"Tapi aku nggak mau pacaran, aku maunya kita menikah." Todong Ramon tanpa basa-basi. "Aku ..., aku ...." Mendadak Ardia menjadi gagu. Gadis itu mundur beberapa langkah, hingga terduduk di ranjang. Matanya bergerak kesana kemari, menghindari tatapan sendu dari Ramon. Ramon berlutut di depan Ardia, diraihnya tangan gadis itu, tapi Ardia menolak. "Ijinkan aku menjadi pelindungmu, Ar. Ijinkan aku selalu ada di sisimu, saat kamu butuh." Ardia bergeming. "Aku mencintaimu, Ar. Aku siap menerimamu apa adanya, tak peduli masa lalu, atau pun latar belakang keluargamu. Aku mencintai semua yang ada padamu." Bukan jawaban yang Ramon terima, melainkan reaksi tak terduga dari Ardia. Dia terus meremas ujung bajunya, mendadak Ardia naik ke atas ranjang. Dia terisak dengan tangan yang terus bergerak liar, seperti orang yang menggosok tubuh saat mandi. "Aku kotor, Mas. Aku kotor." Ardia berucap sambil terus menggosok bajunya. "Hei, siapa yang bilang kamu kotor? Di mataku kamu tetap gadis suci, Ar
"Tapi aku cintanya sama Ardia, bukan sama Attaya atau yang lain, Ton." Anton baru saja hendak angkat bicara, namun raungan dari ponsel Ramon membuat dia mengurungkan niatnya. "Ha-lo," jawab Ramon ragu-ragu, mengingat panggilan yang masuk berasal dari nomer asing. "Mas, bisa jemput aku sekarang?" mohon suara itu pelan. Ramon menepuk kening, kenapa dia bisa lupa begini? Hari ini Ardia sudah diperbolehkan pulang, setelah menjalani perawatan di bagian kejiwaan. Emosinya sudah stabil, sudah bisa diajak komunikasi dengan baik. Hingga dokter memutuskan untuk rawat jalan saja. Setelah kejadian pemerkosaan itu, jiwa Ardia mengalami goncangan. Beberapa kali dia melakukan percobaan bunuh diri, berkali-kali berusaha melukai diri sendiri. Hingga membutuhkan penanganan ahlinya. "Iya, aku meluncur ke sana, ya. Kamu sudah beres-beres, kan?" tanya Ramon kemudian. "Sudah, Mas. Sudah siap semua, tinggal berangkat." "Oke, tunggu aku, ya. Aku kesana sekarang!" Tak ingin Ardia menunggu lama, Ramon s
Bagaimana kalau kukatakan kalau aku .... " Kalimat Ardia yang menggantung membuat Ramon semakin penasaran. "Kalau apa, Ar? Katakan saja! Apapun itu, aku siap menerima dengan lapang dada," ucap Ramon dengan perasaan harap-harap cemas. " Aku .... " Ardia menghentikan ucapannya, dia mengambil nafas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Mas Ramon, serius ingin menikahi saya?" "Apa aku terlihat main-main, Ar?" ucap Ramon serius. Dia sedang tidak bercanda, kenapa Ardia seolah menganggapnya main-main? "Sudah Mas Ramon pikir baik-baik, sebelum mengambil keputusan itu?" tanya Ardia lagi. "Kamu masih meragukan ketulusanku, Ar? Apa yang harus aku lakukan, agar kamu percaya? Agar hatimu terbuka, Ar?" Ardia menggeleng pelan. Meski dia tahu Ramon sibuk nyetir, tidak sedang menatapnya."Justru karena aku tahu Mas Ramon tulus, aku merasa tak layak untuk menjadi menjadi istrimu, Mas." Bukan sedang merendah, tapi Ardia mengatakan yang sejujurnya. Kesucian adalah kebanggaan seorang wanita, persemb
"Beberapa hari ini Ardia kok nggak pernah kesini kenapa, Ram?" tanya Lilik, sambil mengangkat roti yang sudah matang dari oven. Sejak resmi dilamar oleh Ramon, dan merencanakan pernikahan mereka. Hampir setiap hari gadis itu selalu bertandang ke rumah itu. Bantu-bantu Lilik bikin kue, sekaligus belajar. Ardia punya rencana buka toko kue, setelah menikah nanti. Dia sudah tidak berminat kerja kantoran. Dia ingin mengurus suami dan anaknya, tapi tetap punya penghasilan. Dan kue roti menurutnya adalah pilihan yang tepat. Akhirnya, setelah melalui beberapa pertimbangan mereka memutuskan, pernikahan Ramon dan Ardia dilaksanakan sebulan setelah Ardia pulang dari rumah sakit. Rencananya pernikahan akan digelar sederhana, tak pesta mewah. Hanya akad nikah dan resepsi kecil, mengundang keluarga dan sahabat dekat saja. "Buat apa pesta, Buang-buang duit saja! Lebih baik uangnya buat tambah beli rumah, Mas." ucap Ardia kala itu.""Beneran? Nanti nyesel? Pernikahan impiannya nggak kesampean," se
Dibantu sekuriti kosan, Ramon me cbmbawa Ardia ke rumah sakit terdekat. Dengan tangannya sendiri dia membopong Ardia ke ruang IGD. Sementara Ardia mendapat tindakan, Ramon mendaftar di bagian administrasi. Baru saja dia selesai dengan urusannya, seorang perawat datang memberi tahunya kalau dokter yang memeriksa Ardia ingin bicara. "Terakhir istrinya menstruasi kapan, Pak?" tan3ya Pria bersneli lengan panjang itu, pada Ramon. Melihat usia Ramon yang XDcukup matang, tak salah kalau dokter itu mengira Ramon suami Ardia. Ramon melongo, kenapa dokter ini tiba-tiba menanyakan jads sxwal menstruasi Ardia? Mereka resmi pacaran sebulan terakhir, sejak Ramon menyatakan niatnya ingin menikahi Ardia. Tak banyak yang mereka bahas selama ini, hanya fokus pada rencana pernikahan dan segala printilannya. Jadwal menstruasi Ardia? Sama sekali Ramon tidak tertarik membahasnya. "Maksudnya, Pak?" tanya Ramon bingung, dia belum bisa mengerti arah pembicaraan sang dokter. "Berdasarkan hasil anamnesa d
"Gimana keadaan Ardia, Ram?" tanya Hadi yang baru saja datang, bermaksud menjenguk Ardia. Calon istri Ramon itu terpaksa menjalani perawatan lagi, karena berkali-kali berusaha melukai dirinya sendiri. Ardia berteriak histeris, saat tahu dirinya tengah mengandung anak laki-laki iblis, yang sudah merusak masa depannya. Sudah tiga hari Ardia dirawat, tapi belum ada tanda-tanda kemajuan sama sekali. Padahal pernikahan tinggal dua hari lagi, undangan sudah terlanjur disebar. Persiapan sudah matang, vendor sudah dibayar semua. Haruskah pernikahan dibatalkan? Kerugian materi mungkin tak seberapa, tapi rasa malu yang harus Ramon tanggung jauh lebih besar. Batal nikah karena calon pengantin wanita hamil dengan laki-laki lain, meski bukan karena perselingkuhan tapi pelecehan. Tetap saja akan mencoreng wajahnya dan keluarganya. "Tidur dia, Yah. Habis minum obat, tadi," jawab Ramon lesu. Ramon seperti kehilangan semangat hidup, menghadapi cobaan yang bertubi-tubi datang menghampiri. Bukan dia
Ramon tak tahu apa yang terjadi, yang jelas setelah dokter datang, brankar Ardia di dorong keluar menuju ruang persalinan. Ramon hanya bisa menunggu di ruang tunggu, sambil harap-harap cemas. Tanpa sebab, tiba-tiba Ardia mengalami pendarahan hebat hingga pingsan. Setahu Ramon, tangan dan kaki Ardia terikat bagaimana dia bisa melukai dirinya sendiri? Lalu kenapa darah bisa keluar begitu banyak? Jangan-jangan kandungan Ardia bermasalah, tekanan mental yang dialami, serta percobaan bunuh diri berkali-kali bisa menjadi penyebabnya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Ardia baik-baik saja. Kalau boleh meminta, dia berharap bayi dan ibunya bisa diselamatkan. Tapi kalau harus memilih, Ramon lebih memilih Ardia kembali sehat seperti sedia kala. "Gimana, Suster?" tanya Ramon, kepada perawat yang tadi berada di ruangan Ardia. Wajah itu terlihat tegang dan ketegangan itu menular pada Ramon. "Maaf, Pak. Terpaksa kami membawa kabar buruk." Mendengar itu jantung Ramon mendadak takikardi,
Seorang perawat tergopoh-gopoh masuk ke ruangan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya perawat ramah. "Saya nggak tahu, Suster. Pasien tiba-tiba tertawa keras, kemudian menangis sesenggukan seperti ini." Perawat itu menatap Ardia yang masih menangis di dalam dekapan Ramon. Pelan perawat itu mendekati Ardia, ditepuknya pelan pundak gadis itu. "Mbak, Mbak Ardia! Ada yang dikeluhkan?" Suara perawat terdengar lembut. Ardia melerai pelukannya, dia mengusap air mata, sebelum menatap sang perawat dalam-dalam. Tak disangka Ardia ganti memeluk perawat itu. Ramon dan suster saling tatap, keduanya bingung, tak mengerti kenapa Ardia jadi begini. "Saya bahagia, Sus. Sangat bahagia. Saya nggak harus mengandung anak iblis itu, lagi"Ramon lega luar biasa. Dia pikir kondisi mental Ardia makin memburuk, setelah tahu dirinya keguguran. Ternyata dia justru bahagia. "Suster tahu, yang paling saya takutkan kalau anak itu lahir dan saya terpaksa membesarkannya. Bayangkan! Sepanjang hidup saya pasti