Eve menelan ludah susah payah.
“Si-siang, Pak.” Eve mencoba menyapa.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kaivan lalu melirik ke dalam. Ini aneh, kenapa Eve ada di kamar ibunya? Bukankah Maria tidak mengenal Eve?
“Sa-saya ….” Eve ingin menjawab, tapi terdengar suara Maria dari dalam.
“Kai, dia membantu ibu tadi.” Suara Maria membuat Kaivan kembali menatap pada Eve.
Eve lega Maria menjelaskan, setidaknya dia tidak perlu berkata-kata karena bibirnya terasa bergetar.
“Sa-saya permisi, Pak,” kata Eve tergagap lalu mencoba melewati Kaivan berdiri. Tubuhnya mendadak lemas, jangan sampai dia pingsan di hadapan atasannya itu.
Kaivan melihat wajah Eve yang masih pucat seperti saat outbound, sehingga dia menghadang langkah Eve lagi.
"Kenapa kamu ada di rumah sakit?” tanya Kaivan.
Eve gelagapan, tapi dia berusaha tenang.
“Itu … saya baru periksa karena demam. Mungkin karena kelelahan,” jawab Eve tanpa berani menatap pada Kaivan. Dia meremas jemari untuk menutupi kegugupannya.
Kaivan diam menatap pada Eve.
Saat Eve dan Kaivan berada dalam kecanggungan, Damian tiba-tiba kembali muncul di sana.
Eve sangat terkejut. Damian, kenapa pria itu di sini?
“Mau apa lagi kamu?” tanya Kaivan saat melihat Damian kembali datang.
Namun, Damian tak langsung menjawab pertanyaan Kaivan, dia malah fokus pada Eve yang berdiri di dekat Kaivan.
“Kunci mobilku tertinggal di meja,” jawab Damian sambil menoleh pada Kaivan, lalu menatap lagi pada Eve.
Kaivan masuk kamar inap Maria untuk mengambil kunci yang dimaksud.
Sedangkan Damian, dia malah menatap Eve. Sama halnya dengan Eve yang bertanya-tanya kenapa Damian di sana, pria itu juga penasaran, kenapa mantan kekasihnya itu bersama Kaivan.
Eve menghindari kontak mata dengan Damian, dia tidak mau menyapa pria itu.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Damian terus menatap pada Eve.
"Bukan urusanmu," jawab Eve enggan menatap pada Damian.
"Ya, memang. Tapi aku penasaran," ucap Damian lalu melirik ke ruangan Maria. "Bagaimana kabarmu?" tanya Damian pada akhirnya karena sudah lama tidak pernah bertemu Eve.
"Aku baik," jawab Eve. Dia menunjukkan jika kehidupannya sangat baik tanpa pria itu.
Damian tersenyum tipis.
"Kamu mau …." Belum juga Damian melanjutkan kalimatnya, Kaivan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya, menutup Eve dari pandangannya.
“Ini, segera pergi dari sini!” Kaivan mengusir Damian lagi.
Damian memandang Eve yang ada di belakang punggung Kaivan, lalu mengambil kunci yang diberikan sepupunya itu, sebelum kemudian pergi meninggalkan Kaivan dan Eve.
Eve masih menatap tak percaya. Apa Damian dan Kaivan saling kenal? Eve mendadak pusing, bagaimana bisa sangat kebetulan?
Kaivan memastikan Damian pergi, lalu saat membalikkan badan untuk bicara dengan Eve. Dia melihat Eve yang terkejut.
“Saya permisi.” Eve buru-buru meninggalkan Kaivan. Dia tidak mau berinteraksi lebih lama dengan pria itu. Ya, untuk saat ini saja.
Kaivan masih berdiri termangu di depan pintu memandang ke arah Eve pergi, sampai Maria membuyarkan lamunannya.
“Dia sepertinya sangat sakit. Sana, pergilah antar dia pulang. Kasihan,” kata Maria menaruh simpati.
Kaivan terkejut. Dia menatap pada ibunya tapi menggeleng.
“Tidak perlu. Dia mungkin datang dengan saudara atau pulang naik taksi.”
“Kai, antarlah. Apa susahnya? Dia juga tadi sangat baik mau membantu ibu yang sedang kesusahan. Lagi pula, kalau dia bersama keluarganya, dia tidak mungkin mengantri obat sendiri,” paksa Maria karena gemas putranya tidak mau membantu Eve.
Kaivan menatap datar dan terlihat malas. Namun, karena Maria terus memaksa, membuat Kaivan mau tak mau akhirnya pergi untuk mengantar Eve.
Kaivan keluar dari ruang inap Maria dan menyusul Eve yang sudah pergi lebih dahulu.
Sepanjang jalan menuju apotek. Eve terus menarik napas panjang dan mengembuskan berulang kali. Setelah kejadian malam itu, dia benar-benar selalu panik ketika berinteraksi dengan Kaivan. Entahlah, Eve tidak bisa membayangkan nantinya jika sudah kembali bekerja dan harus bertemu dengan Kaivan setiap hari.
Ya Tuhan, tolonglah dia. Eve berharap bisa kuat dan tegar saat di perusahaan agar Kaivan tidak mencurigainya.
Eve akhirnya sampai di apotek. Dia tidak menunggu lama karena nomor antriannya sudah disebut oleh petugas.
“Terima kasih,” ucap Eve setelah mendengar penjelasan apoteker.
Eve berjalan keluar dari apotek. Dia sangat pusing sampai matanya berkunang-kunang. Eve mencoba menahan rasa sakitnya, dia terus berjalan meski agak pelan.
Ketika berjalan menuju pintu keluar rumah sakit, Eve sedikit tidak fokus berjalan sampai tertabrak pengunjung rumah sakit yang juga sedang melintas, membuat kakinya limbung dan hampir terjatuh.
Untungnya, ada seseorang yang menangkap tubuhnya dari belakang. Eve sangat bersyukur dan segera berdiri dengan benar.
“Terima ka ….” Eve menjeda ucapannya ketika melihat siapa yang berdiri menatap dirinya.
Terima kasih yang sudah mampir baca buku terbaru saya. Saya harap kalian bisa tinggalkan komentar dan ulasan jika menyukai buku ini.Terima Kasih.
“Pa-pak Kaivan.”Eve sangat panik saat melihat Kaivan di sana, menolong dirinya.“Kamu mau pulang?” tanya Kaivan dengan nada suara datar.Eve mengangguk-angguk.Tiba-tiba Kaivan memegang pergelangan tangan Eve, membuat Eve sangat terkejut.“Ada apa, Pak? Kenapa Anda menarik saya?” tanya Eve benar-benar panik. Tiada hari tanpa kepanikan saat bertemu apalagi berinteraksi dengan Kaivan.Kaivan tak banyak bicara, dia mengajak Eve menuju mobilnya untuk mengantar pulang sesuai permintaan Maria.Eve sendiri sampai menelan ludah susah payah, bingung dan panik kenapa Kaivan mengajaknya tanpa kata.“Masuk!” perintah Kaivan lalu berjalan memutar menuju pintu kemudi.Eve membeku di tempatnya, panik dan bingung yang dirasakan.Kaivan melihat Eve yang masih diam, lalu kembali memberi perintah, “Masuk, aku antar pulang!”Eve mengangguk tapi dengan ekspresi terkejut. Dia bergeser ke pintu belakang mobil, berniat duduk di belakang saja selagi Kaivan menyetir.Namun, dia juga merasa jika tak sopan, baga
