Eve membuka mata dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya saat baru saja terbangun, keringat bahkan bermanik di kening dan pelipis. Dia baru saja bangun dari mimpi buruk hingga membuatnya begitu ketakutan.
Eve memandang langit-langit kamar yang ditempatinya sekarang. Ini bukan kamar asrama, hingga Eve baru menyadari jika berada di rumah sakit saat mencium bau disinfektan yang begitu kuat, apalagi tangannya juga terpasang selang infus.
“Kenapa aku di rumah sakit lagi?” Eve merasa kepalanya pusing, sampai dia agak menekannya kuat-kuat.
Eve mencoba mengingat yang terjadi, hingga dia baru ingat kalau tadi pingsan saat melihat Kaivan ada di hadapannya. Sejak kejadian di villa, entah kenapa Eve langsung lemas saat berjumpa dengan CEO perusahaannya itu.
Eve menghela napas kasar, sepertinya selain panik, dia juga kelelahan dan stres sehingga berakhir di sana. Dan, Eve bertanya-tanya, apakah Kaivan yang membawanya ke rumah sakit?
Eve akhirnya bangun dari tempat tidur. Dia turun dari ranjang sambil memegang kantong infus untuk mencari perawat kenapa bisa ada di sana.
Saat baru saja keluar dari kamar, Eve melihat seorang wanita paruh baya kesusahan mendorong tiang infus yang dibawa wanita itu.
"Bibi, biar saya bantu," ucap Eve meminta izin lebih dulu.
Wanita paruh baya itu menoleh hingga melihat Eve yang memakai baju pasien, membuatnya langsung bisa menebak siapa wanita itu.
"Kalau kamu tidak kesusahan, aku berterima kasih ada yang membantu," ucap wanita itu.
Eve tersenyum meski mukanya tampak pucat. Dia kemudian membantu mendorong tiang infus itu menuju ruang inap wanita paruh baya itu, meskipun diri sendiri kesusahan membawa kantong infusnya.
"Terima kasih, kamu baik sekali," ucap wanita paruh baya, "siapa namamu? Aku Maria."
"Saya Eve. Bibi kesusahan, jadi sudah sewajarnya saya menolong," balas Eve.
Wanita itu mengangguk mendengar balasan Eve, dia kagum karena Eve mementingkan dirinya daripada sendiri padahal sama-sama sedang sakit.
"Di mana kamar Bibi?" tanya Eve saat berjalan bersama Maria.
"Ada di depan sana, bangsal itu." Maria menunjuk ke arah kamarnya berada.
Eve mengangguk lalu berjalan pelan bersama Maria, hingga saat memasuki koridor bangsal itu, ternyata tempat itu khusus kamar VVIP di rumah sakit. Tentu saja Eve terkejut saat masuk kamar Maria, apalagi kamar VVIP di sana sangat mewah, ranjang di dalamnya juga besar dengan fasilitas lemari pendingin juga ada ranjang khusus pengunjung dan sofa tamu yang nyaman.
Sepertinya Maria bukan dari kalangan biasa seperti dirinya. Begitulah pemikiran Eve saat ini.
"Terima kasih banyak, ya." Maria berucap sambil menatap Eve dengan senyum hangat di wajah.
Eve mengangguk, lalu pamit harus pergi karena ingin menemui perawat.
Saat Eve akan keluar dari kamar itu, dia terkejut saat melihat siapa yang masuk ke ruangan itu.
"Kai, kamu datang. Kebetulan sekali, aku bertemu dengan gadis ini yang tadi menolongku. Siapa namamu tadi, Eve ya?" Wanita paruh baya itu memastikan nama Eve.
Eve menganggukkan kepala, ekspresi wajahnya berubah panik saat melihat Kaivan.
"Ibu pergi keluar tanpa perawat lagi?" tanya Kaivan menebak karena Maria sering sekali keluar dari kamar tanpa pengawasan perawat.
"Ibu hanya jalan-jalan sebentar, untung ada Eve yang bantu ibu membawa tiang infusnya," balas Maria agar tidak terkena amuk putranya.
Eve bingung harus bagaimana, apalagi jalannya ditutup Kaivan yang berdiri berjarak dua langkah darinya.
Maria melihat Eve yang terlihat panik dan takut, hingga kemudian berkata, "Dia putraku, mumpung dia datang membawa sup, apa kamu tidak mau makan bersama kami dulu?"
Eve terkejut dan bingung, dia melihat Kaivan membawa termos di tangan. Dia ingin menolak tapi Maria memaksanya.
"Kai, ajak dia duduk dulu. Wajahnya terlihat pucat, dia pasti lapar," ucap Maria meminta Kaivan mengajak Eve duduk.
Eve menatap Kaivan yang sudah memandangnya. Pria itu mengambil kantong infus dari tangan Eve, sehingga membuat Eve ikut ke arah Kaivan berjalan. Mau tidak mau, akhirnya Eve di sana karena takut dengan Kaivan.
Eve diam saat melihat Kaivan menuang sup ke mangkuk, hingga Eve sangat terkejut melihat tatapan lembut dan hangat Kaivan ke Maria. Dia tentunya tak menyangka, jika atasannya yang terkenal dingin dan tegas, ternyata memiliki sisi hangat yang mengagumkan.
Kaivan lantas menyodorkan mangkuk berisi sup ke Eve, membuat Eve mendadak kaku dan rasanya membeku di tempat.
“Eve, minum kuah supnya biar tubuhmu agak hangat,” kata Maria membujuk Eve.
Eve agak canggung, tetapi menerima semangkuk sup yang diulurkan Kaivan.
“Terima kasih,” ucap Eve lirih tanpa berani menatap ke Kaivan.
Maria terus menatap ke Eve yang tak berani memandang Kaivan, lalu wanita itu memiliki pemikirannya sendiri.
“Apa kamu takut dengan putraku?” tanya Maria.
Eve terkejut sampai tersedak karena pertanyaan Maria. Dia terbatuk tapi berusaha keras untuk meredam batuknya.
“Reaksimu ini, menunjukkan kalau kamu memang takut dengan putraku. Dia pasti terlihat dingin dan galak, sampai kamu takut. Tapi dia sebenarnya baik, kamu jangan cemas,” kata Maria lagi lalu melirik Kaivan.
Eve canggung sampai tak bisa berkata-kata karena ucapan Maria, sedangkan Kaivan merasa tak nyaman dengan anggapan itu.
“Kamu ini sepertinya lemah lembut dan baik, dilihat dari wajahmu yang tidak membosankan, tebakanku pasti benar, kan?” tanya Maria, “Kalian memiliki sifat yang bertolak belakang, kalau disatukan pasti cocok karena bisa melengkapi satu sama lain,” ujar Maria lagi lalu tertawa kecil.
“Bu.” Kaivan mulai tak nyaman karena sang ibu bicara banyak hal dan merambah ke mana-mana.
“Kenapa? Apa ibu salah bicara? Ibu ini hanya bicara sesuatu dari apa yang ibu lihat. Ibu tidak pernah salah ketika menilai orang, iyakan Eve?” Maria bicara panjang lebar, lalu meminta pendapat Eve.
Eve hanya tersenyum canggung karena bingung.
“Ibu jangan bicara aneh-aneh lagi. Jangan memulai pembahasan yang membuat tak nyaman,” ujar Kaivan akhirnya bicara setelah sejak tadi diam.
Eve langsung melipat bibir mendengar ucapan Kaivan, setidaknya perkataan Kaivan bisa membuat Maria berhenti bicara soal mencocokkan kepribadian mereka yang membuatnya sangat canggung.
"Kalau Eve tidak punya kekasih, bukankah tidak masalah jika kalian dekat? Apa kamu punya kekasih, Eve?" tanya Maria penasaran.
"Bu!" Kaivan bicara dengan nada tinggi karena pertanyaan Maria.Eve terkejut mendengar pertanyaan Maria, hingga tanpa sengaja melirik ke Kaivan yang hanya diam."Tidak," jawab Eve lirih.Tanpa Eve sadari, setelah dia menjawab itu, Kaivan yang kini menoleh ke arahnya.**Eve masih dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang belum membaik. Siang itu dia baru saja keluar dari kamar mandi sendirian membawa botol infus di tangan kiri. Saat keluar dari kamar mandi, Eve terkejut melihat Kaivan ada di ruang inapnya.Apa pria itu salah masuk kamar? Mana mungkin salah masuk? Padahal bangsal tempatnya dan Maria dirawat jelas berbeda.Kaivan menatap Eve yang baru saja keluar dari kamar mandi. Sekali lagi Kaivan menyadari kalau Eve sangat takut kepadanya."Kenapa Anda ada di sini?" tanya Eve memberanikan diri meski begitu gugup melihat tatapan Kaivan.Eve mencoba berjalan ke arah ranjangnya karena semakin lama berdiri berhadapan dengan Kaivan, membuat kedua kakinya semakin lemas.Namun, dia terla
“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” Eve tentunya penasaran, apalagi mereka tak pernah berinteraksi lebih selain membahas pekerjaan. Ini membuat Eve merasa aneh.Eve masih menatap panggilan dari Grisel. Dia bingung harus bagaimana, sampai akhirnya dia menjawab panggilan Grisel karena berpikir jika Grisel menghubungi untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan.“Halo.” Eve menjawab dengan ragu.“Kamu benar-benar sudah baik-baik saja? Apa kamu butuh sesuatu? Aku bisa membawakan apa yang kamu butuhkan.”Eve mengerutkan alis, apa maksudnya itu? Kenapa Grisel tiba-tiba sangat perhatian? Ini berlebihan baginya, apalagi mereka tidak sedekat itu.“Tidak usah, aku tidak membutuhkan apa pun. Perawat di sini sudah menyediakan segalanya untukku,” tolak Eve karena tak ingin berhutang budi pada Grisel.“Kamu yakin?” tanya Grisel terdengar memaksa.“Ya,” balas Eve, “Aku mau istirahat, aku tutup teleponnya.” Setelah itu Eve mengakhiri panggilan. Dia tak ingin terlibat banyak percakapan dengan Grisel.
Eve terbangun di pagi hari dengan kondisi lebih segar. Dia menoleh ke meja kecil di samping ranjang, hingga terkejut saat melihat ada kantong plastik di sana.Dahi Eve berkerut halus. Dia mencoba bangun lalu melihat apa isi kantong plastik itu.“Makanan?”Eve keheranan, lalu membuka pembungkus makanan yang sudah dingin.“Siapa yang mengirimnya?”Eve bertanya-tanya karena semalam merasa tak ada yang datang, tapi kenapa ada makanan di sana. Jika sang kakak yang datang, kenapa tidak membangunkannya.Eve tentunya merasa aneh, apalagi sayang karena makanan itu sudah tidak enak dimakan.__Setelah dirawat dua hari, akhirnya Eve diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Eve merasa lega, setidaknya dia takkan menjadi beban dan menambah kecemasan sang kakak jika terus dirawat.Eve keluar dari rumah sakit sendiri karena Bram bekerja hari itu. Dia sengaja meminta Bram tidak menjemputnya karena tak ingin mengganggu pekerjaan sang kakak.Eve ingin pergi ke halte bus terdekat, tapi saat akan keluar d
“Apa Anda ada perlu dengan saya?” tanya Eve tak bisa lari meski ingin, kedua kakinya terasa kaku dan seperti membatu di tempatnya berdiri sekarang. Kaivan sudah berada di depan pintu kamar asrama Eve, tentu saja hal itu membuat Eve sangat terkejut. Setelah bersyukur karena seharian tidak bertemu dengan pria itu, kenapa harus bertemu di depan kamarnya.Eve memeluk kedua lengan karena tubuhnya basah dan pakaiannya sedikit menerawang. Dia ingin maju dan mengabaikan tapi siapa sangka pria berbadan tegap dan tinggi itu mendekatinya lebih dulu.Kaivan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan. Dia datang karena memang ada yang ingin dipastikan. Hingga tatapan Kaivan tertuju ke kemeja putih Eve yang sedikit menerawang karena tidak tertutup blazer, dia melihat ada bekas kemerahan sedikit ungu di balik kemeja itu tepat di atas bagian tulang selangka Eve.Dahi Kaivan berkerut halus melihat bekas itu, lalu tatapannya kembali tertuju ke wajah Eve.Melihat tatapan Kaivan mengarah kepada bajunya yang
“Damian? Kenapa dia keluar dari sana?” Eve benar-benar terkejut dengan kemunculan Damian di sana.Eve terlihat bingung harus bagaimana, tapi karena sudah terlanjur di sana, membuat Eve tetap berjalan ke arah kamar Maria.Saat Eve berjalan ke sana, Damian menoleh ke arah Eve, hingga pria itu terlihat terkejut tapi juga senang melihat Eve di sana.“Eve, lama tak berjumpa denganmu?” tanya Damian saat Eve sudah dekat dengannya.Eve ingin menjawab, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu dan kaku. Bahkan ekspresi wajahnya tampak datar.“Kamu sakit? Atau kakakmu sakit?” tanya Damian mencoba mengajak bicara Eve yang hanya diam.Bagaimana Eve tidak diam, dia harus bertemu dengan pria yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Pria yang sangat dipercayai tapi menghancurkan kepercayaan itu hingga runtuh tak bersisa.“Aku datang untuk menjenguk seseorang,” jawab Eve datar agar Damian juga sadar diri kalau dirinya takkan bersikap sama seperti dulu.Damian melihat tatapan tak senang di mata Eve,
Siang harinya. Eve dan Grisel menghadiri rapat perusahaan. Keduanya duduk tak berdekatan..“Apa kamu tahu, aku dengar Pak Kaivan mencari pemilik bros yang tertinggal di villa,” bisik salah satu staff lainnya.Grisel mendengar suara staff yang sedang bergosip sebelum rapat dimulai karena dia duduk di dekat staff itu. Dia menajamkan pendengaran ingin mendengar jelas apa yang dibicarakan keduanya.“Betul, tapi sepertinya sampai sekarang belum ada yang mengaku bros siapa itu.”“Iya, apalagi katanya pemilik bros itu masuk kamar Pak Kaivan saat malam hari, karena itu Pak Kaivan mencarinya.”“Masuk? Masuk bagaimana maksudmu? Masuk saja atau mereka ….”Staff satunya langsung memberi isyarat agar tidak dilanjutkan atau akan membuat mereka mendapat masalah jika ada yang mendengar. Mereka pun akhirnya diam setelah bergosip tentang atasan mereka.“Bros?” Dahi Grisel berkerut halus, apalagi saat mendengar kalau pemilik bros masuk kamar Kaivan saat di villa. Dia diam sesaat lalu menoleh ke Eve dan t
Dahi Kaivan berkerut halus mendengar jawaban Grisel, lalu memandang ke bros yang dipegangnya. Dia tidak percaya kalau Grisel adalah pemilik bros itu, tapi mengingat nama tengah Grisel berinisial E juga tanda merah di bagian atas tubuh Kaivan, membuat pikiran Kaivan goyah. “Jadi, malam itu kamu yang masuk ke kamarku?” tanya Kaivan dengan kedua alis saling bertautan saat menatap Grisel.Grisel masih menundukkan kepala, sikapnya seperti menunjukkan sebuah keraguan tapi itu hanya sebuah sandiwara.“Sa-saya ….” Grisel bersandiwara seperti takut, tapi sebenarnya hal itu hanya untuk meyakinkan Kaivan saja.“Katakan saja, apa benar kamu yang masuk ke kamarku malam itu?” tanya Kaivan lagi dengan sedikit nada penekanan.Grisel langsung berlutut saat mendengar kedua kalinya Kaivan menanyakan hal itu.Kaivan terkejut karena Grisel sampai berlutut, tapi dia tetap memasang wajah datar.“Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya mabuk dan tidak tahu itu kamar Anda, saya ingin bilan
“Ini Grisel, dia salah satu staff di perusahaan. Dia bekerja menjadi salah satu tim asistenku,” ujar Kaivan menjelaskan siapa Grisel.Kaivan mengajak Grisel duduk di ruang keluarga setelah ketegangan yang terjadi karena Maria tak menyukai Grisel.Maria tetap memandang dengan rasa tak suka, tapi dia berusaha mengabaikan itu.“Berarti dia kenal dengan Eve juga?” tanya Maria setelah mendengar penjelasan Kaivan. "Iya, saya kenal Eve, Bibi. Bahkan kenal baik dari kami masih sekolah," jawab Grisel mencoba masuk ke pembicaraan agar dilihat Maria.Maria tak menanggapi berlebih, hanya melirik sekilas ke Grisel, lalu menatap ke Kaivan lagi.“Oh ya, bagaimana kabar Eve?” tanya Maria lagi begitu antusias jika membahas tentang Eve.Grisel merasa kesal karena Maria mengabaikannya dan lebih fokus ke Eve, bahkan dia sampai meremas ujung pakaian yang dipakai karena geram.“Dia baik dan sehat,” jawab Kaivan karena sekilas itulah yang dilihatnya dari Eve saat di kantor.“Baguslah,” balas Maria bernapas