"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi.
Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku.
"Huh?" Gagapku terkejut.
Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut.
"Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin."
Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami.
"Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu.
"Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura-pura bodoh. Saya sudah tahu semuanya." Wanita itu tersenyum sedikit saat itu. Seperti mendapati sebuah permainan baru yang tidak dipahami orang.
"Maaf tante-..." sedikit demi sedikit aku mulai paham, sepertinya wanita ini salah mengenali orang. Karna aku tidak ingat dekat dengan siapapun Alvin itu.
"Masih mau mengelak juga rupanya. Apa kamu tidak tahu malu?" sela wanita itu. Sepertinya dia juga mulai tidak sabar. Wajarnya situasi ini akan membuatku terpancing emosi, hanya saja sel otakku yang hanya satu itu seperti menghilang entah kemana saat itu.
"Tapi Tante, bagaimana mungkin saya menjauhi Alvin disaat-..." aku mencoba menjawab dengan sopan.
"Disaat kalian mencintai satu sama lain begitu kamu mau bilang?" dan tentu saja wanita itu kembali menyela perkataanku. Tepat sebelum inti masalah ini terucap.
"... disaat kami tidak mengenal satu sama lain..."
Masih kuingat saat itu aku masih mencoba meredakan emosi lawan bicaraku.
"Apa? Tidak mengenal satu sama lain? Kamu pikir saya bodoh?" Jika sedari tadi wanita itu masih menjaga kewibawaannya sebagai wanita yang sudah berumur, maka kalimat itulah yang menandakan awal mula dia meperlihatkan emosi aslinya.
"Selama anda menyadarinya, kebodohan bukanlah dosa." gumamku ikut terpancing emosi. Pikiranku mulai tenang dan mulai memahami kondisi saat itu. Siapa wanita itu pikir dirinya untuk datang tanpa diundang dan menyebabkan keributan di tempat umum? Salah orang pula.
"Kamu!! Berani betul kamu bicara lancang seperti itu pada saya!" jawabnya dengan geraman, jari telunjuk mulai mengarah ke wajahku dan tentu saja ini makin membuatku kesal.
"Jangan pikir karna kamu pacarnya Alvin kamu bisa bertindak sesuka hatimu! Saya ini ibunya! Apa yang dimiliki Alvin berasal dari saya!" sedikit demi sedikit suara wanita tersebut naik satu oktav.
"Siapa Alvin, saya tidak kenal! Saya juga yakin Tante juga tidak mengenali nama saya!" tudingku ikut terpancing emosi.
"Hooh! Kamu pikir saya tidak tahu, kamu Saskia Putri Stamboel kan? Usia 26 tahun."
"Eh, bagaimana Tante tahu?"
"Tentu saja tahu, jadi jangan coba-coba membodohi saya lagi!" jawab wanita itu.
Seketika suasana hening dan aku bisa merasakan banyak mata menatapku. Bahkan Pramusaji yang sedari tadi menguping di meja sebelah dengan berpura-pura membersihkan meja pun ikut menatapku iba.
"Pelayan, bisa pesan secangkir Latte panas dan air mineral dingin?" Wanita itu tetiba mengarahkan pembicaraan ke arah pramusaji yang sedari tadi menguping di meja sebelah.
"Ah,... b-baik bu, segera." jawabnya gagap. Sepertinya dia panik karna ketahuan menguping.
Tidak sampai 5 menit pesanan sudah datang. Apa mungkin barista kedai inipun mengikuti pembicaraan kami dari tadi? Karna seingatku pelayanan di kedai itu tidak pernah secepat ini.
"Minumlah dulu airnya, siapa tahu dengan begini kamu setidaknya bisa memberi jawaban yang masuk akal saat mengelak." Ucap wanita itu kembali dengan volume dalam ruangan, sepertinya kejadian tadi membuatnya berpikir kalau aku tidak punya otak dan tidak pantas menerima emosinya.
Dan rupanya air mineral itu untukku, yang sepertinya memang kubutuhkan untuk mencerna kembali situasi macam apa yang kuhadai saat itu.
"Terima kasih" dengan sedikit menggumam kuteguk air mineral tersebut hingga habis hampir setengah botol.
Wanita itu tidak menjawab, dia hanya menatapku mengamati.
Dingginnya air yang kuteguk saat itu benar benar menjernihkan pikiran. Aku perlu meluruskan kesalah pahaman ini. Tapi entah bagaimana wanita ini mengetahui nama lengkapku.
Wanita itu masih diam dan menatapku tajam.
"Kalau boleh tahu, dari mana tante tahu mengenai saya?" kuputuskan untuk bertanya memch kesunyian.
"Akhirnya kamu mau mengakui juga," wanita itu tersenyum simpul. Senyumnya tidak mengenakkan.
"Tentu saja, Alvin lah yang memberi tahu namamu, kamu pikir kamu bisa menggoda putraku tanpa sepengetahuanku?" Jawabnya congkak. Namun jawaban ini benar-benar mengejutkanku.
Karena aku tidak kenal Alvin sama sekali. Siapa Alvin? Kenapa dia bisa bilang ke mamanya kalau aku pacarnya? Kenapa dia tahu namaku?
"Gak mungkin tante, saya tidak kenal Alvin!" Jawabku makin panik.
"JANGAN BOHONG!" Ucap wanita itu kencang sembari memukul meja suaranya nyaring di suasana kedai yang sepi itu. Seorang pramusaji bergegas ke meja kami dengan panik. Mungkin untuk mencegah jika akan terjadi keributan.
"Sedari tadi saya bersabar menunggu kejujuranmu tapi kamu masih saja terus berbohong di depan muka saya!" tudingnya menunjuk-nunjuk wajahku.
Akhirnya kesabaranku habis. Sedari tadi kubiarkan wanita ini bertingkah laku layaknya Ratu dan menginjak-injak harga diriku. Baiklah kalau itu yang dia mau.
"Okelah, saya mengakui sebagai pacar Alvin. Tapi dari tadi saya diam dan anda yang terus menerus berbuat tidak sopan. Anda datang tanpa diundang dan langsung mencerca saya. Jadi apalagi yang anda mau dari saya selain untuk mempermalukan saya didepan umum?" tanyaku geram menatapnya dengan penuh emosi.
"Jauhi anak saya! Kamu tidak pantas untuknya!" sentaknya balik.
"Ya tapi itukan keputusan Alvin, sekalipun saya mencoba menjauh hal itu akan sia-sia jika Alvin masih mencintai saya."
Mulai terhanyut dalam peran akupun mengangumi kebenaran jawab itu. Meski kujawab aku akan menjauhi Alvin, tapi kalau Alvin itu sendiri masih mengaku-aku sebagai pacarku Ibunya pasti akan tetap datang padaku.
"Berapa? Sebut saja hargamu untuk menjauhi Alvin!"
Wow tidak kupercaya kata-kata klise ini akan kudengar dalam kehidupan nyata. Apa sekarang hidupku menjadi FTV? Tapi apa yang harus kujawab?
"Tante pikir aku cewek murahan yang bisa dibayar begitu saja?" Jawabku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Jawab saja berapa, akan kubayar tunai. Tapi setelahnya jauhi anak saya!" jawabnya sombong bagai Firaun.
Berapa wanita ini pikir dapat membeliku? Aku ini mahal!
"100 juta rupiah, kalau tante bisa membawakanku 100 juta aku akan pergi." jawabku asal.
Tapi wanita itu justru tersenyum sumringah. Keringat dingin mulai kurasakan di tenguk.
"Sudah kuduga kamu memang wanita macam itu." jawabnya pelan sembari tersenyum. Dia megambil hp dari tas tangan mungil yang sedari tadi tidak kusadari keberadaannya dan mulai menelpon.
"Pak Simon, tolong bawa masuk apa yang saya titipkan di mobil tadi." ucapanya pada seseorang ditelpon.
Dengan panik aku melirik ke arah pintu keluar mencoba mencari tahu keseriusan perkataannya. Dia gak serius beneran bawa seratus juta kan? Dari keluarga mana sih nih Ibu-ibu sama Anaknya Alvin itu? Mereka konglomerat kah?
Tapi seorang bapak tua dengan sedikit membungkuk berjalan cepat memasuki kedai membawa koper hitam berukuran sedang ala properti film.
Dan akhirnya koper itu sampai betulan ke meja kami.
"Didalam koper ini terdapat uang dengan total 150 juta rupiah, saya tahu kamu hanya menyebut 100 juta dan sudah menganggapnya sebagai nominal yang besar. Tapi disitulah nilai perbedaan yang harus kamu ketahui. Jumlah ini tidak ada artinya bagi keluarga kami. Jadi sadari nilaimu dan menjauhlah dari Alvin. Anggap saja kamu baru mendapat pelajaran berharga untuk tidak menyuap lebih dari yang bisa kau kunyah. 100 juta yang kamu minta kuberikan tunai seperti perkataan saya tadi ditambah bonus!"
Harus kuakui pikiranku waktu itu menjadi kosong dihadapan tumpukan uang dalam koper hitam itu. Ini serius???
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura