Jam menunjukkan pukul 9 malam, saat Ramon keluar dari ruangannya. Suasana terlihat sepi, sepertinya dia orang terakhir yang berada di kantor ini. "Tolong ....! Tolong ....!" Saat Ramon sampai di basement, terdengar suara wanita minta tolong. Buru-buru Ramon berlari menuju sumber suara. Di depannya nampak wanita yang sangat dia kenal sedang ditarik-tarik oleh seorang pria. Ardia. "Lepaskan!" bentak Ramon dengan suara menggelegar. Sontak laki-laki menoleh ke arah Ramon, hingga menyebabkan pegangannya mengendur, dan langsung dimanfaatkan oleh Ardia untuk melepaskan diri, lalu sembunyi di belakang punggung Ramon. "Jangan ikut campur, kamu! Ini urusan keluarga!" sentak laki-laki itu tak terima."Pak Ramon, tolong saya, Pak! Saya nggak mau ikut orang ini," melas Ardia, tangannya memegang erat baju Ramon bagian belakang. "Pergi, atau aku panggil security!" ancam Ramon, tapi sepertinya laki-laki itu tak takut sama sekali. "Silahkan! Silahkan panggil security, atau polisi sekalian. Saya
"Oke, oke, saya mengerti. Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu, Ar?" Ardia mengangkat kepala, menengadah menatap Ramon lekat-lekat. Laki-laki itu menawarkan bantuan? Bantuan yang seperti apa?"Mas, mau bantu saya?" Ramon mengangguk mantap. "Bantu apa?" Ramon tergagap. "Mm .... Apa yang bisa aku lakukan? Maksudku kalau kamu ada masalah, jangan sungkan-sungkan minta bantuan padaku" ucap Ramon akhirnya.Ardia mengangguk, lalu membuang pandangan ke tempat lain. Suasana jadi serba canggung, apalagi tangan Ramon masih bertengger di pundaknya. Entah mengapa, dia merasa nyaman dipeluk Ramon begini. Ardia menatap pundaknya, kemudian beralih menatap Ramon. Membuat laki-laki itu segera menarik tangannya. "Maaf," ucapnya canggung. Hening, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. "Kita pulang sekarang," ucap Ramon tegas. Dia kembali pada mode songongnya. "Ah, iya. Kita pulang sekarang, Pak. Eh, Mas." Kalau tadi Ardia merasa nyaman, dan tak canggung menceritakan permasalahannya
"Tega, kamu! Dia itu papa tirimu, kenapa kamu rayu!" Renita yang dibutakan cintanya pada Roy, justru menuduh Ardia yang menggoda Roy. Dia tidak melihat wajah lebam Ardia, dan luka di beberapa tubuh Ardia. Tiba-tiba Roy bangkit dari posisinya. "Hai Nenek peyot! Kamu sudah pulang," ucap Roy, sambil cengengesan khas orang mabuk. "Diam kamu, Roy!" bentak Renita emosi. "He ..., he ..., jangan marah, Sayang. Nanti keriputmu tambah banyak." Roy memeluk tubuh Renita dan menciumi wajahnya. "Dasar laki-laki sinting! Mabuk aja kerjamu! Apa kamu lakukan di sini, heh!" Aroma alkohol yang menguar dari mulut Roy, membuat Renita sadar, kemungkinan bukan Ardia yang menggoda Roy. Melainkan Roy yang memaksa Ardia. Apalagi dia bisa melihat dengan jelas beberapa bekas cakaran di tubuh putri semata wayangnya. "Plak!" Tamparan Renita melayang di pipi Roy. "Dasar laki-laki tidak tahu terimakasih! Aku capek-capek kerja memberimu makan, tapi kamu malah menggagahi anakku!" "Kamu berani menamparku Nenek P
Ardia menyeka air matanya, lalu kembali duduk dengan posisi normal. "Tapi, Mas. Gerbang kosan ditutup jam sebelas malam.""Hah? Terus kamu tidur dimana malam ini?" Ardia menggeleng lemah. "Kita ke hotel saja, kalau begitu." Giliran Ardia yang terperangah. Ke hotel berdua dengan Ramon? Mau ngapain? "Ho--ho--tel?" Ardia tergagap. Mendengar kata hotel, otak Ardia memberi respon negatif. "Iya, hotel? Katamu kosan Alya sudah ditutup, kita juga nggak mungkin ke rumah temanmu yang lain tengah malam begini, kan?" Ardia menggeleng. "Antar aku kosan Alya," tegas Ardia. Ramon menghela nafas, sepertinya Ardia belum percaya sepenuhnya padanya. Wajar, mereka tidak dekat sebelumnya, ditambah lagi Ardia pernah mengalami hal terburuk dalam hidupnya. Korban pelecehan biasanya mengalami trauma terhadap lawan jenis. Tapi ide untuk membawa Ardia ke hotel, hanya agar gadis itu bisa istirahat, tanpa mengganggu atau merepotkan orang lain. Tidak ada maksud terselubung, apalagi memanfaatkan Ardia yang sed
"Kamu harus menjelaskan apa yang sudah kalian lakukan, hingga cewek itu nggak sadarkan diri," tuntut Lilik. Setelah Ramon selesai memindah Ardia dari mobil ke kamar Sesil. "Ardia bukan pingsan, Bulek. Tapi tidur karena kecapekan," jelas Ramon, sambil terus melangkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang, berniat membersihkan diri. "Kecapekan? Emang kalian ngapain aja?" Ramon mendesah lelah. " Ceritanya besok aja ya, Bulek? Aku bener-bener capek," keluh Ramon. Dilihat dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau Ramon memang lelah, dia kusut banget. "Ck, banyak alasan kamu, Ram. Oke. Bulek tunggu besok. Awas saja kalau kamu masih terus mengelak," ancam Lilik kemudian berlalu. Dia juga lelah sebenarnya, tapi rasa penasaran yang menguasai hatinya, membuat Lilik mengabaikan rasa lelahnya. * * * * * * * * *"Mas! Ramon! Bangun, Mas!" Suara cempreng Sesil berhasil mengganggu tidur nyenyaknya Ramon. Ramon mengeliat. "Aku ngantuk banget, Sil." Ramon berkata tanpa membuka mata.
Acara sarapan pagi itu jadi terasa hambar bagi Angga, begitu juga Ardia. Meski yang lain nampak begitu menikmati. "Kamu ijin dulu saja, Ar," ucap Ramon usai menghabiskan nasi goreng buatan Bulek Lilik. Ardia meneguk air putih yang ada di hadapannya hingga tandas. "Saya masuk aja, Mas. Seminggu kemarin aku sudah ijin, masa iya ijin lagi?" "Ya nggak pa-pa, kalau memang keadaannya mengharuskan." Ramon berkata, sambil mengelap ujung bibirnya dengan tisu. "Nggak ah, Mas. Saya masuk aja. Nggak enak sama yang lain, masih baru sudah sering bolos." "Beneran nggak pa-pa? Sudah siap masuk kerja emang?" Jelas Ramon mengkhawatirkan Ardia, mengingat bagaimana keadaan gadis itu semalam. Sekarang tiba-tiba sudah harus masuk kerja. Ramon takut Ardia kenapa-napa. "Siap Mas, jangan khawatir. Tapi antar saya ke kosan dulu ya, Mas. Ganti baju." Ramon mengangguk pelan. Angga yang sedang menikmati sarapannya itu menoleh ke arah Ardia. "Rumah kamu kan dekat dari kantor, Kenapa ngekos?" Angga yang tak
Lilik dilanda dilema, di satu sisi dia bahagia Ramon sudah bisa membuka hati untuk wanita. Tapi di sisi lain, dia tak ingin Angga kembali terluka. Angga meraih tangan mamanya, menggenggamnya erat dan menepuknya pelan. "Mama nggak usah sedih gitu, aku ihlas kalau misal Mas Ramon menikah dengan Ardia, Ma. Kasihan, dia sudah tua." "Plak!" tangan Lilik mendarat keras di lengan Angga. Wajahnya sendunya langsung berganti mode galak. "Itu mulut bisa direm nggak, sih!" ucap Lilik jengkel, dia melirik sinis anak sulungnya. "Lha, salahnya di mana? Memang Mas Ramon sudah tua, kan, Ma? Sudah mau tiga puluh empat, lho. Teman-temannya aja sudah pada beranak pinak, dia masih aja betah menjomblo. Angga nggak tega, Ma. Lihat saudara sendiri nggak laku, sekarang ada yang mau, ya syukur lah. Angga dukung seratus persen." Mata Lilik mendelik, tapi Angga hanya nyengir lebar menanggapinya. Pemuda itu paling pintar menyembunyikan perasaannya. Meski suka bercanda, dan sedikit gesrek. Nyatanya Angga tak p
"Mau kemana kamu, Ram?" tanya Lilik, ketika mendapati Ramon keluar dan mengunci pintu kamarnya, dengan membawa Ransel yang sepertinya penuh barang. Sejak menerima telfon dari Radit, yang mengabari kalau Hadi sakit parah. Ramon buru-buru pulang, Siap-siap berangkat ke Blora. Bahkan Ardia dia minta pulang sendiri naik taksi. Padahal biasanya gadis itu selalu dia antar jemput. Ini masalah Hadi lebih penting. Ramon menghela nafas, kemudian menatap Lilik lekat-lekat. "Ke Blora, Bulek.""Lho, ke Blora? Mas Hadi sakit, atau gimana?" Tentu itu yang terlintas pertama kali di kepala Lilik, mendengar nama daerah itu disebut. Usia Hadi sudah tua, jadi wajar kalau sakit-sakitan. "Tadi siang anak setan telfon ---" "Radit, Ram. Radit! Dia itu punya nama, jangan kamu panggil seenaknya," sahut Lilik cepat. Meski bukan anaknya, dan tak punya hubungan darah sama sekali. Sampai sekarang Lilik masih jengkel, tiap Ramon memanggil adiknya dengan sebutan anak setan. Apa Ramon lupa? Dalam tubunya dan Radi