Suka? Membayangkan kejadian semalam lalu Kaivan murka karena dia sudah lancang masuk kamar pria itu saja sudah membuat Eve merinding. Bagaimana bisa dia berpikir Kaivan perhatian kepadanya. Itu hanya kebetulan.
“Jangan berpikir macam-macam atau menuduhku yang tidak-tidak. Pak Kaivan mungkin menolongku karena hanya ada dia di sana saat itu.” Eve berusaha bicara dengan tegas meski tubuhnya masih sangat lemah.
Lagi pula, mana mungkin seorang Kaivan menyukai dan tertarik dengan wanita sepertinya. Bahkan Eve membayangkan suka dengan Kaivan saja tidak.
Grisel langsung bernapas lega mendengar jawaban Eve yang sangat meyakinkan. Setidaknya dia tak perlu cemas, karena apa yang dikatakan Eve sepertinya benar. Mana mungkin Pak Kaivan menyukai gadis seperti Eve.
Setelah seharian dirawat di rumah sakit, akhirnya kondisi Eve mulai membaik dan demamnya mulai turun. Namun, meski begitu Eve masih belum diperbolehkan pulang karena kondisinya yang belum pulih sempurna.
Grisel sendiri pergi keluar, Eve berharap Grisel tak kembali ke sana. Dia tidak paham, kenapa Grisel harus berpura-pura peduli kepadanya.
“Eve.”
Eve menoleh ke pintu saat mendengar suara sang kakak. Dia tersenyum lebar ketika melihat sang kakak datang untuk menjenguknya.
“Kak Bram.” Eve terlihat sangat senang karena sang kakak menyempatkan datang ke sana.
Kakak Eve terlihat cemas hingga langsung berhambur menghampiri Eve, bahkan memeluk sang adik yang suhu tubuhnya masih hangat. Eve sempat memberikan kabar kepada kakaknya kalau dirinya masuk rumah sakit, dan Bram yang mendapatkan kabar tersebut pun langsung ke rumah sakit tempat adiknya dirawat.
“Kamu sakit apa? Kemarin waktu izin pergi sehat-sehat saja, kenapa mendadak dirawat di sini?” tanya Bram yang sangat mencemaskan kondisi Eve.
Bram juga dapat kabar dari rekan kerja Eve jika sang adik dirawat karena demam tinggi, membuat Bram segera pergi untuk memastikan kondisi Eve. Dia khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan sang adik.
Eve hanya mempunyai Bram di dunia ini, mereka saling memiliki satu sama lain setelah kedua orang tua mereka meninggal karena sebuah kecelakaan saat mereka masih kecil. Sebab itu, Bram atau Eve akan selalu menjaga satu sama lain, meski sekarang Bram sudah menikah.
“Hm ... mungkin cuaca yang sangat dingin semalam, jadinya aku demam,” ucap Eve dengan wajah lesu.
Eve tak berani menceritakan yang terjadi pada kakaknya. Dia takut kalau sang kakak syok.
“Tapi dokter tidak mengatakan sesuatu yang buruk akan kondisinya, bukan? Maksudnya, kamu hanya demam biasa?” tanya Bram memastikan.
Eve mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Bram.
“Iya, hanya demam saja. Kakak jangan cemas,” balas Eve.
Bram sangat lega mendengar jawaban Eve. Saat Bram masih berbincang dengan Eve, Grisel kembali ke ruangan Eve, lalu menyapa Bram. Dia berada di sana seharian karena malas kembali ke villa.
“Gris, kamu ternyata di sini juga?” tanya Bram karena mengenal sahabat adiknya itu.
Ekspresi wajah Eve berubah karena ternyata Grisel masih ada di rumah sakit, tapi dia berusaha tenang karena tak ingin sang kakak cemas jika tahu sebenarnya hubungannya dengan Grisela tidak baik.
“Iya, Kak Bram. Aku sejak tadi menjaga Eve, tadi kebetulan saja keluar sebentar ada perlu. Tahu sendiri, apa bisa Eve menjaga dirinya sendiri. Dia itu ceroboh, lihat saja sekarang bisa sakit padahal hanya kemah biasa,” ujar Grisel panjang lebar, menunjukkan ke Bram kalau dia perhatian ke Eve.
Eve memasang wajah datar, entah sandiwara atau tidak, yang jelas Eve sangat tidak suka melihat cara bicara Grisel ke kakaknya.
“Untung ada kamu yang menemani Eve. Terima kasi.” Bram beruntung karena Grisel mau menemani Eve di rumah sakit. Dia lega ada yang menjaga sang adik.
**
Setelah dua hari dirawat. Eve akhirnya diperbolehkan pulang. Dia pulang bersama bersama Bram ke apartemen yang disewa Bram dan istrinya.
“Kamu istirahat dulu.” Bram meminta Eve untuk beristirahat agar kondisi tubuh Eve cepat pulih.
Eve hanya mengangguk lalu berbaring di ranjangnya. Dia melihat Bram keluar dari kamar, hingga samar-samar mendengar sang kakak bicara dengan seseorang.
"Bagus ya, kamu memang nggak peduli padaku!"
Eve terkejut hingga mencoba mendekat ke pintu lalu menelinga pembicaraan di luar.
Di luar kamar, Bram bertemu istrinya yang baru saja pulang kerja.
"Sstt … apa kamu tidak bisa bicara dengan pelan? Eve sedang sakit," ucap Bram mencoba menasihati istrinya.
"Eve terus, Eve terus! Aku memintamu menjemput, tapi kamu malah lebih mentingin Eve. Memangnya, yang hidup sama kamu siapa? Yang masakin, nyuci baju, nyiapin bajumu siapa? Eve? Aku tuh capek kamu dikit-dikit mentingin Eve terus!" amuk Alana kesal.
"Cukup! Eve adikku, tidak seharusnya kamu bicara seperti itu!" Bram terpaksa membentak karena merasa Alana bicara keterlaluan.
Alana mengepalkan kedua tangan erat mendengar bentakkan Bram, dia kesal lalu memilih pergi ke kamar.
Bram memijat kening, merasa pusing karena Alana mengamuk hanya karena tak dijemput, padahal Eve lebih penting karena sedang sakit.
“Di kamar, Eve mendengarkan perdebatan kakak dan kakak iparnya. Lagi, mereka berdebat karena keberadaannya di sana.
Eve merasa bersalah ke sang kakak. Karena dirinya, Bram akhir-akhir ini sering bertengkar dengan Alana. Permasalahannya sama, Alana sebenarnya keberatan Eve di sana karena Bram memang lebih peduli kepadanya.
Saat malam hari, Eve masih di kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk karena pertengkaran Bram da Alana. Apalagi dia mendengar suara berisik panci dari dapur, mungkin Alana sengaja memukul alat masak agar dirinya peka.
Eve ingin pergi dan mandiri, tapi Bram melarangnya, membuat Eve bertahan di sana tapi malah membuat pertengkaran Bram dan Alana tak bisa terhindarkan setiap harinya.
Saat Eve masih melamun, tiba-tiba pintu kamar terbuka, membuat Eve terkejut karena Alana masuk kamar.
Eve hanya menunduk takut, lalu Alana mendekat.
"Lihat ini!" Alana memperlihatkan kertas tagihan sewa apartemen, listrik, hingga air.
"Kamu tuh di sini nambah beban biaya di sini saja. Kamu pikir, aku dan Bram kerja cuma buat kamu? Kamu ini sudah kerja seharusnya kamu bisa mandiri. Bukannya malah nambah beban kami! Bram nggak bisa nyukupin kebutuhan rumah, kalau aku nggak bantu dia kerja, harusnya kamu mikir biar nggak nambah beban!"
Alana melihat Eve yang hanya diam, lalu kembali bicara. "Bagus lagi kamu itu pindah saja, kalau kamu mau denger aku dan kakakmu ribut terus, silakan. Ingat, kamu yang bikin rumah tangga kami nggak harmonis!"
Setelah membuat Eve merasa bersalah, Alana keluar dari kamar Eve setelah memperlihatkan banyaknya pengeluaran biaya rumah tangganya.
Eve diam memandang kertas tagihan itu, dia semakin bersalah karena Alana sepertinya tak menyukainya di sana karena memang kesulitan finansial.
“Sepertinya benar, aku tidak mungkin bisa terus di sini,” gumam Eve karena tak tega terus mendengar sang kakak bertengkar dengan kakak iparnya.
“Apa aku pergi saja agar Kakak dan Kak Bram tidak bertengkar begini.” Eve berpikir dengan keras hingga merasa itu keputusan terbaik.
Eve mengemas beberapa barangnya. Mau pergi ke mana dia, Eve juga belum tahu yang terpenting pergi lebih dulu. Eve tahu jika Bram sangat menyayangi dan mencemaskannya, tapi dia juga tak bisa terus menerus menjadi beban apalagi membuat sang kakak sedih karena bertengkar dengan istrinya hanya untuk membela dirinya.
Setelah memastikan Bram ada di kamarnya. Eve akhirnya pergi dari apartemen yang selama ini ditinggali Alana dan Bram. Dia pergi tanpa pamit karena Bram pasti akan mencegahnya pergi jika tahu, lalu dia segera keluar dari tempat itu.
Eve menunggu pintu lift terbuka. Dia tak tahu apakah keputusannya benar karena untuk sekarang hanya ini yang bisa dilakukan.
Saat pintu lift terbuka, Eve terkejut saat melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini yang berada di dalam lift.
"Eve. Bagaimana keadaanmu sekarang? Dan kenapa kamu membawa koper?"
Eve tak menyangka bertemu dengan Grisel saat akan masuk lift. Dia benar-benar sakit hati ke Grisel karena perbuatan sahabat baiknya itu padanya dulu. Eve masih ingat akan kejadian di mana Grisel tega berselingkuh dengan kekasihnya. Eve sendiri tidak pernah menyangka jika kejadian itu akan menimpa dirinya.Eve selalu berpikir jika perselingkuhan antara kekasih dan sahabat sendiri adalah kejadian klise yang ditulis oleh seorang penulis film atau drama, tapi siapa sangka kejadian itu benar nyata menimpa dirinya. Dan, yang melakukan itu adalah sahabat yang sangat dipercayainya.Masih terbayang begitu nyata di ingatan Eve saat dia begitu terkejut melihat kekasihnya sendiri berselingkuh dengan sahabat baiknya. Perasaannya hancur dan terkhianati saat membuka pintu asrama kampus hari itu lalu melihat Grisel dan Sam sedang memadu kasih.Hati siapa yang tidak hancur melihat semua itu, terlebih keduanya lalu berkata jika khilaf? Sungguh Eve begitu muak saat itu. Pembelaan keduanya membuat Eve jij
Eve membuka mata dengan cepat. Terlihat kepanikan di wajahnya saat baru saja terbangun, keringat bahkan bermanik di kening dan pelipis. Dia baru saja bangun dari mimpi buruk hingga membuatnya begitu ketakutan.Eve memandang langit-langit kamar yang ditempatinya sekarang. Ini bukan kamar asrama, hingga Eve baru menyadari jika berada di rumah sakit saat mencium bau disinfektan yang begitu kuat, apalagi tangannya juga terpasang selang infus.“Kenapa aku di rumah sakit lagi?” Eve merasa kepalanya pusing, sampai dia agak menekannya kuat-kuat.Eve mencoba mengingat yang terjadi, hingga dia baru ingat kalau tadi pingsan saat melihat Kaivan ada di hadapannya. Sejak kejadian di villa, entah kenapa Eve langsung lemas saat berjumpa dengan CEO perusahaannya itu.Eve menghela napas kasar, sepertinya selain panik, dia juga kelelahan dan stres sehingga berakhir di sana. Dan, Eve bertanya-tanya, apakah Kaivan yang membawanya ke rumah sakit?Eve akhirnya bangun dari tempat tidur. Dia turun dari ranjan
"Bu!" Kaivan bicara dengan nada tinggi karena pertanyaan Maria.Eve terkejut mendengar pertanyaan Maria, hingga tanpa sengaja melirik ke Kaivan yang hanya diam."Tidak," jawab Eve lirih.Tanpa Eve sadari, setelah dia menjawab itu, Kaivan yang kini menoleh ke arahnya.**Eve masih dirawat di rumah sakit karena kondisinya yang belum membaik. Siang itu dia baru saja keluar dari kamar mandi sendirian membawa botol infus di tangan kiri. Saat keluar dari kamar mandi, Eve terkejut melihat Kaivan ada di ruang inapnya.Apa pria itu salah masuk kamar? Mana mungkin salah masuk? Padahal bangsal tempatnya dan Maria dirawat jelas berbeda.Kaivan menatap Eve yang baru saja keluar dari kamar mandi. Sekali lagi Kaivan menyadari kalau Eve sangat takut kepadanya."Kenapa Anda ada di sini?" tanya Eve memberanikan diri meski begitu gugup melihat tatapan Kaivan.Eve mencoba berjalan ke arah ranjangnya karena semakin lama berdiri berhadapan dengan Kaivan, membuat kedua kakinya semakin lemas.Namun, dia terla
“Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku?” Eve tentunya penasaran, apalagi mereka tak pernah berinteraksi lebih selain membahas pekerjaan. Ini membuat Eve merasa aneh.Eve masih menatap panggilan dari Grisel. Dia bingung harus bagaimana, sampai akhirnya dia menjawab panggilan Grisel karena berpikir jika Grisel menghubungi untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan.“Halo.” Eve menjawab dengan ragu.“Kamu benar-benar sudah baik-baik saja? Apa kamu butuh sesuatu? Aku bisa membawakan apa yang kamu butuhkan.”Eve mengerutkan alis, apa maksudnya itu? Kenapa Grisel tiba-tiba sangat perhatian? Ini berlebihan baginya, apalagi mereka tidak sedekat itu.“Tidak usah, aku tidak membutuhkan apa pun. Perawat di sini sudah menyediakan segalanya untukku,” tolak Eve karena tak ingin berhutang budi pada Grisel.“Kamu yakin?” tanya Grisel terdengar memaksa.“Ya,” balas Eve, “Aku mau istirahat, aku tutup teleponnya.” Setelah itu Eve mengakhiri panggilan. Dia tak ingin terlibat banyak percakapan dengan Grisel.
Eve terbangun di pagi hari dengan kondisi lebih segar. Dia menoleh ke meja kecil di samping ranjang, hingga terkejut saat melihat ada kantong plastik di sana.Dahi Eve berkerut halus. Dia mencoba bangun lalu melihat apa isi kantong plastik itu.“Makanan?”Eve keheranan, lalu membuka pembungkus makanan yang sudah dingin.“Siapa yang mengirimnya?”Eve bertanya-tanya karena semalam merasa tak ada yang datang, tapi kenapa ada makanan di sana. Jika sang kakak yang datang, kenapa tidak membangunkannya.Eve tentunya merasa aneh, apalagi sayang karena makanan itu sudah tidak enak dimakan.__Setelah dirawat dua hari, akhirnya Eve diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Eve merasa lega, setidaknya dia takkan menjadi beban dan menambah kecemasan sang kakak jika terus dirawat.Eve keluar dari rumah sakit sendiri karena Bram bekerja hari itu. Dia sengaja meminta Bram tidak menjemputnya karena tak ingin mengganggu pekerjaan sang kakak.Eve ingin pergi ke halte bus terdekat, tapi saat akan keluar d
“Apa Anda ada perlu dengan saya?” tanya Eve tak bisa lari meski ingin, kedua kakinya terasa kaku dan seperti membatu di tempatnya berdiri sekarang. Kaivan sudah berada di depan pintu kamar asrama Eve, tentu saja hal itu membuat Eve sangat terkejut. Setelah bersyukur karena seharian tidak bertemu dengan pria itu, kenapa harus bertemu di depan kamarnya.Eve memeluk kedua lengan karena tubuhnya basah dan pakaiannya sedikit menerawang. Dia ingin maju dan mengabaikan tapi siapa sangka pria berbadan tegap dan tinggi itu mendekatinya lebih dulu.Kaivan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan. Dia datang karena memang ada yang ingin dipastikan. Hingga tatapan Kaivan tertuju ke kemeja putih Eve yang sedikit menerawang karena tidak tertutup blazer, dia melihat ada bekas kemerahan sedikit ungu di balik kemeja itu tepat di atas bagian tulang selangka Eve.Dahi Kaivan berkerut halus melihat bekas itu, lalu tatapannya kembali tertuju ke wajah Eve.Melihat tatapan Kaivan mengarah kepada bajunya yang
“Damian? Kenapa dia keluar dari sana?” Eve benar-benar terkejut dengan kemunculan Damian di sana.Eve terlihat bingung harus bagaimana, tapi karena sudah terlanjur di sana, membuat Eve tetap berjalan ke arah kamar Maria.Saat Eve berjalan ke sana, Damian menoleh ke arah Eve, hingga pria itu terlihat terkejut tapi juga senang melihat Eve di sana.“Eve, lama tak berjumpa denganmu?” tanya Damian saat Eve sudah dekat dengannya.Eve ingin menjawab, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu dan kaku. Bahkan ekspresi wajahnya tampak datar.“Kamu sakit? Atau kakakmu sakit?” tanya Damian mencoba mengajak bicara Eve yang hanya diam.Bagaimana Eve tidak diam, dia harus bertemu dengan pria yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Pria yang sangat dipercayai tapi menghancurkan kepercayaan itu hingga runtuh tak bersisa.“Aku datang untuk menjenguk seseorang,” jawab Eve datar agar Damian juga sadar diri kalau dirinya takkan bersikap sama seperti dulu.Damian melihat tatapan tak senang di mata Eve,
Siang harinya. Eve dan Grisel menghadiri rapat perusahaan. Keduanya duduk tak berdekatan..“Apa kamu tahu, aku dengar Pak Kaivan mencari pemilik bros yang tertinggal di villa,” bisik salah satu staff lainnya.Grisel mendengar suara staff yang sedang bergosip sebelum rapat dimulai karena dia duduk di dekat staff itu. Dia menajamkan pendengaran ingin mendengar jelas apa yang dibicarakan keduanya.“Betul, tapi sepertinya sampai sekarang belum ada yang mengaku bros siapa itu.”“Iya, apalagi katanya pemilik bros itu masuk kamar Pak Kaivan saat malam hari, karena itu Pak Kaivan mencarinya.”“Masuk? Masuk bagaimana maksudmu? Masuk saja atau mereka ….”Staff satunya langsung memberi isyarat agar tidak dilanjutkan atau akan membuat mereka mendapat masalah jika ada yang mendengar. Mereka pun akhirnya diam setelah bergosip tentang atasan mereka.“Bros?” Dahi Grisel berkerut halus, apalagi saat mendengar kalau pemilik bros masuk kamar Kaivan saat di villa. Dia diam sesaat lalu menoleh ke Eve dan t