Ramon membatu di tempatnya, melihat sosok serupa Ardia berdiri dengan tangan terangkat memegang benda berbentuk suntikan. Keduanya saling tatap tanpa ada kata terucap, hingga beberapa saat. Beberapa saat kemudian dia berhasil menguasai diri. "Anda siapa? Ada urusan apa di sini." Tegas Ramon berkata. Dia menduga wanita ini mamanya Ardia, karena kemiripan keduanya. Tapi kenapa membawa suntikan? Dia bukan perawat atau dokter, kan? Renita yang terkejut menyembunyikan tangan di belakang punggung. "Sa--saya--- Perkenalkan saya Renita, mamanya Ardia." Meski terlihat gugup, wanita cantik itu terlihat cukup bisa menguasai diri. Renita selangkah mudur, menjauh dari ranjang Ardia. Dia mengulurkan tangan, bermaksud menyalami tapi Ramon bergeming. "Anda ini Ramon, ya? Tampan juga, pantas saja Ardia .... Ah, iya Ardia sering mengigau dan menyebut nama Anda, apa kalian ada hubungan spesial?" Wanita yang mengaku sebagai mamanya Ardia itu berusaha bersikap akrab, meski mendapat sikap dingin dari law
Seminggu berlalu, Ramon kembali sibuk bekerja. Tak mungkin dia terus cuti demi menjaga Ardia. Hidup butuh biaya, bukan? Hadi sudah diperbolehkan pulang, kini dia tinggal di apartemen bersama Radit. Setiap hari Ramon selalu mengunjungi laki-laki sepuh itu, menebus dua puluh tahun yang terbuang sia-sia. "Ini ada kiriman dari Bulek Lilik, Yah." Ramon meletakkan rantang di atas meja makan, dan menatanya. Meski sudah sukses dan mapan, Ramon terbiasa menyiapkan makanan, bahkan dia juga mahir masak. Didikan Lilik tentu saja. "Wah, kayaknya enak banget." Radit yang angkat bicara. "Kalau masakan Lilik, nggak usah diragukan lagi, Dit. Dari dulu dia sudah pinter masak. Ibumu dulu sering minta dimasakin sama, Lilik." Hadi kembali teringat kenangannya bersama Marini. "Emang Mama Rini nggak bisa masak ya, Pa?" Radit kini sudah memanggil Almarhumah dengan sebutan "Mama Rini". Meski tak mengenalnya secara langsung, dia selalu mendengar cerita tentang ibu kandung kakaknya itu, dari Hadi. " Bisa,
"Tapi aku nggak mau pacaran, aku maunya kita menikah." Todong Ramon tanpa basa-basi. "Aku ..., aku ...." Mendadak Ardia menjadi gagu. Gadis itu mundur beberapa langkah, hingga terduduk di ranjang. Matanya bergerak kesana kemari, menghindari tatapan sendu dari Ramon. Ramon berlutut di depan Ardia, diraihnya tangan gadis itu, tapi Ardia menolak. "Ijinkan aku menjadi pelindungmu, Ar. Ijinkan aku selalu ada di sisimu, saat kamu butuh." Ardia bergeming. "Aku mencintaimu, Ar. Aku siap menerimamu apa adanya, tak peduli masa lalu, atau pun latar belakang keluargamu. Aku mencintai semua yang ada padamu." Bukan jawaban yang Ramon terima, melainkan reaksi tak terduga dari Ardia. Dia terus meremas ujung bajunya, mendadak Ardia naik ke atas ranjang. Dia terisak dengan tangan yang terus bergerak liar, seperti orang yang menggosok tubuh saat mandi. "Aku kotor, Mas. Aku kotor." Ardia berucap sambil terus menggosok bajunya. "Hei, siapa yang bilang kamu kotor? Di mataku kamu tetap gadis suci, Ar
"Tapi aku cintanya sama Ardia, bukan sama Attaya atau yang lain, Ton." Anton baru saja hendak angkat bicara, namun raungan dari ponsel Ramon membuat dia mengurungkan niatnya. "Ha-lo," jawab Ramon ragu-ragu, mengingat panggilan yang masuk berasal dari nomer asing. "Mas, bisa jemput aku sekarang?" mohon suara itu pelan. Ramon menepuk kening, kenapa dia bisa lupa begini? Hari ini Ardia sudah diperbolehkan pulang, setelah menjalani perawatan di bagian kejiwaan. Emosinya sudah stabil, sudah bisa diajak komunikasi dengan baik. Hingga dokter memutuskan untuk rawat jalan saja. Setelah kejadian pemerkosaan itu, jiwa Ardia mengalami goncangan. Beberapa kali dia melakukan percobaan bunuh diri, berkali-kali berusaha melukai diri sendiri. Hingga membutuhkan penanganan ahlinya. "Iya, aku meluncur ke sana, ya. Kamu sudah beres-beres, kan?" tanya Ramon kemudian. "Sudah, Mas. Sudah siap semua, tinggal berangkat." "Oke, tunggu aku, ya. Aku kesana sekarang!" Tak ingin Ardia menunggu lama, Ramon s
Bagaimana kalau kukatakan kalau aku .... " Kalimat Ardia yang menggantung membuat Ramon semakin penasaran. "Kalau apa, Ar? Katakan saja! Apapun itu, aku siap menerima dengan lapang dada," ucap Ramon dengan perasaan harap-harap cemas. " Aku .... " Ardia menghentikan ucapannya, dia mengambil nafas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Mas Ramon, serius ingin menikahi saya?" "Apa aku terlihat main-main, Ar?" ucap Ramon serius. Dia sedang tidak bercanda, kenapa Ardia seolah menganggapnya main-main? "Sudah Mas Ramon pikir baik-baik, sebelum mengambil keputusan itu?" tanya Ardia lagi. "Kamu masih meragukan ketulusanku, Ar? Apa yang harus aku lakukan, agar kamu percaya? Agar hatimu terbuka, Ar?" Ardia menggeleng pelan. Meski dia tahu Ramon sibuk nyetir, tidak sedang menatapnya."Justru karena aku tahu Mas Ramon tulus, aku merasa tak layak untuk menjadi menjadi istrimu, Mas." Bukan sedang merendah, tapi Ardia mengatakan yang sejujurnya. Kesucian adalah kebanggaan seorang wanita, persemb
"Beberapa hari ini Ardia kok nggak pernah kesini kenapa, Ram?" tanya Lilik, sambil mengangkat roti yang sudah matang dari oven. Sejak resmi dilamar oleh Ramon, dan merencanakan pernikahan mereka. Hampir setiap hari gadis itu selalu bertandang ke rumah itu. Bantu-bantu Lilik bikin kue, sekaligus belajar. Ardia punya rencana buka toko kue, setelah menikah nanti. Dia sudah tidak berminat kerja kantoran. Dia ingin mengurus suami dan anaknya, tapi tetap punya penghasilan. Dan kue roti menurutnya adalah pilihan yang tepat. Akhirnya, setelah melalui beberapa pertimbangan mereka memutuskan, pernikahan Ramon dan Ardia dilaksanakan sebulan setelah Ardia pulang dari rumah sakit. Rencananya pernikahan akan digelar sederhana, tak pesta mewah. Hanya akad nikah dan resepsi kecil, mengundang keluarga dan sahabat dekat saja. "Buat apa pesta, Buang-buang duit saja! Lebih baik uangnya buat tambah beli rumah, Mas." ucap Ardia kala itu.""Beneran? Nanti nyesel? Pernikahan impiannya nggak kesampean," se
Dibantu sekuriti kosan, Ramon me cbmbawa Ardia ke rumah sakit terdekat. Dengan tangannya sendiri dia membopong Ardia ke ruang IGD. Sementara Ardia mendapat tindakan, Ramon mendaftar di bagian administrasi. Baru saja dia selesai dengan urusannya, seorang perawat datang memberi tahunya kalau dokter yang memeriksa Ardia ingin bicara. "Terakhir istrinya menstruasi kapan, Pak?" tan3ya Pria bersneli lengan panjang itu, pada Ramon. Melihat usia Ramon yang XDcukup matang, tak salah kalau dokter itu mengira Ramon suami Ardia. Ramon melongo, kenapa dokter ini tiba-tiba menanyakan jads sxwal menstruasi Ardia? Mereka resmi pacaran sebulan terakhir, sejak Ramon menyatakan niatnya ingin menikahi Ardia. Tak banyak yang mereka bahas selama ini, hanya fokus pada rencana pernikahan dan segala printilannya. Jadwal menstruasi Ardia? Sama sekali Ramon tidak tertarik membahasnya. "Maksudnya, Pak?" tanya Ramon bingung, dia belum bisa mengerti arah pembicaraan sang dokter. "Berdasarkan hasil anamnesa d
"Gimana keadaan Ardia, Ram?" tanya Hadi yang baru saja datang, bermaksud menjenguk Ardia. Calon istri Ramon itu terpaksa menjalani perawatan lagi, karena berkali-kali berusaha melukai dirinya sendiri. Ardia berteriak histeris, saat tahu dirinya tengah mengandung anak laki-laki iblis, yang sudah merusak masa depannya. Sudah tiga hari Ardia dirawat, tapi belum ada tanda-tanda kemajuan sama sekali. Padahal pernikahan tinggal dua hari lagi, undangan sudah terlanjur disebar. Persiapan sudah matang, vendor sudah dibayar semua. Haruskah pernikahan dibatalkan? Kerugian materi mungkin tak seberapa, tapi rasa malu yang harus Ramon tanggung jauh lebih besar. Batal nikah karena calon pengantin wanita hamil dengan laki-laki lain, meski bukan karena perselingkuhan tapi pelecehan. Tetap saja akan mencoreng wajahnya dan keluarganya. "Tidur dia, Yah. Habis minum obat, tadi," jawab Ramon lesu. Ramon seperti kehilangan semangat hidup, menghadapi cobaan yang bertubi-tubi datang menghampiri. Bukan dia