Eve tak menyangka bertemu dengan Grisel saat akan masuk lift. Dia benar-benar sakit hati ke Grisel karena perbuatan sahabat baiknya itu padanya dulu. Eve masih ingat akan kejadian di mana Grisel tega berselingkuh dengan kekasihnya. Eve sendiri tidak pernah menyangka jika kejadian itu akan menimpa dirinya.
Eve selalu berpikir jika perselingkuhan antara kekasih dan sahabat sendiri adalah kejadian klise yang ditulis oleh seorang penulis film atau drama, tapi siapa sangka kejadian itu benar nyata menimpa dirinya. Dan, yang melakukan itu adalah sahabat yang sangat dipercayainya.
Masih terbayang begitu nyata di ingatan Eve saat dia begitu terkejut melihat kekasihnya sendiri berselingkuh dengan sahabat baiknya. Perasaannya hancur dan terkhianati saat membuka pintu asrama kampus hari itu lalu melihat Grisel dan Sam sedang memadu kasih.
Hati siapa yang tidak hancur melihat semua itu, terlebih keduanya lalu berkata jika khilaf? Sungguh Eve begitu muak saat itu. Pembelaan keduanya membuat Eve jijik.
Walau saat ini Eve dan Grisel menjadi rekan kerja, tetap saja Eve tidak bisa melupakan kejadian itu.
Satunya sahabat yang paling dia sayangi, satu lainnya adalah pria yang paling dia andalkan selain sang kakak. Mereka menggunakan cara kotor dan tajam untuk menyakiti hati Eve. Menorehkan luka begitu dalam dan sukar untuk disembuhkan.
Eve menghela napas kasar mengingat betapa dalam sakit hatinya ke Grisel. Dia kini hanya menatap datar ke Grisel yang memandangnya.
Eve melihat Grisel tampak kikuk, tapi dia tidak peduli.
“Kamu mau pergi?” tanya Grisel setelah pertanyaan pertamanya tidak dijawab.
Eve hanya tersenyum samar sambil menundukkan kepala sejenak. Dia memilih mengalihkan pandangannya dari Grisel lalu menyeret kopernya masuk lift.
Grisel mengulum bibir karena Eve tak menjawab pertanyaannya, sedangkan Eve hanya diam dan memilih menekan tombol lift agar turun ke lantai satu.
Lagi pula, untuk apa menyapa Grisel? Bagaimanapun masa lalu telah berlalu dan Eve tak mau terlibat lagi dengan Grisel. Setelah Eve dan Sam putus, Eve juga mengakhiri hubungan persahabatannya dengan Grisel karena mempertahankan sama saja dengan membiarkan luka menganga semakin parah.
Pintu lift tertutup. Grisel menoleh ke Eve yang berdiri agak jauh darinya.
“Kamu mau ke mana membawa koper besar seperti itu?” tanya Grisel tampaknya penasaran.
“Ini bukan urusanmu,” balas Eve dengan nada datar, bahkan menoleh ke Grisel saja tidak.
Grisel kembali diam, sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai satu.
Eve segera menarik koper keluar dari lift, dia mengabaikan Grisel karena sudah tahu sebusuk apa temannya itu. Dia terus menjaga jarak karena baginya Grisel hanya duri yang akan menancap di daging jika terus dipertahankan.
Eve memutuskan pergi ke asrama yang disediakan oleh perusahaan. Dia masuk ke kamar yang dulu pernah ditempatinya sebelum diminta pindah tinggal bersama sang kakak. Eve tak menyangka jika akhirnya dia harus kembali lagi ke tempat itu.
“Sepertinya ini lebih baik,” gumam Eve saat menatap kamar itu.
Dulu kamar itu ditinggali 4 orang termasuk dirinya, tapi sekarang hanya Eve yang akan tinggal di sana karena rekan kerjanya yang lain sudah pindah.
Eve meletakkan koper di dekat ranjang lalu dia membereskan kasurnya agar bisa segera beristirahat.
Saat Eve masih membereskan tempat tidur, ponselnya berdering hingga membuat Eve melihat siapa yang menghubunginya.
“Kak Bram.”
Eve bingung, haruskah menjawab panggilan itu atau tidak. Eve yakin kalau sang kakak menghubungi karena ingin bertanya ke mana dirinya. Namun, jika Eve tak menjawab panggilan itu, Bram pasti akan semakin cemas.
“Halo, Kak.” Eve akhirnya menjawab panggilan itu.
“Kamu di mana, Eve? Kenapa pakaianmu tidak ada di lemari juga barang-barang lain? Kamu pergi dari rumah?” tanya Bram terdengar panik dari seberang panggilan.
Eve menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.
“Iya, Kak.” Eve menjawab dengan tenang.
“Kenapa pergi? Lalu sekarang kamu di mana? Katakan di mana kamu sekarang, Kakak akan menjemputmu.”
Eve mendengar Bram yang sangat mencemaskan dirinya, bahkan dia mendengar Bram membentak Alana, mungkin Bram sudah tahu kalau Eve pergi karena Alana.
“Eve, kamu di mana? Kenapa diam? Aku akan menjemputmu, apa pun yang dikatakan kakak iparmu, jangan dimasukkan dalam hati.” Bram kembali membujuk.
“Tidak, Kak. Aku tidak akan pulang,” tolak Eve tegas.
“Kenapa?” tanya Bram dari seberang panggilan.
“Aku ingin mandiri dan tidak jadi beban lagi. Aku pergi juga bukan salah Kak Alana, jadi aku harap Kak Bram menghormati keputusanku dan jangan menyalahkan Kak Alana,” ucap Eve menjelaskan.
“Tapi Eve--”
“Kak, biarkan aku mencoba melakukan semuanya sendiri. Aku tahu Kakak cemas dan mengkhawatirkanku, tapi aku janji akan jaga diri baik-baik,” ucap Eve meyakinkan sang kakak.
Eve mendengar suara helaan napas dari seberang panggilan, lalu Bram kembali bicara.
“Jika memang itu yang kamu mau. Kakak juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi janji, jika memang kamu butuh bantuan atau mengalami kesulitan, kamu harus menghubungi Kakak,” kata Bram akhirnya.
Eve lega karena sang kakak mendukung keputusannya meski Bram terdengar seperti berat melepas.
“Iya, aku akan sering kasih kabar juga. Aku janji akan bekerja lebih keras dan membuat Kakak bangga,” ucap Eve kemudian.
Setelah mendapat balasan dari sang kakak. Eve mengakhiri panggilan lalu memandang nama sang kakak di layar ponsel. Eve tiba-tiba menangis, bahkan sampai sesenggukan karena sejak tadi sudah menahannya.
Saat Eve sedang menangis, ada suara ketukan pintu yang mengalihkan perhatiannya. Eve buru-buru menyeka air mata yang membasahi wajah, lalu berjalan ke pintu untuk melihat siapa yang datang.
Eve menarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan untuk mengatur emosinya, sebelum akhirnya membuka pintu.
Saat membuka pintu, Eve sangat terkejut ketika melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang.
“P-pak Kaivan?!” Eve mendadak gugup dan panik karena bertemu pria itu lagi.
Eve membuka mata dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya saat baru saja terbangun, keringat bahkan bermanik di kening dan pelipis. Dia baru saja bangun dari mimpi buruk hingga membuatnya begitu ketakutan.Eve memandang langit-langit kamar yang ditempatinya sekarang. Ini bukan kamar asrama, hingga Eve baru menyadari jika berada di rumah sakit saat mencium bau disinfektan yang begitu kuat, apalagi tangannya juga terpasang selang infus.“Kenapa aku di rumah sakit lagi?” Eve merasa kepalanya pusing, sampai dia agak menekannya kuat-kuat.Eve mencoba mengingat yang terjadi, hingga dia baru ingat kalau tadi pingsan saat melihat Kaivan ada di hadapannya. Sejak kejadian di villa, entah kenapa Eve langsung lemas saat berjumpa dengan CEO perusahaannya itu.Eve menghela napas kasar, sepertinya selain panik, dia juga kelelahan dan stres sehingga berakhir di sana. Dan, Eve bertanya-tanya, apakah Kaivan yang membawanya ke rumah sakit?Eve akhirnya bangun dari tempat tidur. Dia turun dari ranjan
"Bu!" Kaivan bicara dengan nada tinggi karena pertanyaan Maria.Eve terkejut mendengar pertanyaan Maria, hingga tanpa sengaja melirik ke Kaivan yang hanya diam."Tidak," jawab Eve lirih.Tanpa Eve sadari, setelah dia menjawab itu, Kaivan yang kini menoleh ke arahnya.**Eve masih dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang belum membaik. Siang itu dia baru saja keluar dari kamar mandi sendirian membawa botol infus di tangan kiri. Saat keluar dari kamar mandi, Eve terkejut melihat Kaivan ada di ruang inapnya.Apa pria itu salah masuk kamar? Mana mungkin salah masuk? Padahal bangsal tempatnya dan Maria dirawat jelas berbeda.Kaivan menatap Eve yang baru saja keluar dari kamar mandi. Sekali lagi Kaivan menyadari kalau Eve sangat takut kepadanya."Kenapa Anda ada di sini?" tanya Eve memberanikan diri meski begitu gugup melihat tatapan Kaivan.Eve mencoba berjalan ke arah ranjangnya karena semakin lama berdiri berhadapan dengan Kaivan, membuat kedua kakinya semakin lemas.Namun, dia terla
“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” Eve tentunya penasaran, apalagi mereka tak pernah berinteraksi lebih selain membahas pekerjaan. Ini membuat Eve merasa aneh.Eve masih menatap panggilan dari Grisel. Dia bingung harus bagaimana, sampai akhirnya dia menjawab panggilan Grisel karena berpikir jika Grisel menghubungi untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan.“Halo.” Eve menjawab dengan ragu.“Kamu benar-benar sudah baik-baik saja? Apa kamu butuh sesuatu? Aku bisa membawakan apa yang kamu butuhkan.”Eve mengerutkan alis, apa maksudnya itu? Kenapa Grisel tiba-tiba sangat perhatian? Ini berlebihan baginya, apalagi mereka tidak sedekat itu.“Tidak usah, aku tidak membutuhkan apa pun. Perawat di sini sudah menyediakan segalanya untukku,” tolak Eve karena tak ingin berhutang budi pada Grisel.“Kamu yakin?” tanya Grisel terdengar memaksa.“Ya,” balas Eve, “Aku mau istirahat, aku tutup teleponnya.” Setelah itu Eve mengakhiri panggilan. Dia tak ingin terlibat banyak percakapan dengan Grisel.
Eve terbangun di pagi hari dengan kondisi lebih segar. Dia menoleh ke meja kecil di samping ranjang, hingga terkejut saat melihat ada kantong plastik di sana.Dahi Eve berkerut halus. Dia mencoba bangun lalu melihat apa isi kantong plastik itu.“Makanan?”Eve keheranan, lalu membuka pembungkus makanan yang sudah dingin.“Siapa yang mengirimnya?”Eve bertanya-tanya karena semalam merasa tak ada yang datang, tapi kenapa ada makanan di sana. Jika sang kakak yang datang, kenapa tidak membangunkannya.Eve tentunya merasa aneh, apalagi sayang karena makanan itu sudah tidak enak dimakan.__Setelah dirawat dua hari, akhirnya Eve diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Eve merasa lega, setidaknya dia takkan menjadi beban dan menambah kecemasan sang kakak jika terus dirawat.Eve keluar dari rumah sakit sendiri karena Bram bekerja hari itu. Dia sengaja meminta Bram tidak menjemputnya karena tak ingin mengganggu pekerjaan sang kakak.Eve ingin pergi ke halte bus terdekat, tapi saat akan keluar d
“Apa Anda ada perlu dengan saya?” tanya Eve tak bisa lari meski ingin, kedua kakinya terasa kaku dan seperti membatu di tempatnya berdiri sekarang. Kaivan sudah berada di depan pintu kamar asrama Eve, tentu saja hal itu membuat Eve sangat terkejut. Setelah bersyukur karena seharian tidak bertemu dengan pria itu, kenapa harus bertemu di depan kamarnya.Eve memeluk kedua lengan karena tubuhnya basah dan pakaiannya sedikit menerawang. Dia ingin maju dan mengabaikan tapi siapa sangka pria berbadan tegap dan tinggi itu mendekatinya lebih dulu.Kaivan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan. Dia datang karena memang ada yang ingin dipastikan. Hingga tatapan Kaivan tertuju ke kemeja putih Eve yang sedikit menerawang karena tidak tertutup blazer, dia melihat ada bekas kemerahan sedikit ungu di balik kemeja itu tepat di atas bagian tulang selangka Eve.Dahi Kaivan berkerut halus melihat bekas itu, lalu tatapannya kembali tertuju ke wajah Eve.Melihat tatapan Kaivan mengarah kepada bajunya yang
“Damian? Kenapa dia keluar dari sana?” Eve benar-benar terkejut dengan kemunculan Damian di sana.Eve terlihat bingung harus bagaimana, tapi karena sudah terlanjur di sana, membuat Eve tetap berjalan ke arah kamar Maria.Saat Eve berjalan ke sana, Damian menoleh ke arah Eve, hingga pria itu terlihat terkejut tapi juga senang melihat Eve di sana.“Eve, lama tak berjumpa denganmu?” tanya Damian saat Eve sudah dekat dengannya.Eve ingin menjawab, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu dan kaku. Bahkan ekspresi wajahnya tampak datar.“Kamu sakit? Atau kakakmu sakit?” tanya Damian mencoba mengajak bicara Eve yang hanya diam.Bagaimana Eve tidak diam, dia harus bertemu dengan pria yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Pria yang sangat dipercayai tapi menghancurkan kepercayaan itu hingga runtuh tak bersisa.“Aku datang untuk menjenguk seseorang,” jawab Eve datar agar Damian juga sadar diri kalau dirinya takkan bersikap sama seperti dulu.Damian melihat tatapan tak senang di mata Eve,
Siang harinya. Eve dan Grisel menghadiri rapat perusahaan. Keduanya duduk tak berdekatan..“Apa kamu tahu, aku dengar Pak Kaivan mencari pemilik bros yang tertinggal di villa,” bisik salah satu staff lainnya.Grisel mendengar suara staff yang sedang bergosip sebelum rapat dimulai karena dia duduk di dekat staff itu. Dia menajamkan pendengaran ingin mendengar jelas apa yang dibicarakan keduanya.“Betul, tapi sepertinya sampai sekarang belum ada yang mengaku bros siapa itu.”“Iya, apalagi katanya pemilik bros itu masuk kamar Pak Kaivan saat malam hari, karena itu Pak Kaivan mencarinya.”“Masuk? Masuk bagaimana maksudmu? Masuk saja atau mereka ….”Staff satunya langsung memberi isyarat agar tidak dilanjutkan atau akan membuat mereka mendapat masalah jika ada yang mendengar. Mereka pun akhirnya diam setelah bergosip tentang atasan mereka.“Bros?” Dahi Grisel berkerut halus, apalagi saat mendengar kalau pemilik bros masuk kamar Kaivan saat di villa. Dia diam sesaat lalu menoleh ke Eve dan t
Dahi Kaivan berkerut halus mendengar jawaban Grisel, lalu memandang ke bros yang dipegangnya. Dia tidak percaya kalau Grisel adalah pemilik bros itu, tapi mengingat nama tengah Grisel berinisial E juga tanda merah di bagian atas tubuh Kaivan, membuat pikiran Kaivan goyah. “Jadi, malam itu kamu yang masuk ke kamarku?” tanya Kaivan dengan kedua alis saling bertautan saat menatap Grisel.Grisel masih menundukkan kepala, sikapnya seperti menunjukkan sebuah keraguan tapi itu hanya sebuah sandiwara.“Sa-saya ….” Grisel bersandiwara seperti takut, tapi sebenarnya hal itu hanya untuk meyakinkan Kaivan saja.“Katakan saja, apa benar kamu yang masuk ke kamarku malam itu?” tanya Kaivan lagi dengan sedikit nada penekanan.Grisel langsung berlutut saat mendengar kedua kalinya Kaivan menanyakan hal itu.Kaivan terkejut karena Grisel sampai berlutut, tapi dia tetap memasang wajah datar.“Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya mabuk dan tidak tahu itu kamar Anda, saya ingin bilan