"Beberapa hari ini Ardia kok nggak pernah kesini kenapa, Ram?" tanya Lilik, sambil mengangkat roti yang sudah matang dari oven. Sejak resmi dilamar oleh Ramon, dan merencanakan pernikahan mereka. Hampir setiap hari gadis itu selalu bertandang ke rumah itu. Bantu-bantu Lilik bikin kue, sekaligus belajar. Ardia punya rencana buka toko kue, setelah menikah nanti. Dia sudah tidak berminat kerja kantoran. Dia ingin mengurus suami dan anaknya, tapi tetap punya penghasilan. Dan kue roti menurutnya adalah pilihan yang tepat. Akhirnya, setelah melalui beberapa pertimbangan mereka memutuskan, pernikahan Ramon dan Ardia dilaksanakan sebulan setelah Ardia pulang dari rumah sakit. Rencananya pernikahan akan digelar sederhana, tak pesta mewah. Hanya akad nikah dan resepsi kecil, mengundang keluarga dan sahabat dekat saja. "Buat apa pesta, Buang-buang duit saja! Lebih baik uangnya buat tambah beli rumah, Mas." ucap Ardia kala itu.""Beneran? Nanti nyesel? Pernikahan impiannya nggak kesampean," se
Dibantu sekuriti kosan, Ramon me cbmbawa Ardia ke rumah sakit terdekat. Dengan tangannya sendiri dia membopong Ardia ke ruang IGD. Sementara Ardia mendapat tindakan, Ramon mendaftar di bagian administrasi. Baru saja dia selesai dengan urusannya, seorang perawat datang memberi tahunya kalau dokter yang memeriksa Ardia ingin bicara. "Terakhir istrinya menstruasi kapan, Pak?" tan3ya Pria bersneli lengan panjang itu, pada Ramon. Melihat usia Ramon yang XDcukup matang, tak salah kalau dokter itu mengira Ramon suami Ardia. Ramon melongo, kenapa dokter ini tiba-tiba menanyakan jads sxwal menstruasi Ardia? Mereka resmi pacaran sebulan terakhir, sejak Ramon menyatakan niatnya ingin menikahi Ardia. Tak banyak yang mereka bahas selama ini, hanya fokus pada rencana pernikahan dan segala printilannya. Jadwal menstruasi Ardia? Sama sekali Ramon tidak tertarik membahasnya. "Maksudnya, Pak?" tanya Ramon bingung, dia belum bisa mengerti arah pembicaraan sang dokter. "Berdasarkan hasil anamnesa d
"Gimana keadaan Ardia, Ram?" tanya Hadi yang baru saja datang, bermaksud menjenguk Ardia. Calon istri Ramon itu terpaksa menjalani perawatan lagi, karena berkali-kali berusaha melukai dirinya sendiri. Ardia berteriak histeris, saat tahu dirinya tengah mengandung anak laki-laki iblis, yang sudah merusak masa depannya. Sudah tiga hari Ardia dirawat, tapi belum ada tanda-tanda kemajuan sama sekali. Padahal pernikahan tinggal dua hari lagi, undangan sudah terlanjur disebar. Persiapan sudah matang, vendor sudah dibayar semua. Haruskah pernikahan dibatalkan? Kerugian materi mungkin tak seberapa, tapi rasa malu yang harus Ramon tanggung jauh lebih besar. Batal nikah karena calon pengantin wanita hamil dengan laki-laki lain, meski bukan karena perselingkuhan tapi pelecehan. Tetap saja akan mencoreng wajahnya dan keluarganya. "Tidur dia, Yah. Habis minum obat, tadi," jawab Ramon lesu. Ramon seperti kehilangan semangat hidup, menghadapi cobaan yang bertubi-tubi datang menghampiri. Bukan dia
Ramon tak tahu apa yang terjadi, yang jelas setelah dokter datang, brankar Ardia di dorong keluar menuju ruang persalinan. Ramon hanya bisa menunggu di ruang tunggu, sambil harap-harap cemas. Tanpa sebab, tiba-tiba Ardia mengalami pendarahan hebat hingga pingsan. Setahu Ramon, tangan dan kaki Ardia terikat bagaimana dia bisa melukai dirinya sendiri? Lalu kenapa darah bisa keluar begitu banyak? Jangan-jangan kandungan Ardia bermasalah, tekanan mental yang dialami, serta percobaan bunuh diri berkali-kali bisa menjadi penyebabnya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Ardia baik-baik saja. Kalau boleh meminta, dia berharap bayi dan ibunya bisa diselamatkan. Tapi kalau harus memilih, Ramon lebih memilih Ardia kembali sehat seperti sedia kala. "Gimana, Suster?" tanya Ramon, kepada perawat yang tadi berada di ruangan Ardia. Wajah itu terlihat tegang dan ketegangan itu menular pada Ramon. "Maaf, Pak. Terpaksa kami membawa kabar buruk." Mendengar itu jantung Ramon mendadak takikardi,
Seorang perawat tergopoh-gopoh masuk ke ruangan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya perawat ramah. "Saya nggak tahu, Suster. Pasien tiba-tiba tertawa keras, kemudian menangis sesenggukan seperti ini." Perawat itu menatap Ardia yang masih menangis di dalam dekapan Ramon. Pelan perawat itu mendekati Ardia, ditepuknya pelan pundak gadis itu. "Mbak, Mbak Ardia! Ada yang dikeluhkan?" Suara perawat terdengar lembut. Ardia melerai pelukannya, dia mengusap air mata, sebelum menatap sang perawat dalam-dalam. Tak disangka Ardia ganti memeluk perawat itu. Ramon dan suster saling tatap, keduanya bingung, tak mengerti kenapa Ardia jadi begini. "Saya bahagia, Sus. Sangat bahagia. Saya nggak harus mengandung anak iblis itu, lagi"Ramon lega luar biasa. Dia pikir kondisi mental Ardia makin memburuk, setelah tahu dirinya keguguran. Ternyata dia justru bahagia. "Suster tahu, yang paling saya takutkan kalau anak itu lahir dan saya terpaksa membesarkannya. Bayangkan! Sepanjang hidup saya pasti
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings