"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"
Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?
"Kerja sama?" beoku.
"Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.
Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali.
"Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara.
"Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"
Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan.
"Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.
Alvin hanya meringis kecil. Dasar tidak tahu diri.
"Jadi bisa dibilang akar semua masalah ini memang kamu, dan kamulah yang menyeretku dalam masalah ini."
"Maaf, aku tidak tahu Ibuku akan bertindak sejauh ini." Jawab Alvin sedikit menunduk.
"Enak saja Maaf, sekarang aku bukan hanya harus berurusan dengan Ibumu tapi juga para Netizen Yang Maha Benar. Seolah masalahku sendiri saja tidak cukup!"
"Karena itulah aku berharap kamu mau menerimaku," jawab Alvin serius. Huh? rasanya ada yang aneh.
"Menerimamu?" tanyaku bego.
"Ma- maksudku menerima tawaranku bekerja sama!" sambar Alvin cepat. Aneh.
Aku mencoba menenangkan pikiranku kembali. Saat kulihat hpku sekilas sepertinya masih ada waktu sebelum janji temu dengan Bella. Gila, semua masalah ini benar-benar membuatku hilang arah.
Aku menatap Alvin mencoba mencari jawaban, sebenarnya memang hampir mustahil bagiku untuk menyelesaikan semua ini sendiri tapi untuk mempercayai Alvin begitu saja juga memberikanku firasat buruk.
"Jadi kenapa saat itu kau menyebutku kekasihmu?" Tanyaku pada akhirnya. Alih-alih bertanya soal kerja sama yang dimaksud aku lebih memilih mendapat semua informasi yang bisa kudapat terlebih dahulu.
"Mungkin kamu sudah dengar tentang rumor dimana aku sudah bertunangan."
Ah, aku hampir lupa menanyakan hal ini juga tadi. Namun Aku tidak bersua dan terus mendengarkan.
"Tenang saja itu semua hanya rumor. Ibuku memang ingin aku segera bertunangan, namun aku menolak dengan keras. Saat itu dalam upayaku menolak ibuku, aku asal menyebutkan bahwa aku memiliki kekasih."
'Ya tapi kenapa namaku yang kau sebut Alvin?' Batinku pilu namun masih berusaha terus mendengarkan.
"Aku sebenarnya tidak ingin menyebut nama karena memang itu hanya gertakan. Namun Ibuku terus menekanku dan mengatakan bagaimana mungkin Aku memiliki kekasih namun dia tidak mengetahuinya?" Kali ini Alvin terlihat tidak percaya dengan apa yang dikatakan sendiri.
"Seolah Ibuku tahu semua seluk beluk kehidupanku." dengus Alvin kesal sendiri.
Semakin didengar aku semakin yakin masalah pelik yang Alvin alami adalah masalah klasik tuan muda kaya raya. Seperti dalam film.
"Ya tapi kenapa aku? Bagaimana ceritanya kamu yang seorang..." tanganku melambai ke seluruh tubuh Alvin kebingungan menggambarkan siapa dirinya karena aku memang tidak tahu.
"... seorang asing yang tidak kukenal namun sepertinya cukup berada..." lanjutku makin mengada-ada, Alvin sendiri terlihat seperti sedang menahan tawa.
"Pfft... Saski jangan bilang kamu benar-benar tidak mengenaliku?" tanyanya terkikik kecil membuatku kesal.
"Memang tidak." Jawabku datar.
"Yah, memang bukan sepenuhnya salahmu sih. Kita memang sudah lama tidak bertemu."
Jadi maksudnya kita memang saling mengenal?! Tunggu, apa dia teman sekolahku? Ah tapi aku kan tidak pernah sekolah di sekolah elite? Mana mungkin putra dari wanita itu bersekolah di tempat yang sama denganku yang hanya berasal dari keluarga biasa.
"Mungkin sudah 20 tahun kita tidak bertemu."
20 tahun? Aku saja masih berusia 25 tahun saat ini.
"Hah? 20 tahun? Emang kita bisa saling kenal pas balita?" Tanyaku sangsi.
"Bisa dong, Kita kan satu TK. Aku ingat namamu karena nama kita cukup mirip."
Seriusan?
"Nama kita gak mirip sama sekali." Jawabku cepat.
"Mirip! Namaku kan Alvin Putra Samudra, namamu Saskia Putri Stamboel. Bisa dibilang inisial nama kita mirip!"
Astaga jangan bilang hanya karena adanya nama Putra dan Putri dalam nama dia bisa berpikir bahwa nama kita mirip!
Aku menganga mencoba membantah tidak percaya namun tidak tahu juga mau berkata apa.
Belum sempat aku mencoba bicara hpku kembali berdering, kali ini panggilan telepon dari Bella. Segera kuangkat panggilan itu sebelum Alvin bicara lagi.
"Halo Bella!"
"Hallo? Saski dimana? Bella sudah didepan nih biar Bella langsung kesana." Jawab Bella dari telepon.
"Gapapa Bella biar Saski saja yang kesana. Gimana Kalo janjian di lobby Food Hall?"
"Oke, oke. Bye." Jawab Bella sembari menutup panggilan.
"Temanmu? Gak jadi ketemu disini?" Tanya Alvin mengalihkanku kembali padanya.
"Emang gak janjian disini kok." jawabku jujur.
"Aih, paling sebenarnya kamu gak percaya kan sama apa yang kubilang tadi?"
Emang enggak sih.
"Ya udah karna kamu buru-buru banget ini seenggaknya simpan kartu namaku. Hubungi aku kalo kamu berubah pikiran." Ucap Alvin seraya memberiku sebuah kartu nama.
Aku menerimanya dengan ragu sebelum kemasukan ke dalam saku dengan tanpa melihat isinya, bergegas pergi menemui Bella.
Sayup kudengar Alvin mengucap "sampai jumpa Saski.”
xoxoxoxo
Saat akhirnya bertemu dengan Bella, kami memutuskan untuk pergi ke restoran AYCE langganan kami yang letaknya tidak jauh dari Mall. Entah mengapa aku merasa harus pergi membawa Bella sejauhnya dari Alvin.
"Udah laper banget ya?" tanya Bella polos.
"Banget." Aku menjawab antusias.
"Ya udah yuk makan, katanya kamu juga ada mau cerita kan?" Bella memang pengertian.
Sebenarnya aku hampir memutuskan untuk tidak jadi bercerita soal masalah konyol yang kualami namun sejak tidak sengaja viral di Lambei kupikir meski dirahasiakan Bella pasti akan tahu juga.
Maka aku mulai makan, maksudku bercerita pada Bella tentang apa yang terjadi. Mulai dari kejadian kedai kopi, uang sekoper yang kuterima, dan viralnya fotoku dan Alvin di Lambei.
Bella yang memang pendengar yang baik terus mendengarkan dengan seksama, hingga sampai di bagian viralnya foto barulah dia bersua.
"Gila kamu Sas! Kok bisa kena skandal bareng Alvin Putra sih? Dah kayak cerita-cerita w******l aja!"
"Kok Bella bisa kenal Alvin dalam sekali lihat sih? Emangnya dia seterkenal itu?" Tanya mulai ragu.
"Well dia memang bukan artis sih, tapi Avin lumayan terkenal karena dia temannya anaknya Presiden yang suka bikin Vlog itu loh. Pernah sekali masuk Vlognya, terus karena lumayan cakep jadi viral deh."
Temennya anak Presiden? Info penting yang juga tidak penting dalam kamusku.
"Yang bener?"
"Iya jadi pas viral tuh, banyak yang stalking cari info gitu tentang dia, ternyata dia tuh Pewaris dari Samudra Group yang bergerak di bidang Perikanan. Tau gak? Salah satu Eksportir makanan laut terbesar di Indonesia?"
Rentetan informasi baru ini dengan sukses membuatku memikirkan kembali permasalahan yang sedang kualami. Mati Aku, sepertinya masalahku ini lebih besar dari yang kubayangkan.
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura