Nada suaranya sengaja dibuat melembut, dengan tatapan penuh arti yang membuat Hazel semakin jengkel. Ia tahu Nick sedang memainkan permainan ini—menekan batas kesabarannya.
“Jangan panggil aku seperti itu,” desis Hazel. “Dan kau bukan satu-satunya orang di lokasi syuting. Semua kru menunggumu.”
Nick meneguk wine-nya perlahan, seolah sengaja ingin membuat Hazel semakin frustrasi. “Mereka bisa menunggu. Aku bintang utamanya, bukan?”
Hazel menarik napas dalam-dalam. Ia tidak akan membiarkan Nick menang. Dengan cepat, ia mengambil remote AC dan menurunkan suhunya ke tingkat paling dingin.
Nick mengernyit. “Apa yang kau lakukan?”
Hazel menatapnya tanpa ekspresi. “Kau bisa bersantai di sini, atau bersiap dan menyelesaikan pekerjaanmu. Pilihannya ada padamu.”
Nick menatap Hazel selama beberapa detik sebelum akhirnya mendecak kesal. “Baiklah, baiklah. Aku akan bersiap.”
Hazel berbalik, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Jika Nick ingin bermain permainan ini, maka ia juga bisa ikut bermain.
Dan ia tidak akan kalah.
Nick akhirnya berdiri, menghempaskan gelas wine ke meja dengan sedikit kasar. “Kau benar-benar menyebalkan, Hazel.”
Hazel hanya menatapnya, ekspresinya tetap tenang. “Itu pekerjaanku.”
Nick berjalan melewatinya, menuju kamar untuk berganti pakaian. Hazel menghela napas lega. Setidaknya kali ini ia menang. Tapi ia tahu, ini baru awal dari pertempuran panjangnya dengan pria itu.
Sambil menunggu, Hazel melirik jam tangannya. Waktu sudah mepet, dan jika Nick tidak segera bersiap, mereka akan terlambat ke lokasi syuting. Ia menggigit bibir, mempertimbangkan untuk kembali mendesaknya, tapi sebelum sempat bergerak, suara Nick terdengar dari dalam kamar.
“Aku butuh lima menit lagi,” ucapnya santai.
Hazel menutup mata sesaat, mengendalikan rasa frustrasi. Lima menit versi Nick bisa berarti sepuluh atau bahkan lima belas. Namun, sebelum ia bisa mengeluarkan protes, pria itu sudah muncul kembali—kali ini dengan kemeja putih yang dibiarkan terbuka dua kancing teratas dan celana panjang hitam yang membuatnya terlihat lebih santai, tapi tetap menawan.
Hazel langsung membuang pandangannya. Tidak ada gunanya terpengaruh dengan penampilan Nick. Ia hanya seseorang yang harus Hazel tangani, tidak lebih.
“Sudah puas menatapku?” goda Nick sambil merapikan lengan kemejanya.
Hazel mendengus, lalu berbalik. “Ayo berangkat.”
Nick terkekeh, tapi tidak membantah. Ia mengikuti Hazel keluar dari apartemen dan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu.
Di perjalanan, Hazel sibuk mengecek jadwal Nick di iPadnya, memastikan semua sudah diatur dengan baik. Tapi di tengah keseriusannya, Nick tiba-tiba bersuara.
“Kau masih menyukaiku, ya?”
Hazel hampir menjatuhkan iPadnya. Ia menoleh dengan tatapan tajam. “Apa?”
Nick menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Hazel dengan seringai jahil. “Kau terlalu sibuk mengawasi setiap gerak-gerikku, seolah aku ini sesuatu yang sangat berharga bagimu.”
Hazel menghela napas panjang. “Aku sibuk karena ini pekerjaanku, Nick.”
“Tentu saja.” Nick terkekeh, tapi Hazel bisa menangkap sesuatu di balik nada suaranya—sesuatu yang sulit diartikan.
Ia memilih diam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Tak peduli seberapa keras Nick mencoba mengusiknya, Hazel tidak akan terjebak dalam permainan ini.
Namun, ia sadar satu hal.
Nick tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan reaksi darinya. Dan itu berarti, Hazel harus lebih waspada.
Perjalanan menuju lokasi syuting terasa lebih panjang dari biasanya. Hazel berusaha mengabaikan keberadaan Nick di sebelahnya, tapi pria itu terus mengamati wajahnya, seolah menunggu reaksinya.
Setelah beberapa menit dalam diam, Nick akhirnya membuka mulut. “Kau sudah berapa lama tidak menjalin hubungan, Hazel?”
Hazel menegang, tapi tidak menoleh. “Itu bukan urusanmu.”
Nick tertawa pelan. “Jadi, selama empat tahun terakhir kau hanya sibuk bekerja?”
Hazel tidak menjawab.
“Apa karena aku?” Nick menyeringai, menikmati permainan ini.
Hazel mengeraskan rahangnya, berusaha menahan emosi. Ia tidak akan membiarkan Nick memancingnya. Ia hanya akan menjawab seperlunya.
“Apa kau selalu begini dengan manajermu yang lain?” tanyanya dingin.
Nick terkekeh. “Tentu tidak. Kau spesial.”
Hazel membuang napas kasar. Ia bisa merasakan Nick menikmati setiap detik percakapan ini, menikmati bagaimana ia berusaha menahan kesabarannya.
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan lokasi syuting, Hazel langsung membuka pintu tanpa menunggu sopir. Ia ingin segera menjauh dari pria itu sebelum emosinya benar-benar meledak.
Namun, Nick dengan santainya mengikuti di belakangnya, masih dengan seringai jahil di wajahnya. “Jangan terlalu tegang, Hazel. Aku hanya bercanda.”
Hazel berhenti tiba-tiba, membuat Nick hampir menabraknya. Ia berbalik, menatap pria itu dengan tajam.
“Dengar, Nick. Aku di sini sebagai manajermu, bukan yang lain. Jadi, berhenti memainkan permainan ini. Aku tidak tertarik,” ucapnya tegas.
Nick menatap Hazel beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil.“Kita lihat nanti.”Hazel tidak membalas. Ia hanya berbalik dan berjalan masuk ke lokasi syuting dengan kepala tegak.Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal.Hari-harinya ke depan tidak akan mudah.Hari itu terasa seperti ujian kesabaran bagi Hazel. Begitu tiba di lokasi syuting, Nick langsung kembali ke kebiasaannya—membuat semua orang menunggu.“Kita sudah mundur hampir satu jam dari jadwal,” bisik asisten sutradara pada Hazel dengan nada cemas.“Apa kau bisa membujuknya?”Hazel menghembuskan napas panjang. Ia sudah cukup lelah menghadapi sikap Nick sejak pagi. Namun, ini pekerjaannya, dan ia tidak akan membiarkan seorang Nicholas Alexander menjatuhkan reputasinya lagi.Ia berjalan ke ruang makeup, menemukan Nick sedang duduk santai di kursi, memainkan ponselnya.Makeup artist berdiri di sampingnya, menunggu dengan gelisah.“Nick,” panggil Hazel, nada suaranya tegas.Pria itu mengangkat kepalanya, tersenyum seolah
Hazel mengabaikannya dan menunduk ke ponselnya, mengecek email dari tim produksi Orion Entertainment. Namun, suara tawa pelan dari arah belakang membuatnya menoleh.Di sudut lokasi, Nick sedang berbicara dengan seorang aktris muda, Sarah Williams. Gadis itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Nick dengan manja.Hazel menghela napas. Ia seharusnya tidak peduli. Ini bukan urusannya. Tapi entah kenapa, melihat Nick seperti itu tetap saja membuatnya kesal.Nick melirik ke arah Hazel seolah menyadari tatapannya. Ia tersenyum miring, lalu berkata dengan nada lebih keras,“Sarah, kau sangat berbakat. Aku suka cara kau membangun chemistry dalam adegan tadi.”Sarah tersipu.“Benarkah? Aku hanya mencoba menyesuaikan energiku denganmu, Nick.”Hazel mendecak dalam hati. Nick selalu seperti ini—senang bermain dengan orang lain, seolah dunia berputar di sekelilingnya.“Hazel.”Nick tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya, menyodorkan sekaleng kopi dingin.“Aku tidak memesannya,” kata Hazel dingin.
