Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
"Kami tidak bisa mempertahankan kamu lagi, Hazel."Kata-kata itu menghantam Hazel seperti petir di siang bolong."Apa maksud Anda?" suaranya serak, tapi ia berusaha tetap tegar.Mr. Graham menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi."Zhe Entertainment tidak bisa lagi menoleransi tindakan tidak profesional yang kamu lakukan."Hazel mengerutkan kening, kebingungan."Tidak profesional?" ulangnya. "Apa memangnya yang aku lakukan?"Ruangan terasa semakin sempit. Tatapan beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu terasa menusuk, namun tidak ada satu pun yang berani menatap matanya secara langsung. Mereka hanya menunduk, seakan tidak ingin terlibat."Banyak keluhan yang masuk terkait cara kerja kamu. Beberapa artis mengaku kamu menyulitkan proses produksi, bahkan tidak memberikan dukungan yang mereka butuhkan," lanjut Mr. Graham.Hazel terbelalak."Itu tidak masuk akal! Aku bekerja lebih keras dari siapa pun di sini!""Kami sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Keputusan ini
Hazel mengepalkan tangannya di atas pahanya. Ia tahu ini bukan tentang kinerjanya. Bukan tentang kemampuannya. Ini tentang apa yang telah dilakukan Kevin dan Naila untuk menghancurkannya.“Aku bisa bekerja lebih keras. Aku bisa membuktikan—”“Bukan itu masalahnya, Hazel.”Pria itu menatapnya dengan sorot simpati, tetapi bagi Hazel, simpati itu tidak ada gunanya.“Kami hanya tidak ingin berurusan dengan seseorang yang… punya rekam jejak buruk.”Rekam jejak buruk?Hazel menggigit bibirnya. Ia tahu persis dari mana asal ‘rekam jejak’ yang dimaksud. Kevin dan Naila telah bekerja dengan sangat baik dalam menyebarkan narasi yang salah tentang dirinya.Ia menghela napas dan berdiri.“Baiklah. Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Ia tidak menunggu jawaban sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu.Di luar, Hazel berdiri di tepi jalan, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Skyreach City sibuk seperti biasa, tetapi bagi Hazel, kota ini tiba-tiba terasa lebih sempit
Nada suaranya terdengar santai, tapi Hazel bisa menangkap sesuatu di baliknya—sindiran halus yang membuat tengkuknya meremang. Ia menguatkan dirinya, menegakkan bahu, dan membalas tatapan pria itu tanpa gentar.“Ya, sudah lama, Nicholas.”Nicholas melangkah masuk, gerakannya santai tetapi penuh kontrol. Seolah-olah ia adalah raja di tempat ini—dan mungkin memang benar. Ia duduk di kursi di seberang Hazel, menyilangkan kakinya, lalu menoleh ke arah Arthur.“Jadi, ini manajer baru yang kau pilih untukku?”Arthur mengangguk tanpa ragu.“Ya. Kami percaya Hazel adalah orang yang tepat untuk menangani kariermu.”Nicholas terkekeh pelan, nadanya terdengar meremehkan.“Lucu. Karena setahuku, dia lebih pandai menangani hubungan daripada karier.”Hazel mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan emosi yang hampir meledak. Ia tahu Nicholas masih menyimpan dendam, tapi tidak menyangka pria itu akan langsung menyerangnya seperti ini.Arthur menatap keduanya bergantian, menyadari ketegangan yang m
Terdengar tawa kecil dari Noah.“Itu artinya kau kini memiliki tantangan baru?”Lift terbuka. Hazel melangkah masuk, menekan tombol menuju lantai dasar. Ponselnya masih menempel di telinga.“Ya, aku rasa begitu,” diiringi dengan helaan napas berat.Hazel menyandarkan punggung ke dinding lift. “Aku hanya berharap ini tidak menjadi keputusan yang kusesali nanti.”“Dengar, tidak ada keputusan yang benar-benar sempurna. Yang penting, kau bisa kembali ke industri ini dan membuktikan dirimu lagi.”Dentingan lembut terdengar saat lift sampai di lantai dasar. Hazel melangkah keluar, menggenggam ponselnya erat.“Ya, aku akan membuktikannya,” ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.*Hari pertama Hazel sebagai manajer Nick seharusnya berjalan lancar, namun pria itu justru sengaja mempersulit pekerjaannya.“Kau tidak berubah, Hazel.”Hazel menutup mata sejenak, menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik. Nick bersandar santai di sofa ruang tunggu, mengenakan kaus putih polos dan
Nada suaranya sengaja dibuat melembut, dengan tatapan penuh arti yang membuat Hazel semakin jengkel. Ia tahu Nick sedang memainkan permainan ini—menekan batas kesabarannya.“Jangan panggil aku seperti itu,” desis Hazel. “Dan kau bukan satu-satunya orang di lokasi syuting. Semua kru menunggumu.”Nick meneguk wine-nya perlahan, seolah sengaja ingin membuat Hazel semakin frustrasi. “Mereka bisa menunggu. Aku bintang utamanya, bukan?”Hazel menarik napas dalam-dalam. Ia tidak akan membiarkan Nick menang. Dengan cepat, ia mengambil remote AC dan menurunkan suhunya ke tingkat paling dingin.Nick mengernyit. “Apa yang kau lakukan?”Hazel menatapnya tanpa ekspresi. “Kau bisa bersantai di sini, atau bersiap dan menyelesaikan pekerjaanmu. Pilihannya ada padamu.”Nick menatap Hazel selama beberapa detik sebelum akhirnya mendecak kesal. “Baiklah, baiklah. Aku akan bersiap.”Hazel berbalik, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Jika Nick ingin bermain permainan ini, maka ia juga bisa ikut berma
Nick menatap Hazel beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil.“Kita lihat nanti.”Hazel tidak membalas. Ia hanya berbalik dan berjalan masuk ke lokasi syuting dengan kepala tegak.Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal.Hari-harinya ke depan tidak akan mudah.Hari itu terasa seperti ujian kesabaran bagi Hazel. Begitu tiba di lokasi syuting, Nick langsung kembali ke kebiasaannya—membuat semua orang menunggu.“Kita sudah mundur hampir satu jam dari jadwal,” bisik asisten sutradara pada Hazel dengan nada cemas.“Apa kau bisa membujuknya?”Hazel menghembuskan napas panjang. Ia sudah cukup lelah menghadapi sikap Nick sejak pagi. Namun, ini pekerjaannya, dan ia tidak akan membiarkan seorang Nicholas Alexander menjatuhkan reputasinya lagi.Ia berjalan ke ruang makeup, menemukan Nick sedang duduk santai di kursi, memainkan ponselnya.Makeup artist berdiri di sampingnya, menunggu dengan gelisah.“Nick,” panggil Hazel, nada suaranya tegas.Pria itu mengangkat kepalanya, tersenyum seolah
Hazel mengabaikannya dan menunduk ke ponselnya, mengecek email dari tim produksi Orion Entertainment. Namun, suara tawa pelan dari arah belakang membuatnya menoleh.Di sudut lokasi, Nick sedang berbicara dengan seorang aktris muda, Sarah Williams. Gadis itu tertawa kecil sambil menyentuh lengan Nick dengan manja.Hazel menghela napas. Ia seharusnya tidak peduli. Ini bukan urusannya. Tapi entah kenapa, melihat Nick seperti itu tetap saja membuatnya kesal.Nick melirik ke arah Hazel seolah menyadari tatapannya. Ia tersenyum miring, lalu berkata dengan nada lebih keras,“Sarah, kau sangat berbakat. Aku suka cara kau membangun chemistry dalam adegan tadi.”Sarah tersipu.“Benarkah? Aku hanya mencoba menyesuaikan energiku denganmu, Nick.”Hazel mendecak dalam hati. Nick selalu seperti ini—senang bermain dengan orang lain, seolah dunia berputar di sekelilingnya.“Hazel.”Nick tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya, menyodorkan sekaleng kopi dingin.“Aku tidak memesannya,” kata Hazel dingin.
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
Dengan langkah kokoh, Nick membawanya menuju sofa, tempat mereka jatuh bersama dalam gelak tawa kecil yang meledak di sela-sela desahan.Nick membaringkan Hazel perlahan di atas sofa, seakan memperlakukannya seperti sesuatu yang sangat berharga. Matanya menatap dalam ke arah Hazel, seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar keinginan mereka berdua.Hazel menarik napas dalam, ujung jemarinya menyusuri rahang Nick dengan lembut.Nick memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh di dadanya. Ia menunduk, mencium kening Hazel dengan penuh hormat, lalu turun ke pelipis, pipi, hingga akhirnya menangkap bibir Hazel lagi dalam ciuman yang jauh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.Tangannya merayapi punggung Hazel, membangunkan sensasi yang menggetarkan setiap pori-porinya. Hazel mengangkat tangannya, membenamkannya ke rambut Nick, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka benar-benar menghilang.Nick mencium sepanjang garis rahang Hazel, lalu turun ke lehernya, men
Nick tersenyum miring, ada kilatan nakal di matanya."Kalau aku bilang aku mau libur dua hari ini bareng kamu, gimana?"Hazel mengerutkan kening, membuang wajahnya ke samping untuk menyembunyikan rona panas di pipinya. "Nick, seriuslah."Nick tertawa pelan. "Aku serius, Hazel. Dua hari ini, aku butuh recharge. Tapi, kurasa yang paling bikin aku semangat itu kalau kamu ada."Hazel menghela napas, berusaha tetap tegar walau jantungnya berdebar tak karuan."Kau butuh tidur, bukan membuat masalah baru."Nick mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Mungkin tidurku akan lebih nyenyak kalau tahu kamu nggak menjauh."Hazel memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata sambil menghela napas."Aku akan tetap profesional, Nick. Sampai kapan pun."Nick tersenyum kecil, ekspresinya sulit terbaca."Aku tahu. Tapi itu tidak menghentikan aku berharap lebih."Hazel terdiam, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangan, melihat sekeliling yang mulai sepi."Besok, aku akan kirimkan detail jadwal kebe
Udara sore di luar lokasi syuting terasa lebih sejuk, tapi Hazel tetap merasa sesak. Ia berdiri di dekat mobilnya, membiarkan embusan angin menerpa wajahnya. Jemarinya meremas tas selempangnya erat-erat, mencoba mengendalikan gejolak yang berputar di dalam dadanya.Kata-kata Nick tempo hari kembali mengiang di kepalanya."Aku tidak meminta kita berpura-pura, Hazel. Aku ingin kita memulai kembali dengan cara yang lebih baik."Hazel memejamkan mata sejenak, menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Nick serius. Ia tahu ada ketulusan di mata pria itu saat mengucapkannya. Tapi, kenangan masa lalu yang penuh luka masih membentuk tembok kokoh di sekeliling hatinya.Bagaimana kalau semua ini hanya berakhir dengan lebih banyak luka? pikir Hazel. Bagaimana kalau aku salah lagi?Ia membuka mata perlahan, menatap langit yang mulai bergradasi jingga. Ada sesuatu dalam cara Nick memperlakukannya belakangan ini—tatapan-tatapannya, perhatian kecil yang selalu terselip di sela-sela kesibukan mereka—yang memb
Hazel menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Udara siang itu terasa sedikit lebih panas dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang penuh membuat segalanya terasa berat.Begitu melangkah ke area lokasi syuting, ia langsung melihat Nick berdiri di dekat tenda produksi, tampak gelisah. Jaket hitamnya terlipat di lengan, rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kekesalan.Begitu mata mereka bertemu, Nick langsung berjalan cepat menghampirinya."Kau sengaja, ya?" katanya tanpa basa-basi, nada suaranya mirip anak kecil yang ngambek.Hazel mengangkat alis santai. "Sengaja apa?""Sengaja bikin aku nunggu." Nick menyipitkan mata, seolah menuntut penjelasan.Hazel menahan senyum, menanggapi dengan datar, "Aku bukan babysitter-mu, Nick."Nick mendekat, suaranya sedikit merendah. "Tapi aku nggak suka nunggu. Apalagi sendirian."Hazel menghela napas, berusaha tetap profesional meski hatinya terasa sedikit bergetar melihat sikap manja pria itu."Aku haru
Hazel membuka pintu apartemennya dengan gerakan lelah. Kunci nyaris terjatuh dari jemarinya yang gemetar. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di belakangnya, menghela napas panjang.Hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Getaran-getaran kecil yang ia rasakan saat melihat Nick dan Clara beradu akting terus membekas di pikirannya.Hazel berjalan pelan menuju ruang tamu, melepaskan sepatu dengan asal, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Hazel mengerjapkan mata, mengambil ponsel dengan malas."Mr. Miller?" gumamnya pelan.Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser tombol hijau."Hazel, bisakah kau datang ke kantorku besok pagi?" suara Mr. Miller terdengar tegas dari seberang.Hazel menelan ludah. "Tentu, ada sesuatu yang terjadi?""Akan lebih baik kalau kita bicara langsung," jawab Mr. Miller singkat.Hazel menggenggam ponsel lebih erat. "Baik. Saya akan datang."Tanpa banyak basa
Syuting selesai, ketika dalam perjalanan pulang menuju apartemen Hazel…Nick melirik sekilas ke arah Hazel yang duduk di kursi penumpang. Gadis itu menatap lurus ke depan, ekspresinya sulit ditebak. Biasanya, setelah syuting selesai, mereka akan mengobrol ringan—membahas akting Nick, atau sekadar bercanda tentang kru di lokasi. Tapi malam ini, Hazel hanya diam.Nick mengetuk setir mobil dengan jemarinya, mencoba memecah keheningan."Kau baik-baik saja?"Hazel tersentak kecil, seolah baru menyadari bahwa Nick berbicara padanya."Hm?"Ia menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalanan yang diterangi lampu kota."Ya, aku baik-baik saja."Jawaban itu terdengar terlalu cepat, terlalu datar. Nick menghela napas, melirik Hazel lagi sebelum kembali fokus pada jalan."Kau kelihatan... berbeda."Hazel tersenyum tipis, meski senyumnya tidak sampai ke mata."Hanya lelah. Syutingnya panjang hari ini."Nick tidak langsung menjawab. Ia tahu Hazel cukup profesional untuk tidak membawa masalah pribadi
Hari pertama syuting dimulai dengan atmosfer yang penuh antusiasme. Para kru berlalu-lalang, mempersiapkan set dengan teliti, sementara para pemain berdiskusi dengan sutradara. Hazel berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Nick yang tengah berbincang dengan lawan mainnya—Clara. Tatapan Hazel tajam, bukan karena cemburu, tapi lebih kepada rasa waspada. Ia tahu sejarah antara Nick dan Clara, dan instingnya mengatakan bahwa bekerja sama dalam proyek ini bisa menjadi bumerang bagi Nick. Nick tampak profesional, tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan atau keterikatan emosional dengan Clara. Ia sesekali tersenyum, tetapi jelas bahwa ada batas yang ia jaga. Sementara itu, Clara tampak lebih santai, bahkan cenderung menggoda dengan sikapnya yang akrab. "Hazel," panggil seorang staf produksi, membuat Hazel mengalihkan perhatiannya. "Sutradara ingin memastikan jadwal Nick untuk minggu ini." Hazel mengangguk, segera mengecek ponselnya untuk memastikan tidak ada bentrokan jadwal. "Baik, aku
Pertanyaan itu membuat Hazel terdiam. Ia tidak terkejut, karena cepat atau lambat Nick pasti akan mengetahuinya. Ia menatap Nick, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Aku tahu,” akhirnya Hazel mengaku.Nick mengepalkan tangannya di atas meja. “Dan kau tidak berpikir untuk memberitahuku lebih awal?”Hazel menghela napas. “Aku tidak ingin keputusanmu dipengaruhi oleh masa lalu, Nick. Aku ingin kau mempertimbangkannya secara profesional.”Nick tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. “Profesional?”Hazel tetap tenang. “Ya. Aku tahu kau dan Clara punya sejarah. Tapi aku juga tahu kau cukup profesional untuk memisahkan urusan pribadi dari pekerjaan.”Nick menatap Hazel, seakan mencari sesuatu di matanya. “Dan bagaimana denganmu?”Hazel mengerjap. “Apa maksudmu?”Nick bersandar ke kursinya, menatapnya dengan intens. “Kau benar-benar tidak keberatan aku bekerja dengan mantan kekasihku? Wanita yang menjadi pelarianku setelah aku kehilanganmu?”Pertanyaan itu menusuk sesuatu di dalam