Lizbeth baru saja kembali ke sebuah resor di tepi pantai di New York, tempat yang seharusnya menjadi saksi hari bahagianya. Namun, semua rencana pernikahan itu berantakan. Hatinya masih terasa perih setelah memergoki Elmer, pria yang akan menikahinya, berselingkuh dengan kakak tirinya, Valeria.
Begitu memasuki kamar hotel tempat keluarganya menginap, Lizbeth dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa. Martha, ibu tirinya, tengah mengobrak-abrik isi kamar bersama seorang asisten pribadi. Pakaian Lizbeth berserakan di mana-mana.
Melihat kehadiran Lizbeth, Martha menoleh dan tersenyum miring, lalu mengulurkan tangannya. “Berikan cincin pernikahan itu. Pernikahan Valeria dan Elmer hari ini harus sempurna. Tak boleh ada cela.”
Lizbeth menggenggam erat tasnya, tubuhnya menegang, ketakutan menyergap saat Martha mulai melangkah mendekat. Tanpa peringatan, Martha merebut tas itu dengan kasar, mengeluarkan seluruh isinya, lalu mengaduk-aduk dengan geram. Dan tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Mana cincinnya?!” bentaknya, matanya menyala marah.
“Aku… aku sudah menjualnya,” jawab Lizbeth pelan, sambil mundur.
Mendengar itu, Martha naik vitam. Martha yang dibantu asistennya langsung menarik Lizbeth ke kamar mandi. Lizbeth meronta-ronta saat tangannya ditarik paksa.
“Lepaskan aku!” rintihnya.
Kepalanya dicelupkan ke dalam bathtub yang berisikan air hangat. Ia berjuang keras mendapatkan udara, sementara tubuhnya menggigil karena rasa takut dan dingin. Asisten Martha menariknya keluar, lalu menjambak rambutnya.
“Katakan di mana cincinnya?!” suara Martha menggema penuh amarah. “Katakan!”
“Aku tidak berbohong, cincinnya sudah tidak ada padaku… aku sudah menjualnya… tolong…” isaknya.
Lizbeth mulai berderai air mata, menahan rasa sakit.
Martha semakin murka. Di waktu yang sama Valeria yang sudah memakai gaun pengantin masuk ke dalam seraya bertanya.”Mom, cincinnya sudah ketemu belum?”
“Dia sudah menjualnya!” sahut Martha, penuh kemarahan.
Valeria mendengus marah, lalu menghampiri Lizbeth dan menampar pipi Lizbeth dengan keras. “Kamu sengaja, ya?? Kau pikir kalau aku tak punya cincin, aku tak bisa menikahinya? Dasar jalang! Kau tak akan pernah bisa menyaingiku.”
Lizbeth menahan sakit, air mata membasahi wajahnya. “Kau yang merebut Elmer dariku… Kenapa, Valeria? Aku sudah mengalah dalam segala hal… aku bahkan menghormatimu sebagai kakakku.”
Valeria tersenyum sinis. “Itu salahmu. Lihat dirimu. Jelek, cupu. Tak heran Elmer lebih memilih aku. Kau sudah melihat sendiri bagaimana dia menikmati kebersamaan kami di ranjang, bukan?”
Lizbeth terisak, hatinya terasa ditusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata. Saat itu, suara Elmer terdengar dari luar.
“Sayang, aku sudah menemukan cincinnya!”
Valeria pun pergi. Lizbeth yang mencoba bergerak, kembali dicekal oleh asisten Martha. Sebelum melangkah keluar, Valeria menatapnya dengan jijik. “Kau bukan siapa-siapa. Elmer memilihku.”
“Tinggalkan tempat ini sekarang juga!” hardik Martha, matanya melotot marah. “Jangan biarkan aku melihat wajah jelekmu mu lagi!”
Lizbeth jatuh terduduk, menggigil, lalu menangis tanpa suara. Sejak kecil dia tak pernah berani melawan Martha. Perlawanan hanya akan berujung pada siksaan yang lebih menyakitkan.
Hari itu juga Lizbeth memutuskan terbang ke Los Angeles. Sore harinya, ia tiba di rumah yang dulu pernah menjadi tempat penuh kehangatan. Saat memasuki ruangan utama di dalam rumah, Lizbeth melihat dua pelayan dengan ekspresi dingin. Serta dua koper miliknya sudah disiapkan.
Kenapa koperku di sini?” tanyanya heran.
“Tinggalkan rumah ini sekarang juga,” ucap salah satu pelayan sambil menendang koper itu ke arahnya.
Lizbeth terpaku. Ia diusir dari rumah tempat ia lahir dan tumbuh besar di sini, kini tidak boleh lagi ditinggalinya.
“Cepat pergi, sebelum kami panggil keamanan!” ancam pelayan lainnya.
Keduanya mendorong tubuh Lizbeth hingga terjatuh ke lantai. Ia hanya bisa memandang rumah itu dalam diam. Rumah yang kini sepenuhnya dikuasai oleh Martha.
Dulu, Lizbeth menjalani masa kecil yang bahagia bersama ibu dan ayahnya. Namun segalanya berubah sejak ibunya meninggal. Tak lama, Mateo, ayahnya menikahi Martha, sekretarisnya sendiri, dan membawa serta Valeria. Sejak itulah hidup Lizbeth berubah drastis. Dari gadis kecil yang penuh cinta, menjadi seorang tahanan di rumahnya sendiri.
Penderitaan Lizbeth semakin bertambah, saat Martha melahirkan anak perempuan dan satu anak lelaki, yang digadang-gadang akan menjadi penerus ayahnya! Sejak saat itu, Mateo seolah melupakan Lizbeth. Bahkan di saat Lizbeth mendapatkan penyiksaan dari istrinya. Sang ayah hanya membisu.
Dia bertahan demi biaya kuliah, berharap suatu hari bisa hidup mandiri. Dan setelah bekerja dan punya penghasilan sendiri, Lizbeth ingin lepas dari neraka ini.
‘Kenapa aku sesedih ini, bukannya ini yang aku mau keluar dari rumah yang sudah seperti neraka ini? Hatiku sangat sakit. Jika Mommy masih ada, apa hidupku tidak akan seburuk ini?’
“Nona.” Suara itu terdengar memanggilnya.
Dilihatnya seorang pelayan paruh baya yang berjalan tergesa mendekatinya. Lizbeth menoleh, menatap wajah yang dulu sering memberinya pelukan diam-diam saat ia menangis.
“Non Lilibeth,” sapanya seraya meraih kedua tangan Lizbeth.
Mora mengepalkan sebuah kalung bunga mungil yang terbungkus lapisan kristal, bunga itu terdapat di dalam sebuah liontin berwarna pink dan indah. Air matanya seketika tumpah.
“Kalung ini — aku pikir sudah hilang ....”
“Hari itu saya yang mengambilnya dari tempat Nyonya. Kalung ini adalah satu-satunya peninggalan mendiang Nyonya pertama. Kalung yang paling tidak disukai oleh Tuan.”
Lizbeth menggenggam kalung itu erat, lalu memeluk Mora penuh haru. “Terima kasih, Mora … tapi sebaiknya kamu tidak terlalu lama bicara denganku. Jika mereka tahu, kamu bisa dalam masalah.”
Mora mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Dengan langkah berat, Lizbeth pergi meninggalkan rumah yang pernah ia cintai. Ia menatap ke belakang untuk terakhir kali.
‘Pada akhirnya, aku benar-benar disingkirkan dari rumahku sendiri.’
Waktu telah berlalu, dan akhirnya Lizbeth kembali bekerja setelah menghabiskan satu minggu masa cutinya di sebuah penginapan. Pagi itu, sebelum berangkat kerja, ia hanya memakan sepotong roti demi menghemat pengeluaran. Setelah itu, ia menaiki bus menuju tempat kerjanya. Lizbeth bekerja sebagai resepsionis di sebuah perusahaan Real Estate."Aku dengar pernikahannya gagal! Kekasihnya malah menikahi kakaknya.""Pasti kakaknya lebih cantik. Sampai sekarang aku masih heran, kok bisa si cupu kayak dia kerja di sini.""Katanya, dia sempat menggoda kepala divisi kita."Lizbeth yang sedang berada di dekat loker pura-pura tidak mendengar apa pun. Ia memilih mengabaikan komentar menyakitkan itu. Hingga tiba-tiba, suara pintu loker dibanting keras membuat semua terdiam.“Jaga bicara kalian. Hati Lilibeth, jauh lebih cantik daripada mulut kalian berdua!” tegur Grace teman dekat Lizbeth.Kedua perempuan yang membicarakan Lizbeth pergi. Grace menghampiri Lizbeth yang kini menutup lokernya dengan ten
‘Mungkin ini hanya perasaanku saja.’“Sebaiknya kamu jangan melamun. Jika CEO killer melihatnya, kamu bisa habis diomelinya.”“CEO Killer?” tanya Lizbeth saat ia dan Angela berjalan kembali ke meja resepsionis.“Kamu tidak tahu CEO kita?”Lizbeth menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu apa pun.”“Ada desas desus kalau bos kita keturunan mafia! Dia sangat kejam, resepsionis sebelummu, hanya bertahan selama satu minggu!” bisik Angela.Mendengar cerita Angela, membuat Lizbeth cemas. Dapatkah dia bertahan, bagaimanapun dia membutuhkan uang.Angela memandang Lizbeth dari atas sampai ujung kakinya. Angela menggelengkan kepala. Memuat Lizbeth mengerutkan keningnya.“Jujur saja, kamu tidak cantik. Sebagai resepsionis, kita harus tampil menarik. Ada baiknya kamu tak lagi memakai kacamata, pakailah lensa kontak. Dan makeup-mu... duh, lalu gaya rambutmu itu, kuno sekali. Sepertinya kamu tidak akan bertahan lama di sini.”Lizbeth terkejut. Matanya melotot. “Apa maksudmu?”Angela tidak lagi menj
Rapat itu membahas strategi penjualan properti baru yang akan segera digarap oleh KINGSLEY Properti. Target utama mereka adalah perumahan kelas elit yang ditujukan untuk para konglomerat.“Perbarui izin pembangunan. Untuk desain, kali ini saya ingin mengadakan sayembara. Masalah anggaran, diskusikan dengan sekretaris saya. Rapat selesai.”Lucien berdiri, meninggalkan ruang rapat, diikuti oleh Kilian. Ia langsung kembali ke ruang kerjanya, dan tidak lama kemudian Kilian menyerahkan sebuah dokumen penting yang Lucien minta.Di waktu yang berbeda Lizbeth sedang membuat laporan di depan komputernya, telepon kantor berdering. Ia mengangkatnya, lalu segera pergi menemui manajernya.“Ibu memanggil saya?” tanya Lizbeth yang berdiri di hadapan Sonia.Sonia mengisyaratkan agar Lizbeth duduk. Entah kenapa, firasat Lizbeth merasa tidak enak.“Lizbeth, saya senang sekali kamu bisa bergabung dengan perusahaan ini. Kamu cekatan dalam bekerja. Tapi, maaf … kamu tidak bisa lagi melanjutkan pekerjaan d