Hazel berdiri di sudut ruangan, memperhatikan jalannya pemotretan dengan tangan terlipat di dada. Nick, seperti biasa, tampil sempurna di depan kamera. Setiap pose yang diambilnya terlihat alami, seolah-olah dunia fashion memang dunianya.Saat jeda pemotretan, Nick berjalan mendekati Hazel sambil melepas jas yang dikenakannya.“Kau diam saja sejak tadi. Jangan bilang kau masih terpesona denganku.”Hazel mendesah.“Aku hanya memastikan semuanya berjalan lancar. Itu tugasku.”Nick tertawa kecil.“Tugasmu juga memastikan aku tidak kelelahan, kan? Jadi, bagaimana kalau kau ambilkan kopi untukku?”Hazel menatapnya tajam.“Kalau kau haus, ambil sendiri. Kau bukan anak kecil, Nick.”Nick mengangkat bahu santai.“Tapi dulu kau tidak keberatan melakukannya.”Hazel mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.“Dulu berbeda. Sekarang aku manajermu, bukan kekasih kontrakmu.”Senyum di wajah Nick melebar.“Oh, jadi kau masih mengingatnya?”Hazel berbalik, berusaha mengabaikannya. Tapi jauh di lubuk hatiny
Sepanjang perjalanan pulang, Hazel menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, menatap keluar tanpa fokus. Hari ini melelahkan, dan ia bisa merasakan Noah meliriknya sesekali.“Kau tidak perlu melakukan ini, Noah,” ucap Hazel, akhirnya membuka suara.Noah terkekeh pelan. “Melakukan apa?”“Mengantarku pulang seperti ini,” jawab Hazel, menoleh ke arahnya. “Aku bisa pulang sendiri.”Noah menghela napas, tetap fokus pada jalan di depannya.“Aku tahu. Tapi sejak kapan aku pernah mendengarkan protesmu?”Hazel tersenyum kecil. Ia dan Noah memang sudah lama berteman. Sejak kuliah, mereka selalu ada untuk satu sama lain, bahkan setelah bekerja di Zhe Entertainment. Namun, saat Hazel dipecat, hubungan mereka sempat renggang.Hazel merasa terlalu malu untuk mencari Noah, tapi pria itu tetap datang padanya, tetap menjadi satu-satunya orang yang selalu ada.“Bagaimana harimu?” tanya Noah setelah beberapa saat hening.Hazel menghela napas panjang.“Berantakan. Nick benar-benar membuat pekerjaanku sulit
Keesokan paginya, sebelum Hazel sempat berangkat ke apartemen Nick, ia terhenti saat melihat sebuah mobil sport hitam terparkir di depan gedung apartemennya.Hazel mengernyit. Itu bukan mobil Noah.Saat ia melangkah mendekat, kaca jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok Nick yang duduk santai di balik kemudi, mengenakan kacamata hitam dan kemeja kasual yang sedikit terbuka di bagian atas."Selamat pagi, Hazel," sapa Nick dengan nada santai.Hazel melipat tangan di dada, menatap Nick curiga."Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya aku yang menjemputmu."Nick melepas kacamatanya, menatap Hazel langsung."Kali ini, aku ingin membalas budi. Anggap saja aku sedang berusaha menjadi aktor yang baik dan tidak merepotkan manajernya."Hazel menghela napas panjang. Nick memang selalu penuh hal yang tidak terduga."Baiklah. Tapi jangan buat masalah hari ini."Nick tersenyum, lalu menepuk kursi penumpang di sebelahnya."Masuklah. Hari ini aku yang mengantarmu ke lokasi syuting."Denga
Lampu menyala.“Selamat ulang tahun, Hazel!”Hazel terlonjak kaget. Di hadapannya, Noah berdiri dengan senyum lebar, di belakangnya meja dipenuhi berbagai makanan ringan, sebuah kue tart sederhana, dan beberapa balon yang tampak jelas ditiup secara manual.Hazel memandangi dekorasi yang ada, lalu kembali menatap Noah yang masih tersenyum penuh kemenangan. “Apa ini?” tanyanya dengan suara masih terkejut.Noah terkekeh, memasukkan tangannya ke saku celana. “Kau benar-benar lupa, ya?”Hazel mengerjap, mencoba mengingat. Lupa? Tentang apa?Kemudian matanya melebar.Hari ini ulang tahunnya.“Ya Tuhan…” Hazel menepuk keningnya sendiri. “Aku bahkan lupa hari ulang tahunku sendiri.”Noah tertawa. “Itulah gunanya aku, kan? Mengingatkan hal-hal yang bahkan tidak kau ingat sendiri.”Hazel mendesah, lalu menggeleng tak percaya. “Kau tidak perlu repot-repot, Noah. Aku tidak berencana merayakannya.”“Terlambat.” Noah menarik tangannya, menggiringnya ke meja makan. “Aku tidak bisa membiarkan ulang t
"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya santai, matanya bergantian melihat Hazel dan Pak Adrian.Pak Adrian menepuk bahu Nick dengan bangga."Aku hanya memuji manajermu yang luar biasa ini. Dia benar-benar berhasil menjinakkan si pemberontak."Nick menaikkan sebelah alisnya sebelum menatap Hazel dengan ekspresi menggoda."Oh? Jadi sekarang aku dijinakkan?"Hazel memutar matanya."Setidaknya kau jadi lebih mudah diajak kerja sama. Itu jauh lebih baik daripada harus berdebat setiap hari."Nick menyeringai. "Mungkin aku hanya lebih suka kalau kau yang memberikan perintah."Hazel mendesah, mengabaikan kilasan panas yang tiba-tiba merayapi wajahnya.Pak Adrian tertawa kecil."Teruskan kerja bagus kalian. Aku ingin syuting kita tetap seefisien ini sampai akhir."Setelah mengangguk, sang sutradara pun pergi, meninggalkan Hazel dan Nick berdua.Nick memasukkan tangannya ke dalam saku, menatap Hazel dengan ekspresi yang sulit diartikan."Jadi? Apa aku sudah menjadi aktor yang baik sekarang?"Haze
Hazel mencoba menahan rasa gugupnya. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa dunia Nick dipenuhi dengan sorotan seperti ini, tapi mengalaminya sendiri tetap saja membuatnya canggung.Saat mereka akhirnya masuk ke dalam ballroom, Hazel buru-buru menarik tangannya dari genggaman Nick."Kau membuat semuanya jadi lebih sulit," bisiknya kesal.Nick terkekeh."Salahmu sendiri karena terlalu cantik malam ini."Hazel mendelik, tapi sebelum sempat membalas, seorang staf acara menghampiri mereka."Mr. Alexander, silakan menuju meja Anda. Acara akan segera dimulai."Nick mengangguk, lalu menoleh pada Hazel."Ikut aku."Hazel menghela napas. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang.—Di sisi lain ruangan, seseorang menatap Hazel dengan tatapan tajam.Naila.Ia mengepalkan tangannya di atas meja, menyadari bahwa Hazel tidak hanya kembali ke industri ini, tapi juga berhasil masuk ke dalam lingkaran elite.Ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.Dengan senyum dingin, ia mengangkat gelas samp
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
Dengan langkah kokoh, Nick membawanya menuju sofa, tempat mereka jatuh bersama dalam gelak tawa kecil yang meledak di sela-sela desahan.Nick membaringkan Hazel perlahan di atas sofa, seakan memperlakukannya seperti sesuatu yang sangat berharga. Matanya menatap dalam ke arah Hazel, seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar keinginan mereka berdua.Hazel menarik napas dalam, ujung jemarinya menyusuri rahang Nick dengan lembut.Nick memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh di dadanya. Ia menunduk, mencium kening Hazel dengan penuh hormat, lalu turun ke pelipis, pipi, hingga akhirnya menangkap bibir Hazel lagi dalam ciuman yang jauh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.Tangannya merayapi punggung Hazel, membangunkan sensasi yang menggetarkan setiap pori-porinya. Hazel mengangkat tangannya, membenamkannya ke rambut Nick, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka benar-benar menghilang.Nick mencium sepanjang garis rahang Hazel, lalu turun ke lehernya, men
Nick tersenyum miring, ada kilatan nakal di matanya."Kalau aku bilang aku mau libur dua hari ini bareng kamu, gimana?"Hazel mengerutkan kening, membuang wajahnya ke samping untuk menyembunyikan rona panas di pipinya. "Nick, seriuslah."Nick tertawa pelan. "Aku serius, Hazel. Dua hari ini, aku butuh recharge. Tapi, kurasa yang paling bikin aku semangat itu kalau kamu ada."Hazel menghela napas, berusaha tetap tegar walau jantungnya berdebar tak karuan."Kau butuh tidur, bukan membuat masalah baru."Nick mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Mungkin tidurku akan lebih nyenyak kalau tahu kamu nggak menjauh."Hazel memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata sambil menghela napas."Aku akan tetap profesional, Nick. Sampai kapan pun."Nick tersenyum kecil, ekspresinya sulit terbaca."Aku tahu. Tapi itu tidak menghentikan aku berharap lebih."Hazel terdiam, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangan, melihat sekeliling yang mulai sepi."Besok, aku akan kirimkan detail jadwal kebe
Udara sore di luar lokasi syuting terasa lebih sejuk, tapi Hazel tetap merasa sesak. Ia berdiri di dekat mobilnya, membiarkan embusan angin menerpa wajahnya. Jemarinya meremas tas selempangnya erat-erat, mencoba mengendalikan gejolak yang berputar di dalam dadanya.Kata-kata Nick tempo hari kembali mengiang di kepalanya."Aku tidak meminta kita berpura-pura, Hazel. Aku ingin kita memulai kembali dengan cara yang lebih baik."Hazel memejamkan mata sejenak, menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Nick serius. Ia tahu ada ketulusan di mata pria itu saat mengucapkannya. Tapi, kenangan masa lalu yang penuh luka masih membentuk tembok kokoh di sekeliling hatinya.Bagaimana kalau semua ini hanya berakhir dengan lebih banyak luka? pikir Hazel. Bagaimana kalau aku salah lagi?Ia membuka mata perlahan, menatap langit yang mulai bergradasi jingga. Ada sesuatu dalam cara Nick memperlakukannya belakangan ini—tatapan-tatapannya, perhatian kecil yang selalu terselip di sela-sela kesibukan mereka—yang memb
Hazel menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Udara siang itu terasa sedikit lebih panas dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang penuh membuat segalanya terasa berat.Begitu melangkah ke area lokasi syuting, ia langsung melihat Nick berdiri di dekat tenda produksi, tampak gelisah. Jaket hitamnya terlipat di lengan, rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan.Begitu mata mereka bertemu, Nick langsung berjalan cepat menghampirinya."Kau sengaja, ya?" katanya tanpa basa-basi, nada suaranya mirip anak kecil yang ngambek.Hazel mengangkat alis santai. "Sengaja apa?""Sengaja bikin aku nunggu." Nick menyipitkan mata, seolah menuntut penjelasan.Hazel menahan senyum, menanggapi dengan datar, "Aku bukan babysitter-mu, Nick."Nick mendekat, suaranya sedikit merendah. "Tapi aku nggak suka nunggu. Apalagi sendirian."Hazel menghela napas, berusaha tetap profesional meski hatinya terasa sedikit bergetar melihat sikap manja pria itu."Aku haru
Hazel membuka pintu apartemennya dengan gerakan lelah. Kunci nyaris terjatuh dari jemarinya yang gemetar. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di belakangnya, menghela napas panjang.Hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Getaran-getaran kecil yang ia rasakan saat melihat Nick dan Clara beradu akting terus membekas di pikirannya.Hazel berjalan pelan menuju ruang tamu, melepaskan sepatu dengan asal, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Hazel mengerjapkan mata, mengambil ponsel dengan malas."Mr. Miller?" gumamnya pelan.Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser tombol hijau."Hazel, bisakah kau datang ke kantorku besok pagi?" suara Mr. Miller terdengar tegas dari seberang.Hazel menelan ludah. "Tentu, ada sesuatu yang terjadi?""Akan lebih baik kalau kita bicara langsung," jawab Mr. Miller singkat.Hazel menggenggam ponsel lebih erat. "Baik. Saya akan datang."Tanpa banyak basa
Syuting selesai, ketika dalam perjalanan pulang menuju apartemen Hazel…Nick melirik sekilas ke arah Hazel yang duduk di kursi penumpang. Gadis itu menatap lurus ke depan, ekspresinya sulit ditebak. Biasanya, setelah syuting selesai, mereka akan mengobrol ringan—membahas akting Nick, atau sekadar bercanda tentang kru di lokasi. Tapi malam ini, Hazel hanya diam.Nick mengetuk setir mobil dengan jemarinya, mencoba memecah keheningan."Kau baik-baik saja?"Hazel tersentak kecil, seolah baru menyadari bahwa Nick berbicara padanya."Hm?"Ia menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalanan yang diterangi lampu kota."Ya, aku baik-baik saja."Jawaban itu terdengar terlalu cepat, terlalu datar. Nick menghela napas, melirik Hazel lagi sebelum kembali fokus pada jalan."Kau kelihatan... berbeda."Hazel tersenyum tipis, meski senyumnya tidak sampai ke mata."Hanya lelah. Syutingnya panjang hari ini."Nick tidak langsung menjawab. Ia tahu Hazel cukup profesional untuk tidak membawa masalah pribadi
Hari pertama syuting dimulai dengan atmosfer yang penuh antusiasme. Para kru berlalu-lalang, mempersiapkan set dengan teliti, sementara para pemain berdiskusi dengan sutradara. Hazel berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Nick yang tengah berbincang dengan lawan mainnya—Clara. Tatapan Hazel tajam, bukan karena cemburu, tapi lebih kepada rasa waspada. Ia tahu sejarah antara Nick dan Clara, dan instingnya mengatakan bahwa bekerja sama dalam proyek ini bisa menjadi bumerang bagi Nick. Nick tampak profesional, tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan atau keterikatan emosional dengan Clara. Ia sesekali tersenyum, tetapi jelas bahwa ada batas yang ia jaga. Sementara itu, Clara tampak lebih santai, bahkan cenderung menggoda dengan sikapnya yang akrab. "Hazel," panggil seorang staf produksi, membuat Hazel mengalihkan perhatiannya. "Sutradara ingin memastikan jadwal Nick untuk minggu ini." Hazel mengangguk, segera mengecek ponselnya untuk memastikan tidak ada bentrokan jadwal. "Baik, aku
Pertanyaan itu membuat Hazel terdiam. Ia tidak terkejut, karena cepat atau lambat Nick pasti akan mengetahuinya. Ia menatap Nick, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Aku tahu,” akhirnya Hazel mengaku.Nick mengepalkan tangannya di atas meja. “Dan kau tidak berpikir untuk memberitahuku lebih awal?”Hazel menghela napas. “Aku tidak ingin keputusanmu dipengaruhi oleh masa lalu, Nick. Aku ingin kau mempertimbangkannya secara profesional.”Nick tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. “Profesional?”Hazel tetap tenang. “Ya. Aku tahu kau dan Clara punya sejarah. Tapi aku juga tahu kau cukup profesional untuk memisahkan urusan pribadi dari pekerjaan.”Nick menatap Hazel, seakan mencari sesuatu di matanya. “Dan bagaimana denganmu?”Hazel mengerjap. “Apa maksudmu?”Nick bersandar ke kursinya, menatapnya dengan intens. “Kau benar-benar tidak keberatan aku bekerja dengan mantan kekasihku? Wanita yang menjadi pelarianku setelah aku kehilanganmu?”Pertanyaan itu menusuk sesuatu di dalam