Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel.
Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama.
Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut.
Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya.
Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka dan tetap berjalan ke arah pagar rumah.
"Loh, itu dia bukan sih?" ucap salah satu dalam kerumunan tersebut. Sepertinya dugaanku benar. Mati aku.
"Saskia bagaimana tanggapan anda terkait maraknya info mengenai hubungan anda dengan seorang Alvin Putra Samudra?"
"Ada hubungan apa tepatnya anda dengan Alvin Putra Samudra?"
"Sudah berapa lama anda berhubungan dengan Saudara Alvin Putra?"
"Bagaimana pendapat anda mengenai rumor pertunangan Alvin Putra Samudra?"
Begitu banyak rentetan pertanyaan langsung dilemparkan padaku dengan cepat saat para wartawan itu mencegatku sebelum aku berhasil memasuki rumah.
Kilau cahaya kamera dan mikrofon yang disodorkan padaku membuatku semakin merasa kikuk dan tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana orang bisa terbiasa dengan ini sih?
Apa kujawab saja no comment ya?
Jadi aku membuka mulutku untuk mencoba menjawab ala kadarnya, namun belum sempat aku bersua sebuah tangan mencengkram bagian belakang kausku dan menarikku mundur. Hampir membuatku terjengkang.
Seperti gerakan slow motion aku ditarik masuk ke rumah sebelum pagar ditutup dengan keras.
BRAKKK!!
Seketika pandanganku kembali normal tanpa silau cahaya kamera, rupanya Abbas, adikku lah yang menarikku masuk kedalam rumah.
"Kak lu kenapa bisa-bisanya viral kena skandal?" tanyanya setelah berhasil menggembok kembali pagar. Para wartawan yang dikunci kembali masih berusaha memanggil kami kembali keluar.
"Gak ngerti juga Saski, tapi kalo diceritain sih ceritanya lumayan panjang." jawabku masih agak syok dikerubungi wartawan untuk pertama kalinya.
Abbas menatapku tidak percaya, namun dia diam sambil bersedekap.
"Masuk dulu, ceritain ke Ayah Ibu sekalian didalam." Ucapnya akhirnya sambil berjalan masuk rumah.
Aku pun mengikutinya dalam diam. mencoba merangkai kata untuk menjelaskan masalahku kepada Ayah dan Ibu.
Di dalam rumah, tepatnya di ruang makan kulihat Ayah dan Ibuku duduk berdua. Sepertinya memang menungguku.
"Saski! Kenapa tidak baca ataupun balas WA Ibu? Ibu telefon pun tidak diangkat!" cecar Ibu begitu melihatku memasuki ruangan bersama Abbas.
Mati aku sepertinya notifikasi dari Ibu terkubur banyaknya notifikasi sore tadi.
"Notifnya tenggelam Bu, tadi banyak banget notifikasi di hp Saski." Jawabku ala kadarnya.
"Sudah makan?" tanya Ayahku.
"Sudah." Jawabku pada Ayah.
"Saski kamu kok bisa sih kena skandal begini, kenapa tidak pernah cerita pada Ibu kalau kamu punya pacar?"
Apa? Jangan bilang ibuku benar-benar percaya berita viral itu?
"Hah?" Jawabku kaget dengan pertanyaan Ibu. segera aku duduk untuk menenangkan diri. Sepertinya ini akan jadi diskusi keluarga.
"Ibu tadi dapat info dari Bude dan teman ibu, mereka tanya sejak kapan kamu pacaran sama itu tadi siapa namanya? Kevin?"
"Alvin." ralat adikku segara.
"Ya siapapun itulah. Beneran kamu pacaran sama artis? Selama ini kenapa setiap ibu tanya selalu jawab belum punya pacar?"
Ayahku hanya diam namun terlihat jelas dia juga menunggu jawabanku. Hadeh,.
"Apaan sih Bu, selama ini Saski jujur kok. Saski gak punya pacar."
"Ya terus kenapa bisa kena skandal, kak? Mana ada fotonya pula. Itu foto beneran apa editan?" Tanya Abbas ikut mengintrogasi.
"Fotonya bener sih."
Mendengar jawaban singkatku mata Abbas membesar seolah mendengar sebuah pengakuan.
"Jadi lu beneran kenal Alvin Putra Samudra?!"
Kenapa dia jadi tiba-tiba semangat begini?
"Ibu, tuh dengar Abbas panggil Saski pakai kata kasar." Aku mengadu pada Ibu. Peraturan keluargaku yang agak lain adalah tidak boleh menggunakan kata kasar dalam berbicara satu sama lain dirumah ini. Dan itu termasuk dalam penggunaan Gw-Elu.
"Abbas, gak boleh ngomong kasar ke kakaknya ya!" Ibuku langsung menegur Abbas.
"Dih kenapa jadi bahas ini deh? Dia tuh cuma ngalihin topik Bu..." sepertinya Abbas menyadari trik yang kugunakan.
"Alvin tuh siapa sih?" tanya ayahku ikut nimbrung.
"Saski juga baru kenal hari ini yah."
"Hah? Demi apa?" Abbas tidak percaya.
"Serius! Saski tuh tadi janjian sama Bella. Bella temen SMA Saski. Tapi karna Bella belum datang Saski tunggu di cafe." Aku pun akhirnya mulai menjelaskan kronologi hari ini.
Tiga pasang mata menatapku serius mencoba menyimak.
"Saski gak terlalu ingat karena Saski fokus ke hp cek tulisan Saski, tapi pas sadar tau-tau sudah ada orang duduk semeja dengan Saski."
"Alvin? Dia tiba-tiba aja duduk di deket lu?" Abbas masih terlihat tidak percaya.
"Abbas!" tegur Ibu lagi namun tidak digubris.
"Iya, aku juga kaget tadi! Mana Saski gak kenal, jadi emang aneh aja ketangkap kamera duduk berdua di cafe bisa langsung kena skandal."
"Dia gak bilang kenapa dia duduk deket lu, Sas?"
Wah ini pertanyaan menjebak. Harus jawab apa aku yang tidak membuatku harus menjelaskan tentang kontrak sialan itu.
Aku pun terdiam, mencoba berpikir harus menjawab apa.
Abbas yang melihatku diam, mulai meragukan jawabanku dan memicingkan mata menatap curiga.
Entah mengapa pikiranku blank dan tidak tahu bagaimana aku menjelaskan ini semua tanpa harus menjelaskan kontrak antara aku dan ibunya Alvin.
Pikir Saski! Kamu pasti bisa! Aku mencoba menyemangati diri sendiri.
Mencoba berpikir keras, aku mencoba mengingat-ingat kembali apa saja yang tadi Alvin bicarakan tadi. Oh iya!
"Dia bilang, karena meja lain penuh dan ingin minum kopi santai dia duduk di mejaku yang memang hanya berisi Saski." Jawabku pada akhirnya.
"Cuma gara-gara kopi dan cafe penuh?" Lagi-lagi Abbas tidak percaya disaat orang tua kami menerima jawabanku.
Memang sulit punya Adik kritis begini.
"Oh, dia juga bilang kalo dia kenal Saski karna dulu kita satu TK."
Tadi Alvin juga bilang begini kan? Meski susah dipercaya tapi tadi Alvin juga pakai alasan ini kan?
"Satu TK?!" baik Ibu dan Alvin reflek menjawab bersamaan.
"Jadi Alvin itu temen TK Saski? Yang mana? Kok Abbas gak tau? Kita kan satu TK!"
Oh iya karena umur kami dekat, aku lupa kalau satu TK dengan Abbas. Harus pakai alasan apa lagi ya?
"Ya tapi memangnya kamu yakin banget masih ingat siapa saja teman TK ku dulu?"
Abbas akhirnya diam, sepertinya memang dia juga tidak ingat. Tentu saja tidak ingat. aku saja lupa.
Keheningan menyelimuti kami berempat untuk sementara, sebelum kembali dipecahkan oleh Ibu.
"Jadi sekarang kamu pacaran sama dia?" tanya ibuku polos seolah tidak mendengar perdebatanku dengan Abbas barusan.
Merasa lelah sendiri aku hanya bisa menghembuskan nafas berat dan berpikir 'Sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang dan penuh introgasi.'
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
Tepat seperti dugaan Saski, malam itu menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Ibunya yang memang selalu meminta Saski untuk membuka hatinya terus menanyai kejelasan skandal yang dialami Saski. Beruntung Ayahnya menyadari ketidak-nyamanan Saski dan memutuskan untuk mengakhiri sesi diskusi keluarga mereka.Saski sendiri merasa bersyukur dia berhasil melewati sesi diskusi/interogasi tersebut tanpa harus menjelaskan perihal kontrak yang dia tandatangani. Kesimpulan yang Saski berikan berhubung Alvin memang cukup terkenal maka banyak media yang mengamatinya untuk mencari berita skandal. Cepat atau lambat juga pasti akan dilupakan.Keesokan harinya Saski baru menyadari bahwa apa yang dia pikir mengenai skandal itu salah. Dengan munculnya email berisikan surat teguran dari penerbit tempat saski menulis artikel. Sebenarnya tidak bisa dibilang teguran lebih tepatnya pemberitahuan peringatan. Rupanya terlalu banyak orang yang menaruh komentar pedas pada artikelnya dan untuk sementara waktu
Hari itu aku pulang malam dalam keadaan letih setelah menghabiskan waktu dengan Bella sehabis makan bersama. Tentu saja kami membahas masalah-masalah baruku yang sudah seperti cerita dalam novel. Bella mengkonfirmasi bahwa Alvin memang cukup terkenal meski bukan seorang public figure. Keluarganya memang kaya raya dan termasuk dalam jajaran keluarga kaya sejak lama. Semua Informasi yang Bella berikan adalah informasi umum yang bisa dikonfirmasi hanya dengan melihat sosial media. Menurut Bella, Alvin kurang masuk dalam kriteria idamannya sehingga dia tidak mengikuti Alvin lebih lanjut. Malam itu aku pulang dengan ojek online untuk menghindari kesulitan mencari kendaraan umum, jadi aku juga tidak sampai rumah terlalu malam. Namun sesampainya di depan rumah aku melihat sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya. Sekumpulan orang yang membawa kamera seperti wartawan berkerumun di pinggir jalan dekat rumahku. Apa mereka mencariku? Taku hanya merasa ge-er aku mencoba tidak menganggap mereka d
"Bagaimana kalau kita bekerja sama?"Aku menatap Alvin curiga, apa mau dia sebenarnya?"Kerja sama?" beoku."Iya, kerjasama! Kita bisa saling membantu! Kebetulan aku juga sedang berada dalam kondisi yang pelik." Jawab Alvin sumringah.Untuk ukuran seorang yang baru saja mengaku dalam kondisi pelik dia terlihat bahagia sekali."Huh?" aku kembali ber hah huh ria karena masih belum mengerti akan dibawa kemana pembicaraan ini. Namun Alvin sepertinya menganggap ini sebagai undangan untuk terus bicara."Sebenarnya ini terkait dengan alasan kenapa aku menyebutmu sebagai kekasih pada Ibuku. Memangnya kamu tidak penasaran soal itu?"Seketika seperti kepingan puzzle yang menyatu dengan pas pada tempatnya aku mulai memahami apa yang dia bicarakan."Oh iya ya. Ini semua kan berawal dari Kamu yang mengaku kalau kita sepasang kekasih. Lalu Ibumu datang mengancamku untuk menjauhimu!" Emosiku yang tidak diketahui keberadaanya muncul begitu saja seiring aku bicara.Alvin hanya meringis kecil. Dasar ti
"Selamat Saskia, Kamu baru saja menjadi sebuah skandal."Dengan perlahan aku memreiksa ponselku yang masih terus berdering menandakan notifikasi masuk.Kubuka salah satu notifikasi teratas dan melihat sebuah postingan dari salah satu media sosial yang biasa kugunakan. Akun yang memposting merupakan akun gosip teranyar.Dalam postingan tersebut terdapat foto yang tidak asing namun belum pernah kulihat sebelumnya. Fotoku yang sedang duduk di kafe bersama Alvin. Foto yang diambil belum lama ini. Persis seperti apa yang Alvin bilang. Postingan ini belum genap satu jam di post dan sudah dilihat oleh setidaknya 10 ribu pengguna media sosial. Notifikasi beruntun yang kuterima ada arna banyak yang menyebut akun media sosialku dalam komentar."Benar kan apa kubilang?" ucap Alvin menyadarkanku dari kegilaan ini. Aku menatapnya tidak percaya. Gila! Sepertinya hidupku memang sudah bisa menjadi bahan cerita cerita online. "Gila. Apa-apan nih? Kamu siapa? Kok bisa duduk berdua di kafe gini aja m
Sudah dua minggu berlalu sejak aku mendapat durian runtuh. Pada awalnya aku tidak dapat mempercayai kejadian yang menimpaku di kedai kopi itu dan terus menerus merasa ketakutan. Saat itu seorang wanita yang tidak kuketahui namanya dan mengaku sebagai Ibu dari Alvin yang juga sebenarnya tidak kukenal memberikaku uang tunai dalam jumlah yang sangat besar.Oke, sangat besar bagi seorang Saskia Putri S. Karena saat itu Ibunya Alvin dengan keras menegaskan kalau jumlah tersebut tiak ada artinya di mata keluarga mereka.Setelah memberikan uang tersebut dan membuatku menanda tangani sebuah kontrak yang lebih seperti perintah jaga jarak, wanita itu pergi begitu saja setelah membayar pesanan minumannya di kasir.Butuh waktu agak lama bagiku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Aku terdiam dengan sebuah koper hitam ditangan. Sampai seseorang bicara padaku."Kalau saran saya sih sebaiknya kakak pesan taksi online untuk pulang dari sini atau minta jemput orang rumah. Bahaya bawa uang dal
"Berapa yang kamu mau?" Ucap wanita paruh baya itu kepadaku sore itu. Nadanya tidak tinggi melengking, tidak juga keras membahana. Namun jika kamu duduk disampingku hari itu, siapapun akan tahu bahwa ucapan itu sarat dengan emosi. Saat itu aku yang tengah merenung di sebuah kedai kopi kecil, mencoba mecari ilham untuk karya tulis, terkejut dengan kehadiran wanita itu yang tiba-tiba sudah mengambil tempat di hadapanku. "Huh?" Gagapku terkejut. Wanita itu mentapku tajam. Namun demikian sosoknya tetap tidak membuatku fokus. Meski kucoba untuk mengingat kembali kira-kira siapa gerangan wanita tersebut. "Sebutkan saja, berapa yang kamu mau agar kamu mau menjauhi Alvin." Alvin? Siapa Alvin? Semakin tidak paham dan takut salah bicara aku hanya bisa diam. Dia, wanita itu sedikit banyak mengingatkanku akan guru matematika saat di SMA. Sedikit bicara dan sulit dipahami. "Alvin?" ucapku membeo, entah kemana perginya sel otakkku saat itu. "Alvin Putra Samudera, putra saya. Jangan berpura