Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.
Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.
Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel.
Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu akunnya ditangguhkan.
Menulis merupakan satu-satunya sumber penghasilan Saski. Memang tidak besar, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan membayar pay later bulanan.
'Mati aku! Kok kena suspend sih? sampe kapan coba?' batin Saski sedih.
Mencoba untuk tidak berputus asa Saski mencoba menghubungi pihak penerbit melalui email dengan harapan mendapat pencerahan akan berapa lama waktu yang diperlukan sampai akunnya kembali pulih.
Saski tahu bahwa emailnya tidak mungkin langsung mendapat respon, namun dia tetap menatap layar laptopnya penuh harap.
5 menit berlalu dan Saski masih penuh harap.
10 menit berlalu dan Saski mulai bosan.
15 menit berlalu dan Saski mulai bermain game di laptopnya.
Hingga...
"Kak, jangan main laptop terus, makan dulu!" Ibunya memanggil dari arah ruang makan.
"Huh?" Jawab Saski bingung, memangnya sudah jam berapa?
Jam 2 siang, atau begitulah yang tertera di jam dinding.
Jadi sudah 4 jam lebih sejak Saski mengirim email ke penerbit. Apa sudah ada balasan?
Saski ingin memeriksa kembali inbox emailnya, namun menahan diri karena takut kecewa.
'Ah, mungkin nanti saja. Lebih baik aku makan dulu.' pikirnya menunda-nunda.
Meski begitu tetap saja Saski terus memikirkan apa sudah ada atau tidaknya balasan email.
Dia mempercepat makannya dan segera kembali ke kamar. Kembali ke Laptop.
Dengan penuh harap, Saski membuka email. dan mulai memeriksa inbox. Tentu saja dia mengabaikan email tagihan paylaternya. Tolong ya masalah kalau datang satu-satu jangan sekaligus.
Setelah membaca sebagian judul email yang diterima hari ini, Saski akhirnya menemukannya. Balasan email dari tim Penerbit.
Dengan perlahan dia buka dan dia baca.
Ada banyak yang disampaikan dalam email tersebut namun inti yang Saski dapat bahwa Akunnya memang akan ditangguhkan selama 29 hari.
Ya, bisa dibilang Saski tidak akan bisa menulis sampai sebulan kedepan.
"Hahahaha, mampus."
Saski menertawai nasibnya sendiri. Seperti jatuh tertimpa tangga, sudah harus membayar denda pelanggaran kontrak, lalu tagihan pay later sudah muncul, eh sumber penghasilan malah ikut menghilang!
Ditengah keterpurukannya Saski hanya bisa menangis dalam diam. Di dalam kamarnya yang kecil, Saski memikirkan kembali hidupnya yang makin terasa sia-sia.
Saski selalu meyakinkan dirinya bahwa dia menjalani hidup yang baik, meski tidak memiliki banyak uang Saski berhasil menjadikan hobinya sebagai profesi. Hal tidak didapat oleh banyak orang. Hidupnya bahagia, pekerjaannya menyenangkan. Saski tidak merasa berkekurangan.
Namun apa yang terjadi belakangan ini membuat Saski berpikir ulang. Pada akhirnya semua permasalahan berujung dengan uang. Semua hal yang ada di dunia ini butuh uang. Dan Saski tidak punya cukup uang untuk menjalani hidupnya.
Saski termenung dan mulai berpikir apa dia perlu merubah jalan hidupnya? Namun pikiran itu terasa menyakitkan, seperti menghianati jati diri sendiri.
Saski terus berpikir menimbang-ninmbang keputusan apa yang harus diambil. Sampai matanya menatap sebuah Jaket yang tergantung di pintu kamar.
Seperti teringat akan sebuah sesuatu Saski bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil jaketnya. Tangannya merogoh saku jaket dan mulai mencari sesuatu.
Ada!
Secarik kertas kecil berwarna putih berhasil dikeluarkan dari saku jaket.
Saski melihat kertas itu seperti dia baru melihatnya untuk pertama kali.
"Alvin Putra Samudra, Direktur."
Saski membaca pelan apa yang tertera di kartu nama tersebut. Kartu nama yang dia baru ingat diberikan langsung oleh orang yang bersangkutan.
"Sepertinya memang tidak ada cara lain, semoga dia masih mau bekerja sama denganku."
Dengan keputusan bulat, Saski mulai menekan nomor hp yang tertera pada kartu itu.
Nada sambung pun mulai terdengar, dan kepanikan kembali muncul. Apa Alvin akan menerima panggilan telepon ini? Apa tawaran kerja samanya masih berlaku?
"Halo, Alvin?" Ucap Saski segera begitu ada suara sambungan terhubung.
"Halo?" Jawab suara dari seberang telpon. Alvin. Rupanya nomor yang tertera di kartu itu memang benar nomornya.
"Halo, ini Saski. Yang di cafe kemarin." Jawab Saski kikuk. Rasanya malu sekali menghubungi Alvin seperti ini. Padahal Saski duluan yang memutuskan untuk tidak menerima bantuan Alvin.
"Saski?" Entah mengapa suara Alvin seperti tidak yakin.
"Iya, ini Saski. Yang di cafe kemarin." Beo Saski lagi. Seolah dengan mengatakan itu akan memperjelas semuanya.
"Oh...."
Kok malah oh? Saski makin panik dengan reaksi Alvin. Apa Alvin sudah lupa? Atau dia sudah tidak mau bekerja sama dengan Saski?
"OOOOHHH! Hai, Saski!" Secara tiba-tiba nada suara Alvin berubah menjadi antusias.
"Aku pikir kamu tidak akan pernah menelponku! Ada apa?"
Belum bisa merasa tenang, Saski kembali memfokuskan diri dalam merangkai kata. Bagaimana caranya mengulik kembali tawaran perjanjian itu tanpa harus terlihat seperti memohon putus asa?
"Iya, kupikir juga begitu. Tapi ternyata tidak bisa." Jawab Saski mencoba santai.
"Hahaha." Jawab Alvin tertawa kecil. Sial, sepertinya Alvin sudah paham apa yang mau kukatakan.
"Kalau boleh tau apa tawaran bekerja sama itu masih valid?"
Ya langsung ke pokok permasalahan! Karena sepertinya Alvin sudah tahu tujuan Saski menelpon sepertinya tidak baik juga untuk mengulur-ulur pembahasan ini.
Namun Alvin justru terdiam. Tanpa suara.
Kesunyian ini membuat Saski kembali gugup. Apa Alvin akan menolaknya?
"Alvin?"
Apa dia masih terhubung dalam panggilan? Kok tidak ada suara? Saski makin bingung dan gugup mengecek ponselnya untuk melihat apa panggilan telepon itu masih tersambung.
Masih kok.
Segera dia tempelkan kembali ponsel itu ke telinganya.
"Halo?" uji Saski sekali lagi.
"Ah iya halo."
Fiuh akhirnya Alvin menjawab.
"Jadi bagaimana?" tanya Saski mulai tidak sabar.
"Jadi bagaimana apa?" tanya Alvin balik.
"Kerja sama nya!" Saski mulai tidak sabar.
"Oh, Jadi kamu berminat dengan kerja sama yang kemarin kuajukan?"
Mendengar ini sebagian hati Saski kembali ragu.
"Kalau boleh... aku mau tau lebih dahulu kerja sama apa yang kamu maksud kemarin." Jawab Saski pelan.
"Waah, asik! Jadi setuju ya? Aku anggap kamu setuju bekerja sama denganku ya! Deal!"
Mata Saski terbelalak mendengar jawaban balik Alvin. Kok langsung deal?
"Tunggu! Aku belum bilang iya!"
"Sip, sip. Gimana kalau besok kita ketemu? Pagi bisa? Eh tunggu besok pagi ada meeting. Gimana kalau siang? Sekalian makan siang." Namun sepertinya Alvin menolak mendengar Saski.
"Tapi aku belum bilang-"
"Oke, jadi besok siang ya! Nanti aku kontak kamu untuk lokasinya. Nomorku jangan lupa di save juga. Bye Saskiiii!"
Tut-tut-tut.
Panggilan terputus. Dan Saski masih belum mencerna apa yang barusan terjadi.
"Tapi aku belum bilang iyaaaa!!"
Sepertinya lagi-lagi Saski tidak memiliki pilihan.
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura