Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan.
Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.
Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.
Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.
Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku.
"Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dalam jumlah besar begitu." Rupanya pramusaji yang tadi menguping.
Belum sempat kujawab suara lainnya menyeletuk.
"Iya kak bahaya, mana jam segini bank sudah tutup jadi tidak bisa langsung setor." Sang barista dari balik bilik kasir punikut menambahkan. Aku pun hanya bisa melongo.
Sebenarnya perjalanan dari rumahku ke kedai ini hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit berjalan kaki, tapi sepertinya perkataan mereka ada benarnya.
Belum pernah sekalipun dalam hiduku membawa uang tunai lebih dari 10 juta. Bagaimana k kalau ini hanya jebakan dan nantinya Ibu-ibu tadi akan datang kembali dengan polisi dan menuntut Saskia atas tuduhan pencurian?
Beruntungnya perjalan pulang hari itu berjalan lancar dan aku bisa sampai rumah dalam keadaan selamat. Uang itu disetorkan ke bank pada keesokan harinya dan terus berada dalam rekeninngku sampai hari ini dalam keadaan utuh.
Hari ini tepat dua minggu sejak kejadian di kedai itu, Akhirnya aku memberanikan untuk pertama kalinya keluar rumah.
Bella, sahabatku sejak SMA baru kembali dari luar kota. Dia memang bekerja di luar kota sebagai perawat. Semenjak berpisah saat kelulusan SMA kami masih terus berusaha bertemu sesekali.
Baru-baru ini Bella mengabariku kalau dia sudah kembali ke kota. Tentu saja dengan menanyai jadwalku apakah bisa bertemu atau tidak. Kali ini pun sama seperti biasa Aku dan Bella berjanji bertemu di salah Mall dekat stasiun.
Meski awalnya gugup, aku tetap beranikan diriku untuk pergi. Ada banyak hal yang ingin kucerritakan pada Bella. Begitu banyak sampai aku tiba dia Mall tersebut 2 jam lebih awal dari jam janji temu kami.
Menghela nafas menyesali kebodohan diri sendiri aku memutuskan untuk mencari cafe agar aku dapat duduk dan menenangkan diri dengan minuman ataupun kue.
Pesananku datang tidak lama, dan aku pun mulai bisa bersantai. Kukeluarkan ponselku untuk melihat perkembangan karya tulisku. Ada beberapa yang meninggalkan komentar namun tidak ada penambahan jumlah pembaca secara signifikan.
Sibuk dengan ponselku, tanpa kusadari sudah ada orang yang duduk di kursi yang berhadapan denganku. Apa Bella sudah datang?
"Bella!" sapaku tanpa pikir panjang saat menyadari keberadaan orang itu dan melepas tatapanku dari hp.
Namun orang itu ternyata bukan Bella. Eh? Dia bahkan bukan perempuan, siapa cowok ini? Kenapa main duduk dimeja orang?
"Eh? Loh? Siapa ya?" tanyaku bingung.
"Maaf ya, tadi kamu fokus sekali dengan ponselmu. Meski kusapapun kamu tidak tersadar." Jawabnya sopan. Sepertinya dia memang hanya ingin ikut duduk di cafe ini.
"Oh, begitu. Maaf ya, cuma biasanya jarang ada orang yang ikut bergabung ke mejaku kalau aku tidak mengenalinya. Awalnya kupikir malah kamu temanku." Entah karena pria itu duluan yang meulai dengan bahasa baku, aku pun ikutan menggunanakan aku-kamu, yang setelah dipikir kembali terasa aneh sekali.
Tapi pria itu hanya tertawa kecil dan lalu menyeruput dari cangkirnya, sepertinya dia memang sudah duduk disitu agak lama.
"Oh, kamu lagi menunggu teman? Maaf ya, aku mengambil tempat duduk temanmu."
Tuh kan lagi-lagi kalimatnya bikin bulu kuduk merinding, kayak kata-kata cowo dalam novel romantis yang terlalu dibuat-buat. Padahal kalau dilihat sepertinya kami seusia.
"Iya lagi nunggu temen tapi masih nanti kok, janjiannya juga bukan disini."
"Oh begitu. Tapi sebenarnya aku cukup bersyukur bisa bertemu denganmu disini Saskia, karena cafe ini penuh. Setidaknya aku jadi dapat tempat duduk dan menikmati kopi ini." Dia tersenyum kembali sambil menatap lurus kopinya seolah jawaban pertanyaan penting dunia ada didalam cangkirnya.
"Hah?" aku mebeo bingung. Tunggu apa kita saling kenal?
"Kamu masih punya kebiasaan itu rupanya, setiap bingung pasti kamu ber 'Hah? Huh? Hah? Huh?'. Kebiasaan burukmu itu memang sulit hilang rupanya."
Kali ini dia dengan sukses mengejutkanku. Darimana dia tahu kebiasaan lamaku? Sepertinya dia memang mengenaliku. Tapi siapa dia?
"Hah?' tanpa sadar aku ber 'Hah?' ria.
"Tuh kan." jawabnya simpul kali ini menatapku.
"Kok bisa tau? Maaf, anda siapa ya?" Tanyaku mulai merasakan sensasi Dejavu. Sepertinya aku pernah mengalami hal ini. Jangan bilang...
"Kok lupa sih? Ini aku loh, Alvin. Pacarmu kan? Kamu sendiri yang bilang begitu ke Ibuku bulan lalu kan?" Kali ini dia tersenyum lagi tapi aku sudah tidak peduli.
Aku menatap pria dihadapanku dengan tatapan tidak percaya.
Rupanya dia Alvin, Alvin yang tidak kukenal tapi entah bagaimana mamanya bisa mengira kalau aku pacarnya dan lalu melabrakku di kedai kopi kecil pinggir jalan.
Berbagai macam hipotesis kembali bermunculan dalam pikiranku. Namun aku tahu aku tidak boleh panik dan tetap tenang.
"Tunggu dulu, sepertinya ada salah paham." Ucapku menoba yakin pada suaraku sendiri.
"Mamamu duluan yang bilang kalau kamu yang bilang kalau aku pacarmu. Dan aku sudah mencoba membantah tuduhannya namun dia semakin tidak percaya karna tentu saja dia lebih percaya anaknya yang sebenarnya aku tidak tahu siapa."
"Hmm, memang betul sih, Tapi kenapa kamu mau saja menerima bayaran darinya untuk menjauh padahal kamu tau kalau kamu bukan pacarku?" SKAKMAT
"Mungkin kamu gak tau, tapi mamamu itu galak, pakai banget." Jawabku tanpa berpikir panjang karna panik.
Alvin menatapku seolah aku berkepala dua. Meski demikian aku pun sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.
"Jadi apa rencanamu setelah ini?" Alvin kembali bersua.
"Rencana? Rencana apa? Oh apa maksudnya apa yang mau kulakuan habis ini?" Entah mengapa canggung sekali bicara dengan pria ini. Mungkin karna kalau diperhatikan dia lumayan tampan.
Rambutnya hitam pendek, cukup rapih. Wajahnya juga bersih, matanya hitam gelap khas Asia. Penampilannya pun cukup rapih dengan setelan kemeja kasual berwarna putih tulang.
"Ya, tadi kan kamu memang bilang sedang ada janji temu dengan temanmu. Yang kumaksud bukan itu. Apa rencanamu selanjutnya setelah melanggar kontrak yang sudah kamu sepakati dengan ibuku?"
Sepertinya kekurangan dari Alvin bisa dibilang dari mimik mukanya yang kurang ekspresif, sedari tadi dia bicara tidak banyak perubahan mimik dalam raut wajahnya terlebih saat dia mengatakan tentang aku yang melanggar kon-...
"Siapa yang melanggar kontrak?" Tanyaku mencoba meyakinkan diri? Tunggu apa duduk berdua dengan Alvin ini terhitung sebagai pelanggaran perjanjian?!
Alvin tidak menjawab dan hanya menunjuk wajahku. Dasar tidak sopan, jika bukan karena adanya urgensi lain yang membuatku panik mungkin aku akan mempermasalahkan ketidak sopanannya ini, tapi...
"Tapi aku kan tidak dengan sengaja mendekatimu, aku bahkan tidak tau kamu siapa sampai kamu meperkenalkan diri!" jawabku mulai panik.
"Memangnya kamu pikir ibuku akan percaya kalau kamu dan aku berdua disini murni karna ketidak sengajaan?"
Tentu saja dia harus percaya kan normalnya? Dia bahkan menolak utuk percaya bahwa sebenarnya aku tidak mengenali anaknya. Bagaimana bisa aku lupa kalau wanita itu tidak normal!
"Tapi tunggu apa itu berarti selama dia tidak tahu, maka semua akan baik-baik saja?" ucapku mencoba menenangkan diri.
"Dia sudah tahu, Karna saat kamu fokus dengan ponselmu tadi ada seseorang yang mengambil gambar ke arah kita berdua. Pasti itu salah satu orang suruhan Ibuku yang dia tugasi untuk memantau dengan siapa aku bertemu."
Sebelum aku sempat memahami perkataan Alvin, bunya notifikasi panjang muncul dari ponselku. Begitu banyak notifikasi sampai aku tidak tahu harus membuka yang mana.
"Ah, sudah dimulai ya?" Alvin menatap ponselku yang masih berdering penuh notifikasi sebelum kembali mentapku. "Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura