Ardia menyeka air matanya, lalu kembali duduk dengan posisi normal. "Tapi, Mas. Gerbang kosan ditutup jam sebelas malam.""Hah? Terus kamu tidur dimana malam ini?" Ardia menggeleng lemah. "Kita ke hotel saja, kalau begitu." Giliran Ardia yang terperangah. Ke hotel berdua dengan Ramon? Mau ngapain? "Ho--ho--tel?" Ardia tergagap. Mendengar kata hotel, otak Ardia memberi respon negatif. "Iya, hotel? Katamu kosan Alya sudah ditutup, kita juga nggak mungkin ke rumah temanmu yang lain tengah malam begini, kan?" Ardia menggeleng. "Antar aku kosan Alya," tegas Ardia. Ramon menghela nafas, sepertinya Ardia belum percaya sepenuhnya padanya. Wajar, mereka tidak dekat sebelumnya, ditambah lagi Ardia pernah mengalami hal terburuk dalam hidupnya. Korban pelecehan biasanya mengalami trauma terhadap lawan jenis. Tapi ide untuk membawa Ardia ke hotel, hanya agar gadis itu bisa istirahat, tanpa mengganggu atau merepotkan orang lain. Tidak ada maksud terselubung, apalagi memanfaatkan Ardia yang sed
"Kamu harus menjelaskan apa yang sudah kalian lakukan, hingga cewek itu nggak sadarkan diri," tuntut Lilik. Setelah Ramon selesai memindah Ardia dari mobil ke kamar Sesil. "Ardia bukan pingsan, Bulek. Tapi tidur karena kecapekan," jelas Ramon, sambil terus melangkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang, berniat membersihkan diri. "Kecapekan? Emang kalian ngapain aja?" Ramon mendesah lelah. " Ceritanya besok aja ya, Bulek? Aku bener-bener capek," keluh Ramon. Dilihat dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau Ramon memang lelah, dia kusut banget. "Ck, banyak alasan kamu, Ram. Oke. Bulek tunggu besok. Awas saja kalau kamu masih terus mengelak," ancam Lilik kemudian berlalu. Dia juga lelah sebenarnya, tapi rasa penasaran yang menguasai hatinya, membuat Lilik mengabaikan rasa lelahnya. * * * * * * * * *"Mas! Ramon! Bangun, Mas!" Suara cempreng Sesil berhasil mengganggu tidur nyenyaknya Ramon. Ramon mengeliat. "Aku ngantuk banget, Sil." Ramon berkata tanpa membuka mata.
Acara sarapan pagi itu jadi terasa hambar bagi Angga, begitu juga Ardia. Meski yang lain nampak begitu menikmati. "Kamu ijin dulu saja, Ar," ucap Ramon usai menghabiskan nasi goreng buatan Bulek Lilik. Ardia meneguk air putih yang ada di hadapannya hingga tandas. "Saya masuk aja, Mas. Seminggu kemarin aku sudah ijin, masa iya ijin lagi?" "Ya nggak pa-pa, kalau memang keadaannya mengharuskan." Ramon berkata, sambil mengelap ujung bibirnya dengan tisu. "Nggak ah, Mas. Saya masuk aja. Nggak enak sama yang lain, masih baru sudah sering bolos." "Beneran nggak pa-pa? Sudah siap masuk kerja emang?" Jelas Ramon mengkhawatirkan Ardia, mengingat bagaimana keadaan gadis itu semalam. Sekarang tiba-tiba sudah harus masuk kerja. Ramon takut Ardia kenapa-napa. "Siap Mas, jangan khawatir. Tapi antar saya ke kosan dulu ya, Mas. Ganti baju." Ramon mengangguk pelan. Angga yang sedang menikmati sarapannya itu menoleh ke arah Ardia. "Rumah kamu kan dekat dari kantor, Kenapa ngekos?" Angga yang tak
Lilik dilanda dilema, di satu sisi dia bahagia Ramon sudah bisa membuka hati untuk wanita. Tapi di sisi lain, dia tak ingin Angga kembali terluka. Angga meraih tangan mamanya, menggenggamnya erat dan menepuknya pelan. "Mama nggak usah sedih gitu, aku ihlas kalau misal Mas Ramon menikah dengan Ardia, Ma. Kasihan, dia sudah tua." "Plak!" tangan Lilik mendarat keras di lengan Angga. Wajahnya sendunya langsung berganti mode galak. "Itu mulut bisa direm nggak, sih!" ucap Lilik jengkel, dia melirik sinis anak sulungnya. "Lha, salahnya di mana? Memang Mas Ramon sudah tua, kan, Ma? Sudah mau tiga puluh empat, lho. Teman-temannya aja sudah pada beranak pinak, dia masih aja betah menjomblo. Angga nggak tega, Ma. Lihat saudara sendiri nggak laku, sekarang ada yang mau, ya syukur lah. Angga dukung seratus persen." Mata Lilik mendelik, tapi Angga hanya nyengir lebar menanggapinya. Pemuda itu paling pintar menyembunyikan perasaannya. Meski suka bercanda, dan sedikit gesrek. Nyatanya Angga tak p
"Mau kemana kamu, Ram?" tanya Lilik, ketika mendapati Ramon keluar dan mengunci pintu kamarnya, dengan membawa Ransel yang sepertinya penuh barang. Sejak menerima telfon dari Radit, yang mengabari kalau Hadi sakit parah. Ramon buru-buru pulang, Siap-siap berangkat ke Blora. Bahkan Ardia dia minta pulang sendiri naik taksi. Padahal biasanya gadis itu selalu dia antar jemput. Ini masalah Hadi lebih penting. Ramon menghela nafas, kemudian menatap Lilik lekat-lekat. "Ke Blora, Bulek.""Lho, ke Blora? Mas Hadi sakit, atau gimana?" Tentu itu yang terlintas pertama kali di kepala Lilik, mendengar nama daerah itu disebut. Usia Hadi sudah tua, jadi wajar kalau sakit-sakitan. "Tadi siang anak setan telfon ---" "Radit, Ram. Radit! Dia itu punya nama, jangan kamu panggil seenaknya," sahut Lilik cepat. Meski bukan anaknya, dan tak punya hubungan darah sama sekali. Sampai sekarang Lilik masih jengkel, tiap Ramon memanggil adiknya dengan sebutan anak setan. Apa Ramon lupa? Dalam tubunya dan Radi
"Sorry, Ar. Senin aku belum bisa pulang, kamu ngantor sendiri nggak pa-pa?" Ramon sudah di Blora sejak jumat malam. Dibantu beberapa tetangga Ramon membawa Hadi ke rumah sakit terdekat untuk mendapat tindakan. Namun sayangnya, hingga minggu sore kondisi Hadi masih belum ada perubahan. Hingga rencana Ramon untuk kembali ke Semarang, terpaksa diundur. Padahal Ramon juga menghawatirkan keselamatan Ardia, si iblis belum tertangkap. Sejak sampai Blora, Ramon selalu menelfon Ardia melaporkan apa saja kegiatannya. Sudah macam istrinya saja, padahal tidak ada yang mengharuskan."Iya, Mas. Nggak pa-pa. Kondisi ayahnya Mas Ramon belum stabil, ya?" Ardia tak pernah tahu hubungan Ramon dan Hadi seperti apa. Yang dia tahu, Ayah Ramon yang tinggal di Blora itu sakit parah, dan butuh anak-anaknya. "Iya, Nih. Masih belum sadar." Ada kekhawatiran dalam nada suara Ramon. Pikiran Ramon terpecah antara Ardia dan ayahnya. Kondisi Hadi yang belum ada perubahan, tak memungkinkan untuk ditinggal. Sementa
"Ardia ..., dia ...." Cukup lama Anton menjeda ucapannya, hatinya masih ragu. Pantaskah menyampaikan kabar buruk, sedangkan Ramon sendiri tengah bersedih? Ramon begitu menyayangi Ardi, Anton tahu itu. Bahkan beberapa minggu terakhir ini, mereka sudah seperti amplop dan perangko. Tak terpisahkan. Ramon pasti terpukul mendengar kabar ini, tapi dia harus tahu. "Ardia ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di basement kantor, Ram." Akhirnya Anton berhasil menyampaikan kabar itu, meski dengan berat hati.Lutut Ramon lemas seketika, seperti dicabut semua tulangnya mendengar ucapan Anton sahabatnya. "Dia babak belur, seperti habis dihajar. Tidak hanya hanya itu, bajunya koyak sana-sini, kemungkinan besar dia mengalami pelecehan seksual. Dan belum diketahui siapa pelakunya." Pelan suara Anton saat bercerita, tapi terdengar menggelegar bagai suara petir di telinga Ramon. Baru dua hari dia absen menjaga Ardia, gadis itu sudah mendapat bencana. Ramon jadi merasa berdosa. Padahal kemarin s
Ardia memeluk erat Ramon, seolah tak ingin melepasnya lagi. "Aku takut, Mas," rintih Ardia di pelukan Ramon. Setelah menerima telfon dari Anton, tentang Ardia yang selalu berusaha melukai dirinya sendiri. Ramon memutuskan pulang malam itu juga, semua urusan soal Hadi dia pasrahkan pada Radit, termasuk pindah rawat esok hari. Hati Ramon tak tenang mendengar gadis pujaannya menderita, dia ingin selalu berada di samping gadis itu. Menjaga dan memberi suport agar tidak putus asa. "Sstt .... Nggak pa-pa, jangan takut! Ada aku di sini." Pelan, Ramon mengelus punggung Ardia. "Iblis itu, dia masih di sini.""Sudah nggak ada, dia sudah pergi. Sudah ya, kamu istirahat dulu. Aku temani, oke?" Ardia menurut, dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ramon menarik selimut menutup tubuh Ardia hingga sebatas dada. "Ayo merem! Ini sudah malam," ucap Ramon lembut. Ardia mengangguk pelan, dipejamkannya matanya meski kantuk belum menyerang. Baru beberapa menit terpejam, tiba-tiba Ardia terlonjak kag
"Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk
"Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena
"Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu
Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be
"Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,
Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte
Ramon duduk gelisah, matanya terus menatap ruangan yang sejak beberapa jam lalu tertutup rapat. Di ruangan yang konon suhunya bisa membuat orang menggigil itu, Ardia tengah terbaring. Menjadi obyek bedah para dokter di sana. Ardia mengalami antepartum, yang disebabkan oleh solusio plasenta. Dan entah apalagi penjelasan dokter, Ramon tidak paham. Dia bukan orang medis, mana tahu dia dengan segala istilah yang mereka gunakan. Kalau bicara soal Gross Profit Margin atau Net Profit Margin, Ramon jagonya. Karena kondisi ini membahayakan ibu dan janin, Ardia terpaksa menjalani operasi seksio sesarea. Tak ada jalan lagi, untuk menyelamatkan Ardia dan bayinya. Ramon hanya bisa berdoa dalam hati, semoga anak istrinya bisa diselamatkan. Bukannya Ramon tak ingin menemani, tapi dia ngeri kalau harus melihat tubuh istrinya di sayat dan berdarah-darah. Ya, meskipun terlihat gagah, nyatanya Ramon takut darah, dan takut melihat orang terluka. Tadi saja, Ramon berusaha tetap kuat, agar tidak pings
Tubuh Ardia gemetar hebat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ponsel Ardia lepas dari genggaman, hingga jatuh ke lantai. Untung lantainya beralaskan karpet, kalau tidak, sudah bisa dipastikan ponsel itu hancur berkeping-keping. Menyadari itu, Ramon segera mendekati istrinya. Diraihnya tubuh Ardia ke dalam dekapan. "Sayang, ada apa? Siapa yang nelfon?" tanya Ramon pelan. Tangannya mengusap lembut punggung Ardia. Bukannya menjawab, Ardia justru menangis hebat. Ramon tersenyum getir, melihat Ardia bercucuran air mata, tanpa menjelaskan apa sebabnya. Setahun ini hidup mereka baik-baik saja, Ardia bahkan sudah lepas dari obat-obatan anti depresan yang selama ini dia konsumsi sebagai salah satu terapi pemulihan mentalnya. Tiba-tiba Ardia mendapat telfon, dan reaksi Ardia seperti ini. Persis seperti ketika Ardia usai mendapat pelecehan dulu. Siapa yang menelfon? Tubuh Ardia melorot ke lantai, kini wanita berperut buncit itu duduk sambil memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seolah tanpa j
Setahun kemudian. "Kamu jadi ke Magelang?" tanya Ramon, ketika melihat Ardia nampak memasukkan beberapa bajunya ke dalam koper. "Jadi, Mas. Kan, sudah janji sama Papa." Ardia menutup rapat kopernya, kini dia duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lekat-lekat suaminya yang sedang bermuram durja tersebut. "Kok, Mas kayak nggak ikhlas gitu aku pergi ke Magelang, sih?"Ramon mendekat, kemudian duduk di samping Ardia. "Gimana mau ihlas, ini pertama kalinya sejak kita menikah, kamu ninggalin aku. Aku kesepian, tahu!" Bibir Ramon mengerucut, laki-laki dewasa seperti Ramon terlihat lucu kalau sedang merajuk begitu.Ardia terkekeh, di peluknya lengan suaminya dengan begitu manja. "Apa perlu aku titipin kamu ke Bulek Lilik, aja? Biar nggak kesepian, biar kamu nggak macem-macem selama kutinggal sendiri." Bibir Ramon makin mengerucut mendengar gurauan istrinya. "Ck, kamu pikir aku bocah Tk? Dah lah, perginya ditunda nunggu week end aja! Biar aku bisa ngantar kamu, nanti kita nginep di hotel se