Eve bergegas kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan gemetar. Begitu berada di dalam, dia langsung menuju laci meja, membuka lemari, dan memeriksa setiap sudut kecil tempat di mana brosnya ia simpan. Pencariannya semakin intens seiring dengan detak jantung yang tak terkendali, tapi hasilnya tetap sama, bros itu tidak ada. Hanya ada satu kemungkinan yang memenuhi pikirannya, dan pikiran itu membuat dadanya semakin sesak, bros yang saat ini berada di tangan Kaivan adalah miliknya.
Ketakutan memenuhi hatinya. “Bagaimana bisa sampai di sana?” pikirnya, berusaha mengingat setiap detail malam sebelumnya, meskipun semuanya terasa samar dan buram. Dengan cepat, Eve mengunci pintu kamarnya, berusaha mengumpulkan pikirannya yang berantakan.
Di sisi lain, Kaivan tengah memeriksa sesuatu, menatap layar CCTV yang menampilkan rekaman malam sebelumnya. Bersama petugas, dia memutar ulang rekaman dari semua kamera di lorong dan koridor vila, berharap menemukan petunjuk tentang siapa yang masuk ke kamarnya.
“Kamar yang anda tempati tidak ada CCTV, sehingga kami tidak bisa menemukan seseorang yang masuk ke kamar anda tadi malam, Pak.” kepala operator itu mencoba menjelaskan kepada Kaivan.
Kamar Kaivan yang terletak di ujung koridor ternyata tidak terjangkau oleh CCTV, meninggalkan area itu tanpa pengawasan. Tidak ada rekaman yang menunjukkan sosok siapapun yang masuk atau keluar dari kamarnya.
Setelah upayanya tak membuahkan hasil, Kaivan keluar dari ruang operator dan menuju halaman vila, di mana acara telah selesai. Para pegawai sedang bersiap untuk pulang, dan suasana tampak lebih santai.
Di tengah keramaian, tatapan Kaivan tertuju pada wajah Eve yang tampak semakin pucat. Setiap gerakannya terlihat canggung dan gelisah. Hal itu tidak luput dari perhatian Kaivan, dan ia diam-diam mengamati setiap gerak-gerik wanita itu dengan tatapan yang tidak terbaca.
Namun, perhatian Kaivan segera teralihkan ketika Grisel mendekati Eve.
Grisel melihat Kaivan yang sedari tadi memperhatikan Eve membuatnya merasa tidak senang. Grisel bergerak cepat, menyentuh bahu Eve dengan lembut sambil berkata, "Eve, biar aku antar pulang, ya? Sepertinya kamu butuh istirahat." Nada suaranya terdengar penuh kepedulian, tapi matanya sekilas melirik Kaivan, memastikan ia mendengar ucapannya. Kaivan segera mengalihkan tatapannya, terlihat tidak peduli.
Eve terkejut dengan tawaran Grisel. Baru kali ini ia bersikap perhatian kepadanya, setelah beberapa tahun Grisel mencoba menghindari Eve atas apa yang sudah Grisel lakukan kepadanya. Namun, karena kepala Eve semakin terasa berat, Eve pun hanya mengangguk setuju tanpa banyak berkata.
**
Eve mengikuti Grisel keluar halaman vila dengan langkah gontai, seluruh tubuhnya terasa berat oleh beban rahasia yang semakin menekan. Rasa panik bercampur ketakutan menghantuinya, membuatnya sulit bernapas. Bayangan Kaivan yang memegang bros itu tidak bisa ia hilangkan dari pikirannya. Setiap skenario buruk berputar di kepalanya, membuatnya ingin melarikan diri sejauh mungkin.
Eve menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang meluap di dadanya. Matanya sedikit berair, namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya. Tidak saat ini, tidak di depan Grisel, yang selalu tampak mencari-cari kelemahannya.
“Eve, kamu kenapa, sih?” Grisel memecah keheningan dengan suara lembut, tapi terselip nada yang sulit diartikan.
Ia menatap Eve dengan senyum yang tampak manis, namun matanya mengawasi setiap perubahan ekspresi di wajah Eve, seolah mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan.
“Ah … aku … cuma lelah saja.” Eve mencoba menghindari tatapan Grisel, tidak ingin membuka peluang bagi wanita itu untuk membaca kegelisahannya.
“Oh ya?” Grisel menaikkan sebelah alis, tersenyum samar sambil mengusap lembut punggung Eve, seolah menunjukkan kepedulian. Namun, sentuhannya terasa dingin, bahkan menusuk. “Kamu benar-benar tampak seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ada yang kamu khawatirkan, hmm?”
Eve menggigit bibirnya semakin keras, berusaha menahan kepanikan yang semakin meluap. Grisel memiringkan kepala, masih menatapnya dengan penuh minat, seolah menanti momen di mana Eve akan menyerah dan mengaku. “Mungkin ... sesuatu yang terjadi tadi malam?” Grisel menambahkan, suaranya seperti bisikan tajam yang menusuk telinga Eve.
Perlahan, Eve mundur, ingin menjauh dari jangkauan Grisel. "Tidak ... tidak ada apa-apa," jawabnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Aku benar-benar hanya ingin pulang dan istirahat.”
Grisel terkekeh kecil, lalu melepaskan tangannya dari punggung Eve. “Baiklah, kalau itu yang kau mau. Tapi kau tahu kan, Eve? Kita ini teman, jadi kalau ada sesuatu yang ingin kau ceritakan ... aku pasti akan mendengarkan.”
Eve merasa muak mendengar penuturan Eve. Grisel menganggapnya teman, teman seperti apa yang dengan teganya merebut calon tunangan temannya sendiri?
Ketika mereka melangkah menuju mobil, Grisel melemparkan satu tatapan terakhir ke arah vila, memastikan Kaivan masih berada di halaman, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kesan tertentu. “Kaivan tadi memperhatikanmu, kau tahu?” ujarnya dengan suara pelan, tapi cukup jelas bagi Eve untuk mendengarnya.
“Sepertinya dia benar-benar penasaran ... atau mungkin khawatir?" Grisel menyeringai samar, lalu masuk ke mobil, meninggalkan Eve dalam ketidaknyamanan atas perkataan grisel.
Setibanya di depan asrama, Grisel mematikan mesin mobil dan menoleh kepada Eve dengan senyum tipis yang tampak seperti seringai terselubung. “Eve, kau benar-benar masih tinggal di sini, ya?” Grisel melirik ke arah bangunan asrama dengan tatapan yang mencerminkan penilaian terselubung. “Padahal kalau tinggal bersama kakakmu, hidupmu pasti lebih nyaman. Apa kau tidak merasa … kesepian?”Eve menghela napas pelan, menahan desakan untuk membalas komentar Grisel yang seakan mencampuri pilihannya. Baginya, asrama ini adalah tempat di mana ia merasa lebih bebas, jauh dari pandangan tajam dan kontrol keluarga. Di sini, ia bisa hidup tanpa dihakimi, meski sederhana. “Aku lebih nyaman di sini,” jawabnya singkat, tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan.Grisel menatapnya, seolah mencari celah di balik jawaban singkat itu. “Yah, setiap orang punya pilihan hidup, kurasa,” katanya sambil tersenyum sok mengerti. “Tapi, kau tahu kan, kalau kau butuh teman untuk berbicara atau ... ya, semacamnya, aku se
“Ini peringatan terakhirku,” kata Kaivan dengan nada rendah namun penuh ketegasan. “Jangan datang lagi menemui Ibuku. Urusan kita hanya antara kau dan aku, jangan melibatkan dia.”Setelah kejadian di kamar rumah sakit ibunya, Kaivan beranjak ke halaman rumah sakit, di mana Damian, pria yang sejak lama mengusik ketenangannya telah menunggu dengan sikap santai dan senyum angkuh. Kaivan berdiri tegap di depannya, ekspresinya datar namun penuh kewaspadaan.Damian hanya mengangkat alis, ekspresinya penuh ejekan. “Ah, Kaivan, selalu melindungi, ya? Tapi ingat,” katanya sambil menepuk pundak Kaivan dengan gerakan yang terlalu akrab untuk seseorang yang penuh niat licik, “berhati-hatilah dengan orang di sekitarmu. Kau tak pernah tahu siapa yang benar-benar berada di pihakmu.” Tatapan matanya penuh makna, seolah ada ancaman tersembunyi di balik setiap katanya.Dia tahu Damian bukan orang yang bisa dipercaya, dan kehadirannya di sini tentu bukan tanpa maksud. Selalu ada sesuatu yang terselubung,
Eve menelan ludah susah payah. “Si-siang, Pak.” Eve mencoba menyapa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kaivan lalu melirik ke dalam. Ini aneh, kenapa Eve ada di kamar ibunya? Bukankah Maria tidak mengenal Eve? “Sa-saya ….” Eve ingin menjawab, tapi terdengar suara Maria dari dalam.“Kai, dia membantu ibu tadi.” Suara Maria membuat Kaivan kembali menatap pada Eve.Eve lega Maria menjelaskan, setidaknya dia tidak perlu berkata-kata karena bibirnya terasa bergetar.“Sa-saya permisi, Pak,” kata Eve tergagap lalu mencoba melewati Kaivan berdiri. Tubuhnya mendadak lemas, jangan sampai dia pingsan di hadapan atasannya itu.Kaivan melihat wajah Eve yang masih pucat seperti saat outbound, sehingga dia menghadang langkah Eve lagi."Kenapa kamu ada di rumah sakit?” tanya Kaivan.Eve gelagapan, tapi dia berusaha tenang.“Itu … saya baru periksa karena demam. Mungkin karena kelelahan,” jawab Eve tanpa berani menatap pada Kaivan. Dia meremas jemari untuk menutupi kegugupannya.Kaivan diam mena
“Pa-pak Kaivan.”Eve sangat panik saat melihat Kaivan di sana, menolong dirinya.“Kamu mau pulang?” tanya Kaivan dengan nada suara datar.Eve mengangguk-angguk.Tiba-tiba Kaivan memegang pergelangan tangan Eve, membuat Eve sangat terkejut.“Ada apa, Pak? Kenapa Anda menarik saya?” tanya Eve benar-benar panik. Tiada hari tanpa kepanikan saat bertemu apalagi berinteraksi dengan Kaivan.Kaivan tak banyak bicara, dia mengajak Eve menuju mobilnya untuk mengantar pulang sesuai permintaan Maria.Eve sendiri sampai menelan ludah susah payah, bingung dan panik kenapa Kaivan mengajaknya tanpa kata.“Masuk!” perintah Kaivan lalu berjalan memutar menuju pintu kemudi.Eve membeku di tempatnya, panik dan bingung yang dirasakan.Kaivan melihat Eve yang masih diam, lalu kembali memberi perintah, “Masuk, aku antar pulang!”Eve mengangguk tapi dengan ekspresi terkejut. Dia bergeser ke pintu belakang mobil, berniat duduk di belakang saja selagi Kaivan menyetir.Namun, dia juga merasa jika tak sopan, baga
“Apa Anda ada perlu dengan saya?” tanya Eve tak bisa lari meski ingin, kedua kakinya terasa kaku dan seperti membatu di tempatnya berdiri sekarang. Kaivan sudah berada di depan pintu kamar asrama Eve, tentu saja hal itu membuat Eve sangat terkejut. Setelah bersyukur karena seharian tidak bertemu dengan pria itu, kenapa harus bertemu di depan kamarnya.Eve memeluk kedua lengan karena tubuhnya basah dan pakaiannya sedikit menerawang. Dia ingin maju dan mengabaikan tapi siapa sangka pria berbadan tegap dan tinggi itu mendekatinya lebih dulu.Kaivan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan. Dia datang karena memang ada yang ingin dipastikan. Hingga tatapan Kaivan tertuju ke kemeja putih Eve yang sedikit menerawang karena tidak tertutup blazer, dia melihat ada bekas kemerahan sedikit ungu di balik kemeja itu tepat di atas bagian tulang selangka Eve.Dahi Kaivan berkerut halus melihat bekas itu, lalu tatapannya kembali tertuju ke wajah Eve.Melihat tatapan Kaivan mengarah kepada bajunya yang
“Damian? Kenapa dia keluar dari sana?” Eve benar-benar terkejut dengan kemunculan Damian di sana.Eve terlihat bingung harus bagaimana, tapi karena sudah terlanjur di sana, membuat Eve tetap berjalan ke arah kamar Maria.Saat Eve berjalan ke sana, Damian menoleh ke arah Eve, hingga pria itu terlihat terkejut tapi juga senang melihat Eve di sana.“Eve, lama tak berjumpa denganmu?” tanya Damian saat Eve sudah dekat dengannya.Eve ingin menjawab, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu dan kaku. Bahkan ekspresi wajahnya tampak datar.“Kamu sakit? Atau kakakmu sakit?” tanya Damian mencoba mengajak bicara Eve yang hanya diam.Bagaimana Eve tidak diam, dia harus bertemu dengan pria yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Pria yang sangat dipercayai tapi menghancurkan kepercayaan itu hingga runtuh tak bersisa.“Aku datang untuk menjenguk seseorang,” jawab Eve datar agar Damian juga sadar diri kalau dirinya takkan bersikap sama seperti dulu.Damian melihat tatapan tak senang di mata Eve,
Siang harinya. Eve dan Grisel menghadiri rapat perusahaan. Keduanya duduk tak berdekatan..“Apa kamu tahu, aku dengar Pak Kaivan mencari pemilik bros yang tertinggal di villa,” bisik salah satu staff lainnya.Grisel mendengar suara staff yang sedang bergosip sebelum rapat dimulai karena dia duduk di dekat staff itu. Dia menajamkan pendengaran ingin mendengar jelas apa yang dibicarakan keduanya.“Betul, tapi sepertinya sampai sekarang belum ada yang mengaku bros siapa itu.”“Iya, apalagi katanya pemilik bros itu masuk kamar Pak Kaivan saat malam hari, karena itu Pak Kaivan mencarinya.”“Masuk? Masuk bagaimana maksudmu? Masuk saja atau mereka ….”Staff satunya langsung memberi isyarat agar tidak dilanjutkan atau akan membuat mereka mendapat masalah jika ada yang mendengar. Mereka pun akhirnya diam setelah bergosip tentang atasan mereka.“Bros?” Dahi Grisel berkerut halus, apalagi saat mendengar kalau pemilik bros masuk kamar Kaivan saat di villa. Dia diam sesaat lalu menoleh ke Eve dan t
Dahi Kaivan berkerut halus mendengar jawaban Grisel, lalu memandang ke bros yang dipegangnya. Dia tidak percaya kalau Grisel adalah pemilik bros itu, tapi mengingat nama tengah Grisel berinisial E juga tanda merah di bagian atas tubuh Kaivan, membuat pikiran Kaivan goyah. “Jadi, malam itu kamu yang masuk ke kamarku?” tanya Kaivan dengan kedua alis saling bertautan saat menatap Grisel.Grisel masih menundukkan kepala, sikapnya seperti menunjukkan sebuah keraguan tapi itu hanya sebuah sandiwara.“Sa-saya ….” Grisel bersandiwara seperti takut, tapi sebenarnya hal itu hanya untuk meyakinkan Kaivan saja.“Katakan saja, apa benar kamu yang masuk ke kamarku malam itu?” tanya Kaivan lagi dengan sedikit nada penekanan.Grisel langsung berlutut saat mendengar kedua kalinya Kaivan menanyakan hal itu.Kaivan terkejut karena Grisel sampai berlutut, tapi dia tetap memasang wajah datar.“Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya mabuk dan tidak tahu itu kamar Anda, saya ingin bilan
“Saya bisa mengurus semuanya sendiri. Anda tidak seharusnya ikut campur dalam hidup saja,” ucap Eve yang terpaksa pergi bersama Kaivan agar Alana dan Bram tidak curiga.Kai ditinggal bersama Alana karena Eve ikut Kaivan untuk bertemu pekerja yang akan merenovasi tempat yang disewa Eve.Kaivan tiba-tiba menepikan mobil, membuat Eve terkejut lalu menoleh pada Kaivan.“Kenapa Anda berhenti?” tanya Eve. Dia juga mengecek pintu yang dikunci otomatis.“Sepertinya aku harus mengingatkanmu berulang kali kalau Kai anakku dan aku berhak atas dirinya. Jika kamu tidak suka aku datang ke tempatmu atau membantumu demi masa depan Kai, maka biarkan Kai bersamaku, karena aku yakin masa depannya lebih terjamin daripada denganmu.”Eve terkejut mendengar ucapan Kaivan.“Apa Anda pikir bisa melakukan segalanya karena Anda kaya? Perlu Anda catat, selama ini kehidupan kami baik-baik saja. Kai sehat dan semua kebutuhannya tercukupi, jadi Anda tidak usah bersikap seolah Anda bisa segalanya dan meremehkanku se
Keesokan harinya. Eve baru saja bangun setelah semalam begadang membuat anggaran belanja untuk merenovasi tempat yang akan disewanya, serta membuat perincian barang juga bahan untuk modal usaha.Eve sudah tidak melihat Kai di ranjang, itu artinya Kai sudah bangun dan mungkin ada di ruang tamu sedang bermain.Eve menguap, lalu turun dari ranjang dan keluar kamar masih memakai piyama dengan celana pendek.“Pagi Mami.” Kai langsung menyapa meski tak menatap sang mami.“Pagi,” balas Eve, “Bibi lagi masak, ya?” tanya Eve.“Iya, soalnya Mami bangun kesiangan,” jawab Kai.Eve berjalan ke dapur untuk membantu Alana memasak. Dia tidak enak hati karena bangun kesiangan dan membiarkan Alana yang menyiapkan sarapan sendirian.“Pagi, Kak. Maaf aku kesiangan,” ucap Eve sambil mengikat rambutnya.Alana menoleh, lalu tersenyum. Tentu saja sikap Alana yang sekarang, sangat berbeda dengan dulu ketika masih membenci Eve.“Tidak apa-apa. Aku juga masuk siang, kemungkinan pulang malam. Sore nanti jangan l
“Aku? Kamu? Apa kamu tidak punya sopan santun sampai bicara non formal pada atasanmu?” Kaivan bicara sambil menatap dingin pada Grisel.Hendry langsung melipat bibir, menahan tawa karena Kaivan benar-benar mengabaikan dan bersikap dingin pada Grisel.Grisel sangat terkejut, tapi dia berusaha untuk tenang.“Maaf, apa saya bisa bicara dengan Anda?” tanya Grisel mengubah cara bicaranya.Grisel mengumpat dalam hati. Dia sudah terbiasa bicara non formal, tapi begitu Kaivan mengakhiri hubungan mereka, pria itu langsung menegurnya.“Jika mau ada yang dikatakan, katakan di sini!” Kaivan bicara tegas. Dia tidak mau jika sampai ada kesalahpahaman kalau bicara berdua dengan Grisel.Grisel terkejut. Dia kesal karena Kaivan semakin susah diajak bicara.“Saya ingin membahas hubungan kita, apa baik jika dibicarakan di depan orang lain?” tanya Grisel sambil melirik pada Hendry.Kaivan tahu ke mana arah lirikan Grisel, dia membalas, “Kenapa tidak? Hendry orang kepercayaanku, apa pun yang menjadi masal
Eve menghela napas kasar. Dia menatap Kaivan yang sedang mengeluarkan barang dari bagasi, terlihat Kai yang begitu antusias menunggu Kaivan.“Kalau Kai menginginkan yang lain lagi, katakan padaku. Oke.” Kaivan memberikan kantong berisi mainan dan pakaian yang dibelinya untuk Kai.“Oke.” Kai terlihat sangat senang.Eve masih diam melihat putranya kesusahan membawa barang-barang itu.“Mami, ini berat,” kata Kai susah payah membawa kantong yang diberikan Kaivan.Eve dengan terpaksa menerima. Dia lalu memandang Kaivan yang mendekat sambil membawa kantong lain.“Ini suplemen untuk kakakmu. Ibuku juga meminum ini untuk menjaga kondisi tubuhnya,” ujar Kaivan sambil mengulurkan kantong yang dibawanya ke Eve.Eve menerima, lalu membalas, “Sebaiknya Anda tidak perlu membelikan apa pun lagi untuk kami.”Kaivan tersenyum tipis, lalu membalas, “Aku ayahnya, aku berhak melakukannya.”Kaivan bicara dengan lirih agar Kai tidak mendengar. Dia yakin Eve belum mau jujur pada Kai, kalau Kaivan adalah aya
Kaivan menemani Eve menemui pemilik tempat yang akan disewa. Dia duduk diam sambil mendengarkan perbincangan Eve dan pria itu.“Jika sewa sekaligus beberapa tahun, apa bisa dapat potongan?” tanya Eve setelah mendengar harga sewanya.Eve berpikir. Jika hanya sewa satu atau dua tahun, maka dia akan rugi renovasi dan lain-lainnya, sedangkan jika ingin mengambil jangka lama, Eve takut dananya tidak cukup untuk yang lainnya dan akan habis untuk sewa tempat saja.Pemilik toko melirik Kaivan, melihat pria itu menyesap kopi sambil mengedipkan mata.Eve menyadari ke mana arah tatapan pria itu. Dia menoleh Kaivan dan melihat mantan atasannya itu sedang minum.“Jika memang kamu mau ambil lima atau di atas lima tahun, akan aku beri potongan harga,” kata pemilik toko itu.Eve senang lalu sepakat mengambil tempat itu. Setelah deal dan akan disiapkan surat kontraknya, pemilik toko itu pamit undur diri.Kaivan masih santai minum kopinya saat Eve menatap curiga padanya.“Kenapa saya merasa kalau pria
“Kamu ingin mencari tempat yang seperti apa?” tanya Kaivan sambil mengemudikan mobil.Eve tidak menjawab, dia mengamati jalanan yang ada dilewati. Dia terlalu malas dan tidak punya energi untuk bicara dengan pria di sampingnya saat ini.Kai mengamati sang mami yang tidak mau menjawab pertanyaan Kaivan. Dia sampai menatap bergantian dua orang dewasa yang duduk di depannya itu.“Mami, Paman Kaivan tanya, Mami haruc jawab. Mami bilang, kalau ada yang tanya haruc copan jawab,” celoteh Kai mengingat nasihat sang mami.Eve terkejut sampai menoleh Kai. Dia melihat Kai menatap heran padanya. Eve melirik pada Kaivan yang sedang menyetir, akhirnya mau tidak mau dia harus merespon perkataan Kaivan.“Yang jelas lingkungannya ramai, jika perlu yang memiliki halaman parkir luas agar pelanggan nyaman saat makan di kafe karena ada tempat parkir yang tidak mengganggu pengguna jalan,” ujar Eve menjelaskan.Kaivan mengangguk-angguk.Eve tidak paham arti anggukan kepala itu. Dia memilih diam mengamati ja
Eve sangat terkejut melihat siapa yang sekarang berdiri di hadapannya. Kenapa pria ini harus mendatanginya lagi.“Kalian mau ke mana?” tanya Kaivan.Kaivan sengaja datang pagi-pagi untuk bisa menemui Eve. Dia akan memanfaatkan setiap waktu yang ada agar bisa mendekati Eve.“Bukan urusanmu,” balas Eve lirih karena tidak ingin Kai mendengarnya bicara ketus.Kaivan lalu melirik Kai. Jika Eve tak mau menjawab, Kai pasti akan jujur.“Kai mau ke mana?” tanya Kaivan.Eve melotot mendengar Kaivan bertanya pada Kai.“Mami bilang mau jalan-jalan cambil nyari tempat buat buka kafe ceperti milik Paman Brian,” jawab Kai dengan nada suaranya yang khas dan lucu.Eve menghela napas panjang. Dia memalingkan muka ketika Kaivan memandangnya.Kaivan tersenyum. Benar kata Hendry, dia harus menggunakan Kai untuk meluluhkan Eve.“Bagaimana kalau paman antar, pakai mobil?” tanya Kaivan pada Kai sambil mengulurkan tangan pada Kai.Kai sudah bersemangat ingin meraih tangan Kaivan, tapi dia menoleh sang mami unt
Saat malam hari, Eve berada di kamar bersama Kai. Saat dia sedang menemani Kai menggambar, Eve mendapat panggilan dati Brian.“Halo, Bri.” “Bagaimana kondisi kakakmu?” tanya Brian dari seberang panggilan.“Sudah membaik. Sekarang juga sudah keluar dari rumah sakit,” jawab Eve.“Syukurlah,” balas Brian dari seberang panggilan.Eve mengangguk-angguk, lalu mendengar Brian kembali bicara.“Kamu jadi tinggal di sana? Tidak kembali ke sini?” tanya Brian.Eve menatap Kai yang masih menggambar lalu menjawab pertanyaan Brian.“Iya, Kak Bram tidak memperbolehkanku pergi, jadi aku akan mencari pekerjaan dan tinggal di sini,” kata Eve.“Daripada kamu bekerja, apa tidak lebih baik membuka usaha, Eve? Apa mau buka kafe saja? Biar aku yang memodali semuanya dulu, kalau sudah jalan, kamu tinggal mengganti biayanya,” ujar Brian memberi solusi.Eve sangat terkejut.“Tidak, Bri. Aku tidak mau merepotkanmu lagi,” ucap Eve tidak enak hati.“Siapa yang bilang merepotkan? Ini lebih baik daripada kamu kerja
Eve kembali ke apartemen setelah bertemu dengan Dania. Eve pulang dengan wajah lesu karena belum mendapat pekerjaan. Dia juga tidak bisa menagih janji Bram yang ingin membantunya masuk ke perusahaan tempat kakaknya bekerja karena kondisi Bram pun belum pulih sempurna.Eve sudah berdiri di depan pintu unit apartemen milik sang kakak. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan, setelahnya Eve membuka pintu lalu masuk sambil memperlihatkan senyum di wajah. Eve tidak ingin semua orang cemas jika melihatnya tampak sedih.“Aku pulang.” Saat baru saja masuk, Eve terkejut melihat pemandangan di dalam unit apartemen sang kakak.“Mami!” Kai berteriak senang sambil melambai. Dia sedang meluncur di perosotan kecil yang ada di dekat ruang tengah“Apa ini?” tanya Eve bingung ketika melihat banyak mainan di tempat itu.Alana keluar dari dapur, dia menghampiri Eve yang berdiri dengan ekspresi wajah bingung.“Kamu sudah pulang.” Alana menyapa, lalu menoleh pada Kai yang sedang main.“Ta