku ihlas kalau misal Mas Ramon menikah dengan Ardia, Ma. Kasihan, dia sudah tua." "Plak!" tangan Lilik mendarat keras di lengan Angga. Wajahnya sendunya langsung berganti mode galak. "Itu mulut bisa direm nggak, sih!" ucap Lilik jengkel, dia melirik sinis anak sulungnya. "Lha, salahnya di mana? Memang Mas Ramon sudah tua, kan, Ma? Sudah mau tiga puluh empat, lho. Teman-temannya aja sudah pada beranak pinak, dia masih aja betah menjomblo. Angga nggak tega, Ma. Lihat saudara sendiri nggak laku, sekarang ada yang mau, ya syukur lah. Angga dukung seratus persen." Mata Lilik mendelik, tapi Angga hanya nyengir lebar menanggapinya. Pemuda itu paling pintar menyembunyikan perasaannya. Meski suka bercanda, dan sedikit gesrek. Nyatanya Angga tak p
"Mau kemana kamu, Ram?" tanya Lilik, ketika mendapati Ramon keluar dan mengunci pintu kamarnya, dengan membawa Ransel yang sepertinya penuh barang. Sejak menerima telfon dari Radit, yang mengabari kalau Hadi sakit parah. Ramon buru-buru pulang, Siap-siap berangkat ke Blora. Bahkan Ardia dia minta pulang sendiri naik taksi. Padahal biasanya gadis itu selalu dia antar jemput. Ini masalah Hadi lebih penting. Ramon menghela nafas, kemudian menatap Lilik lekat-lekat. "Ke Blora, Bulek.""Lho, ke Blora? Mas Hadi sakit, atau gimana?" Tentu itu yang terlintas pertama kali di kepala Lilik, mendengar nama daerah itu disebut. Usia Hadi sudah tua, jadi wajar kalau sakit-sakitan. "Tadi siang anak setan telfon ---" "Radit, Ram. Radit! Dia itu punya nama, jangan kamu panggil seenaknya," sahut Lilik cepat. Meski bukan anaknya, dan tak punya hubungan darah sama sekali. Sampai sekarang Lilik masih jengkel, tiap Ramon memanggil adiknya dengan sebutan anak setan. Apa Ramon lupa? Dalam tubunya dan Radi
"Sorry, Ar. Senin aku belum bisa pulang, kamu ngantor sendiri nggak pa-pa?" Ramon sudah di Blora sejak jumat malam. Dibantu beberapa tetangga Ramon membawa Hadi ke rumah sakit terdekat untuk mendapat tindakan. Namun sayangnya, hingga minggu sore kondisi Hadi masih belum ada perubahan. Hingga rencana Ramon untuk kembali ke Semarang, terpaksa diundur. Padahal Ramon juga menghawatirkan keselamatan Ardia, si iblis belum tertangkap. Sejak sampai Blora, Ramon selalu menelfon Ardia melaporkan apa saja kegiatannya. Sudah macam istrinya saja, padahal tidak ada yang mengharuskan."Iya, Mas. Nggak pa-pa. Kondisi ayahnya Mas Ramon belum stabil, ya?" Ardia tak pernah tahu hubungan Ramon dan Hadi seperti apa. Yang dia tahu, Ayah Ramon yang tinggal di Blora itu sakit parah, dan butuh anak-anaknya. "Iya, Nih. Masih belum sadar." Ada kekhawatiran dalam nada suara Ramon. Pikiran Ramon terpecah antara Ardia dan ayahnya. Kondisi Hadi yang belum ada perubahan, tak memungkinkan untuk ditinggal. Sementa
"Ardia ..., dia ...." Cukup lama Anton menjeda ucapannya, hatinya masih ragu. Pantaskah menyampaikan kabar buruk, sedangkan Ramon sendiri tengah bersedih? Ramon begitu menyayangi Ardi, Anton tahu itu. Bahkan beberapa minggu terakhir ini, mereka sudah seperti amplop dan perangko. Tak terpisahkan. Ramon pasti terpukul mendengar kabar ini, tapi dia harus tahu. "Ardia ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di basement kantor, Ram." Akhirnya Anton berhasil menyampaikan kabar itu, meski dengan berat hati.Lutut Ramon lemas seketika, seperti dicabut semua tulangnya mendengar ucapan Anton sahabatnya. "Dia babak belur, seperti habis dihajar. Tidak hanya hanya itu, bajunya koyak sana-sini, kemungkinan besar dia mengalami pelecehan seksual. Dan belum diketahui siapa pelakunya." Pelan suara Anton saat bercerita, tapi terdengar menggelegar bagai suara petir di telinga Ramon. Baru dua hari dia absen menjaga Ardia, gadis itu sudah mendapat bencana. Ramon jadi merasa berdosa. Padahal kemarin s
Ardia memeluk erat Ramon, seolah tak ingin melepasnya lagi. "Aku takut, Mas," rintih Ardia di pelukan Ramon. Setelah menerima telfon dari Anton, tentang Ardia yang selalu berusaha melukai dirinya sendiri. Ramon memutuskan pulang malam itu juga, semua urusan soal Hadi dia pasrahkan pada Radit, termasuk pindah rawat esok hari. Hati Ramon tak tenang mendengar gadis pujaannya menderita, dia ingin selalu berada di samping gadis itu. Menjaga dan memberi suport agar tidak putus asa. "Sstt .... Nggak pa-pa, jangan takut! Ada aku di sini." Pelan, Ramon mengelus punggung Ardia. "Iblis itu, dia masih di sini.""Sudah nggak ada, dia sudah pergi. Sudah ya, kamu istirahat dulu. Aku temani, oke?" Ardia menurut, dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ramon menarik selimut menutup tubuh Ardia hingga sebatas dada. "Ayo merem! Ini sudah malam," ucap Ramon lembut. Ardia mengangguk pelan, dipejamkannya matanya meski kantuk belum menyerang. Baru beberapa menit terpejam, tiba-tiba Ardia terlonjak kag
Ramon membatu di tempatnya, melihat sosok serupa Ardia berdiri dengan tangan terangkat memegang benda berbentuk suntikan. Keduanya saling tatap tanpa ada kata terucap, hingga beberapa saat. Beberapa saat kemudian dia berhasil menguasai diri. "Anda siapa? Ada urusan apa di sini." Tegas Ramon berkata. Dia menduga wanita ini mamanya Ardia, karena kemiripan keduanya. Tapi kenapa membawa suntikan? Dia bukan perawat atau dokter, kan? Renita yang terkejut menyembunyikan tangan di belakang punggung. "Sa--saya--- Perkenalkan saya Renita, mamanya Ardia." Meski terlihat gugup, wanita cantik itu terlihat cukup bisa menguasai diri. Renita selangkah mudur, menjauh dari ranjang Ardia. Dia mengulurkan tangan, bermaksud menyalami tapi Ramon bergeming. "Anda ini Ramon, ya? Tampan juga, pantas saja Ardia .... Ah, iya Ardia sering mengigau dan menyebut nama Anda, apa kalian ada hubungan spesial?" Wanita yang mengaku sebagai mamanya Ardia itu berusaha bersikap akrab, meski mendapat sikap dingin dari law
Seminggu berlalu, Ramon kembali sibuk bekerja. Tak mungkin dia terus cuti demi menjaga Ardia. Hidup butuh biaya, bukan? Hadi sudah diperbolehkan pulang, kini dia tinggal di apartemen bersama Radit. Setiap hari Ramon selalu mengunjungi laki-laki sepuh itu, menebus dua puluh tahun yang terbuang sia-sia. "Ini ada kiriman dari Bulek Lilik, Yah." Ramon meletakkan rantang di atas meja makan, dan menatanya. Meski sudah sukses dan mapan, Ramon terbiasa menyiapkan makanan, bahkan dia juga mahir masak. Didikan Lilik tentu saja. "Wah, kayaknya enak banget." Radit yang angkat bicara. "Kalau masakan Lilik, nggak usah diragukan lagi, Dit. Dari dulu dia sudah pinter masak. Ibumu dulu sering minta dimasakin sama, Lilik." Hadi kembali teringat kenangannya bersama Marini. "Emang Mama Rini nggak bisa masak ya, Pa?" Radit kini sudah memanggil Almarhumah dengan sebutan "Mama Rini". Meski tak mengenalnya secara langsung, dia selalu mendengar cerita tentang ibu kandung kakaknya itu, dari Hadi. " Bisa,
"Tapi aku nggak mau pacaran, aku maunya kita menikah." Todong Ramon tanpa basa-basi. "Aku ..., aku ...." Mendadak Ardia menjadi gagu. Gadis itu mundur beberapa langkah, hingga terduduk di ranjang. Matanya bergerak kesana kemari, menghindari tatapan sendu dari Ramon. Ramon berlutut di depan Ardia, diraihnya tangan gadis itu, tapi Ardia menolak. "Ijinkan aku menjadi pelindungmu, Ar. Ijinkan aku selalu ada di sisimu, saat kamu butuh." Ardia bergeming. "Aku mencintaimu, Ar. Aku siap menerimamu apa adanya, tak peduli masa lalu, atau pun latar belakang keluargamu. Aku mencintai semua yang ada padamu." Bukan jawaban yang Ramon terima, melainkan reaksi tak terduga dari Ardia. Dia terus meremas ujung bajunya, mendadak Ardia naik ke atas ranjang. Dia terisak dengan tangan yang terus bergerak liar, seperti orang yang menggosok tubuh saat mandi. "Aku kotor, Mas. Aku kotor." Ardia berucap sambil terus menggosok bajunya. "Hei, siapa yang bilang kamu kotor? Di mataku kamu tetap gadis suci, Ar