“Lucien, jangan, uuuh!”Lizbeth merasakan napas Lucien yang mulai memburu. Dia sadar, pria itu tak akan menggubris permohonannya, apalagi melepaskannya.Kemejanya kini terbuka sepenuhnya, memperlihatkan bra dan tanda merah yang belum sepenuhnya pudar dari malam itu. Lizbeth merasa malu setengah mati. Saat Lucien melihatnya.Tanpa diduga, Lucien membuat tanda di tempat yang sama. Lizbeth menggigit bibirnya saat sensasi malam itu kembali menyeruak. Setelah selesai membuat tanda merah di tempat yang sama, Lizbeth melihat ekspresi puas di wajah Lucien.“Aku mohon lepaskan aku!” pinta Lizbeth, matanya mulai berkaca-kaca.Lucien mendekatkan wajah ke telinganya. Lizbeth mengira ia akan membisikkan sesuatu, tapi yang terjadi, Lucien justru mengecup telinganya, lalu kembali melumat bibirnya dengan paksa.Tubuh Lucien sepenuhnya mendominasi, hampir menindih Lizbeth. Dia tak punya ruang untuk melawan. Ciuman Lucien makin liar. Membuat Lizbeth semakin tidak bisa melawan. Tangannya merobek paksa ba
Malam itu Lizbeth mabuk. Ia menghabiskan waktu di bar, untuk melupakan rasa sakit di hatinya. Lizbeth menari-nari dalam keadaan sempoyongan saat hendak meninggalkan bar. Wajahnya tertunduk, langkahnya tak terarah, hingga tanpa sengaja ia menabrak Lucien dan jatuh ke pelukannya. Peristiwa itu berakhir dengan malam panas yang tak pernah ia duga.Andai saja Lizbeth tahu Lucien akan menjadi atasannya, dia tak akan pernah membiarkan dirinya terlibat sejauh itu. Meniduri pria yang kini menjadi bosnya hanya menambah panjang daftar masalah dalam hidupnya.Meski tak tahu pasti apa yang ada di benak Lucien, setidaknya saat ini dia masih memiliki pekerjaannya. Dengan begitu ia dapat bertahan. Lizbeth berniat untuk menjaga jarak, agar tidak menyinggungnya lagi. Serta berharap pria itu bisa melupakannya.***Pagi itu Angela melongo ketika melihat Lizbeth baru tiba di ruang loker."Gila, kupikir kamu nggak bakal balik lagi," ucapnya heran."Aku harus bertahan hidup," sahut Lizbeth pelan sambil menut
Lizbeth melotot, merasakan napas hangat Lucien menyapu telinganya. Namun, pria itu tidak melanjutkan ucapannya. Lizbeth pun berdiri tegak dengan rahang mengeras.“Nanti, Kilian akan memberitahumu. Kau… sama sekali tidak boleh menolak.”“Baik Pak,” jawab Lizbeth.Lucien mengangkat tangan, memberi isyarat agar Lizbeth segera keluar dari ruang kerjanya. Tanpa membalas sepatah kata pun, Lizbeth membungkuk lalu berbalik dan pergi.Lizbeth menghela napas seraya menunggu lift terbuka. Dia pun masuk ke dalam lift, dan tidak lama lift kembali terbuka. Beberapa pegawai masuk ke dalam lift.Di dalam lift, beberapa pegawai langsung menatap sinis padanya. Tatapan itu bukan sekadar tidak suka, ada penilaian kejam di dalamnya. Mereka sengaja membisikkan kalimat-kalimat tajam tepat di hadapan Lizbeth.“Kau sudah dengar. Akhir-akhir ini dia sering sekali naik ke lantai tertinggi.”“Aku juga mendengarnya. Dia pasti sedang menggoda CEO kita, wajar saja dia melakukan itu. Aku dengar kekasihnya pergi menik
Martha, Mateo, Valeria, dan Elmer masih membeku dalam keterkejutannya. Lizbeth menatap orang-orang yang selama ini menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Dingin. Tegas.“Mereka keluarga saya,” jawab Lizbeth dengan sorot tajam menusuk. Pandangannya menghantam Martha, lalu bergeser ke Elmer yang masih terpaku menatapnya.Senyum tipis ... nyaris seperti ejekan, terukir di wajah Lucien. Matanya tak lepas dari ekspresi Lizbeth, mengamati tiap detailnya.“Oh… menarik,” gumam Lucien, yang saat ini sedang mengamati ekspresi Lizbeth dan tidak teduga.Mateo tersenyum kaku. Udara di sekeliling terasa membeku, dan ia mencoba mencairkan suasana yang kian menusuk. Sementara Martha menatap Lizbeth dengan pandangan yang sudah tak lagi menyembunyikan kebencian. Di sisi lain, Valeria merapatkan cengkeramannya pada tangan Elmer, seolah hendak menunjukkan siapa yang sekarang memiliki pria itu.“Emh, Tuan Lucien, bagaimana Anda bisa mengenal putri saya?” tanya Mateo, berusaha tetap tenang, meski matanya ber
Lizbeth terbelalak. Air matanya menetes, hatinya terasa dicabik, dipenuhi luka dan kecewa yang menyayat.“Urusan keluargamu tidak ada hubungannya denganku. Memecat atau menginjaknya, itu urusanku,” ucap Lucien dingin, suaranya setajam bilah pisau.Ia membalikkan tubuh, melangkah pergi. Suara dinginnya kembali terdengar, menusuk hati Lizbeth. “Sampai kapan kau akan diam saja? Apa kau ingin dipecat?” ejeknya tajam.Lizbeth menatap Mateo dalam kesedihan. Langkah berat oleh rasa kecewa. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, sebanyak apa pun ia mencoba menjelaskan. Mateo tetap tidak akan percaya. Baginya, Martha dan Valeria selalu benar. Sementara dirinya, darah daging Mateo, justru tak berarti apa-apa. Dan selalu salah di matanya.Lucien meninggalkan pesta, dan Mateo tidak sanggup menghentikannya. Pria itu masuk ke mobil, disusul oleh Lizbeth. Tak lama, mobil melaju menjauh dari rumah Mateo. Tempat perayaan pernikahan Valeria dan Elmer tengah berlangsung megah. Acara yang juga menjadi ajang se
Lizbeth mendongak, melonggarkan pelukan Lucien. Dengan suara bergetar, ia berusaha tersenyum di tengah isak tangisnya. “Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku ingin percaya... aku ingin bersamamu, Lucien. Tapi, bisakah kamu bersabar denganku?”Lucien menatapnya dalam sebelum mengangguk, lalu mengecup keningnya penuh kesabaran. “Tentu,” ucap Lucien, lalu memeluknya kembali.Lizbeth tersenyum. Pelukan hangat Lucien hampir membuatnya kehilangan napas. Setelah beberapa saat, Lucien melepaskan pelukannya. Mereka duduk saling berhadapan, dan Lucien memegang kedua tangan Lizbeth dengan erat, tatapan matanya lembut dan penuh arti."Lucien," panggil Lizbeth pelan. "Aku harap, mulai sekarang kita bisa lebih terbuka satu sama lain. Kamu tahu banyak tentangku, dan aku juga ingin tahu semua tentangmu. Jangan ada yang disembunyikan, kita bisa mendiskusikan semuanya, terutama karena aku sekarang bekerja di bawahmu."Lucien mengangguk pelan. "Baiklah," jawabnya lembut."Ada satu hal lagi. Aku ingin me
Lizbeth sama sekali tidak terkejut dengan ucapan Lucien. Ia tahu, seorang Lucien tidak akan pernah menarik kembali ucapannya. Namun, meski tak ingin memikirkannya lebih jauh, tetap ada rasa tak nyaman di lubuk hatinya. Bagaimanapun, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk membalas dendam pada Elmer.Malam itu, Lizbeth memilih tidur. Sementara ponselnya kembali disita oleh Lucien. Kini, Lizbeth hanya menggunakan ponsel kantor. Ia tak bisa membantah. Kekuasaan Lucien jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.Lucien tak ingin Lizbeth membaca pesan-pesan tidak berguna dari orang-orang yang selama ini menyakitinya. Maka hari itu, tak ada satu pun panggilan atau pesan dari Martha dan Valeria yang sampai ke Lizbeth. Semuanya telah dihapus oleh Lucien. Bahkan, lebih jauh lagi, Lucien sudah memblokir mereka.Meski kelopak matanya tertutup, hati Lizbeth masih berbicara. Mengapa Lucien melakukan semua ini kepada perempuan yang baru saja ia cintai? Apakah ini bagian dari pembuktian,
Lizbeth mengernyitkan kening, lalu berdiri menatap Lucien yang tampak tenang. Pria itu seolah tak tergoyahkan sedikit pun oleh kekacauan yang sedang menimpa Elmer. Seolah masalah itu tak pernah ada."Kamu melakukan semua ini karena mereka menghinaku?" tanyanya dengan suara datar namun bergetar."Padahal aku sudah bilang, masalah ini tak perlu diperpanjang. Atau—" Lizbeth menatapnya lekat, seolah ingin membaca isi pikiran Lucien, " … kau memang punya maksud lain?" Lucien tak langsung menjawab. Ia hanya diam, matanya menatap Lizbeth dalam-dalam, hingga suara ketukan pintu memecah ketegangan.Lucien bangkit dan membuka pintu. Seorang pelayan hotel mendorong troli berisi makanan. Tidak lama setelah itu, pelayan pergi. Lucien mendorong troli masuk.Lizbeth refleks bergerak, bermaksud membantunya. Namun, tangan Lucien menahan."Biar aku saja," ucapnya singkat.Ia menyusun makanan di meja makan. Sementara Lizbeth berdiri mematung, matanya mengamati setiap gerak Lucien yang tetap tenang. Tak
Mendengar itu semua membuat matanya berkaca-kaca. Lizbeth tidak bisa menipu hatinya, kalau ucapan Lucien membuat hatinya hangat, membuatnya tersentuh.“Lucien, apa kamu selalu berkata semanis ini kepada semua perempuan?” tanya Lizbeth.Lucien menggeleng pelan. Mata yang semula memandangnya dingin, kini menatap penuh kehangatan. Lizbeth tidak percaya, pria tampan, kaya, bahkan dekat dengan kata sempurna. Mana mungkin tidak memiliki seseorang di hatinya? Kenapa harus dirinya. Apa hanya karena dirinya telah tidur bersama? Bukankah itu hal biasa bagi mereka? Kenapa Lucien seolah tergila-gila kepadanya?Lucien membelai wajah Lizbeth.“Kau hanya perlu tahu, aku milikmu. Dan kau milikku, kamu harus ingat ini.”Bagaimana mungkin Lizbeth melupakannya, semua kalimat yang pernah Lucien katakan padanya, tersimpan rapi di ingatannya. Lizbeth tersenyum, lalu menghela napas seraya mengangkat wajahnya. Kata-kata manis seperti ini memang hanya ia dapatkan dari Lucien.“Aku rasa kamu terlalu terobsesi
Lizbeth tercengang mendengar ucapan Lucien. Kelopak matanya bergetar, dan perlahan ia menghela napas."Aku tidak mau kamu menentukan hidupku, Lucien. Hidupku adalah tanggung jawabku sendiri."Lucien meraih dagunya, menatap mata Lizbeth dengan lembut, penuh kehangatan."Aku tahu, kalau aku mengaturmu, kamu pasti akan kabur dariku. Tapi aku tak akan membiarkan itu terjadi. Lakukanlah apa yang kamu sukai."Tangannya kembali membelai rambut Lizbeth, seolah gadis itu adalah putri kecil yang harus selalu dijaga.Setelah hampir enam jam penerbangan, Lizbeth akhirnya mengetahui ke mana tujuan akhir mereka—New York. Kota di mana kisah mereka bermula. Tapi benarkah New York adalah satu-satunya titik awal cerita itu? Hanya Lucien yang tahu jawabannya.Kini Lizbeth telah berganti pakaian kasual, Lizbeth turun bersama Lucien dan Kilian. Ternyata, bukan hanya di LA, di New York pun keluarga Kingsley memiliki landasan udara pribadi. Di seberang sana berdiri hanggar megah, bahkan lebih besar daripad
Ya, saat ini ada Lucien yang berada di sisinya,melindunginya, menjaganya. Lucien benar-benar membuktikan bahwa dia adalah milik Lizbeth, dan Lizbeth adalah miliknya. Setiap ucapan Lucien malam ini menggugah hati Lizbeth, membuatnya terharu dalam diam.Tak sedikit mata memandang iri. Perlakuan Lucien terhadap Lizbeth membuat banyak orang tak habis pikir. Pria sesempurna seperti Lucien, bisa begitu setia dan penuh perlindungan. Bahkan membuat Valeria merasa iri, atas sikap Lucien malam ini.Tanpa banyak bicara, Lucien membawa Lizbeth menuju ruangan VIP yang sebelumnya disebutkan oleh Alex. Sementara itu, Alex sendiri mengusir Elmer dan Valeria dengan tidak hormat. Keduanya telah menciptakan kegaduhan dan menyebarkan fitnah yang tak bisa dimaafkan.“Pak Lucien, aku mohon, maafkan aku. Lizbeth, aku mohon, maafkan aku…” Suara Elmer terdengar getir, penuh rasa sesal.Sorot mata mencemooh dari para tamu menghantam Valeria seperti tombak. Wajahnya memucat, tubuhnya kaku. Ia bahkan tak mampu m
Lizbeth dan Lucien menoleh bersamaan. Suasana mendadak terasa kaku, sorot mata orang-orang di sekitar mereka perlahan tertuju pada satu sosok Valeria.Tatapan Lizbeth dan Valeria bertemu. Dada Lizbeth berdegup keras, ada luka lama yang kembali menganga. Luka yang baru saja mulai mengering, kini kembali disayat hanya dengan satu tatapan dari wanita yang pernah merebut segalanya darinya.Lucien menggenggam tangan Lizbeth lebih erat, seolah menyalurkan ketenangan dan perlindungan lewat genggaman itu. Tatapan matanya tajam namun hangat, meyakinkan Lizbeth bahwa dia tidak sendirian.Namun, senyum miring Valeria menyulut bara. Senyum yang mengandung ejekan, seolah ingin menyalakan bara api di tengah pesta acara amal yang dipenuhi orang penting.“Sepertinya rencanamu untuk menggoda Lucien sudah berhasil. Selamat,” ucap Valeria dingin, namun nadanya tajam menampar harga diri Lizbeth.Seisi ruangan perlahan menoleh, bisikan-bisikan kecil terdengar di antara para tamu. Sorot mata mereka mulai b
Sorot mata Lucien memancarkan kerinduan yang terpendam begitu lama. “Saya mengerti, Tuan,” ucap Kilian, suaranya tenang namun tegas.Sejak malam panas yang tak terlupakan itu, Lizbeth terus menghantui pikiran Lucien. Ia tak bisa melupakannya. Suara lembut Lizbeth, aroma tubuhnya, hingga tanda lahir kecil di telinga kirinya. Semuanya terekam jelas di ingatannya. Lucien memanfaatkan semua koneksi yang ia miliki untuk mencari wanita itu, bahkan memerintahkan Kilian memeriksa rekaman CCTV di seluruh penjuru New York.Kamera demi kamera diperiksa. Setiap gerakan Lizbeth dilacak sejak ia meninggalkan hotel malam itu. Dari sinilah mereka tahu tempat-tempat yang dikunjungi Lizbeth sebelum pertemuan mereka yang kedua di kantor.Lucien tak sekadar yakin, ia sudah tahu. Semua petunjuk mengarah pada satu nama, Lizbeth. Wanita itu menyembunyikan kecantikannya ... tidak hanya dari dunia, tapi juga dari dirinya sendiri. Ketika Lucien tahu kebenarannya, ia tak hanya merasa terkejut... tapi terpukul.
“Tidak. Terima kasih,” jawab Lizbeth tersenyum lalu pergi.Lucien tersenyum, lalu dia mandi. Lizbeth masuk ke dalam kamarnya yang berseberangan dengan kamar Lucien.Lizbeth mengambil ponsel dalam tasnya. Dia melihat ada beberapa pesan masuk ke dalam ponselnya.[Aku sudah mengatur perjodohanmu. Kamu harus menikahi pria yang kupilih. Tidak ada penolakan. Ini kesempatan terakhirmu. Jika kamu menolak, aku tidak akan memberikan saham perusahaan sepeserpun padamu. Jangan salahkan aku jika aku membongkar makam ibumu.]Lizbeth tercengang dengan isi pesan menohok dari Mateo. Lizbeth mengepal tangannya, dia tidak menyangka Mateo sampai seperti ini menekannya. Lizbeth menghela napas, ia membenamkan wajahnya dan menunduk.“Apa yang harus aku lakukan sekarang. Keluar dari rumah pun, kau masih mengancamku.”Sejujurnya Lizbeth sudah tidak ingin berurusan dengan sang ayah. Bagaimanapun, dia sudah kecewa. Kesabarannya juga ada batasannya. Selama ini dia selalu mengalah dan mengalah, dia sudah mengorba