“Apa Anda ada perlu dengan saya?” tanya Eve tak bisa lari meski ingin, kedua kakinya terasa kaku dan seperti membatu di tempatnya berdiri sekarang. Kaivan sudah berada di depan pintu kamar asrama Eve, tentu saja hal itu membuat Eve sangat terkejut. Setelah bersyukur karena seharian tidak bertemu dengan pria itu, kenapa harus bertemu di depan kamarnya.Eve memeluk kedua lengan karena tubuhnya basah dan pakaiannya sedikit menerawang. Dia ingin maju dan mengabaikan tapi siapa sangka pria berbadan tegap dan tinggi itu mendekatinya lebih dulu.Kaivan mendekat lalu berdiri tepat di hadapan. Dia datang karena memang ada yang ingin dipastikan. Hingga tatapan Kaivan tertuju ke kemeja putih Eve yang sedikit menerawang karena tidak tertutup blazer, dia melihat ada bekas kemerahan sedikit ungu di balik kemeja itu tepat di atas bagian tulang selangka Eve.Dahi Kaivan berkerut halus melihat bekas itu, lalu tatapannya kembali tertuju ke wajah Eve.Melihat tatapan Kaivan mengarah kepada bajunya yang
“Damian? Kenapa kenapa harus bertemu lagi dengannya?” Eve benar-benar terkejut dengan kemunculan Damian di sana.Eve terlihat bingung harus bagaimana, tapi karena sudah terlanjur di sana, membuat Eve tetap berjalan ke arah kamar Maria.Saat Eve berjalan ke sana, Damian menoleh ke arah Eve, hingga pria itu terlihat terkejut tapi juga senang melihat Eve di sana.“Eve, kita berjumpa lagi. Bagaimana kabarmu?” tanya Damian saat Eve sudah dekat dengannya.Eve ingin menjawab, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu dan kaku. Bahkan ekspresi wajahnya tampak datar.“Kamu sakit? Atau kakakmu sakit?” tanya Damian mencoba mengajak bicara Eve yang hanya diam.Bagaimana Eve tidak diam, dia harus bertemu dengan pria yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Pria yang sangat dipercayai tapi menghancurkan kepercayaan itu hingga runtuh tak bersisa.“Aku datang untuk menjenguk Bibi Maria,” jawab Eve datar agar Damian juga sadar diri kalau dirinya takkan bersikap sama seperti dulu.Damian melihat tatapa
Siang harinya. Eve dan Grisel menghadiri rapat perusahaan. Keduanya duduk tak berdekatan..“Apa kamu tahu, aku dengar Pak Kaivan mencari pemilik bros yang tertinggal di villa,” bisik salah satu staff lainnya.Grisel mendengar suara staff yang sedang bergosip sebelum rapat dimulai karena dia duduk di dekat staff itu. Dia menajamkan pendengaran ingin mendengar jelas apa yang dibicarakan keduanya.“Betul, tapi sepertinya sampai sekarang belum ada yang mengaku bros siapa itu.”“Iya, apalagi katanya pemilik bros itu masuk kamar Pak Kaivan saat malam hari, karena itu Pak Kaivan mencarinya.”“Masuk? Masuk bagaimana maksudmu? Masuk saja atau mereka ….”Staff satunya langsung memberi isyarat agar tidak dilanjutkan atau akan membuat mereka mendapat masalah jika ada yang mendengar. Mereka pun akhirnya diam setelah bergosip tentang atasan mereka.“Bros?” Dahi Grisel berkerut halus, apalagi saat mendengar kalau pemilik bros masuk kamar Kaivan saat di villa. Dia diam sesaat lalu menoleh ke Eve dan t
Dahi Kaivan berkerut halus mendengar jawaban Grisel, lalu memandang ke bros yang dipegangnya. Dia tidak percaya kalau Grisel adalah pemilik bros itu, tapi mengingat nama tengah Grisel berinisial E juga tanda merah di bagian atas tubuh Kaivan, membuat pikiran Kaivan goyah. “Jadi, malam itu kamu yang masuk ke kamarku?” tanya Kaivan dengan kedua alis saling bertautan saat menatap Grisel.Grisel masih menundukkan kepala, sikapnya seperti menunjukkan sebuah keraguan tapi itu hanya sebuah sandiwara.“Sa-saya ….” Grisel bersandiwara seperti takut, tapi sebenarnya hal itu hanya untuk meyakinkan Kaivan saja.“Katakan saja, apa benar kamu yang masuk ke kamarku malam itu?” tanya Kaivan lagi dengan sedikit nada penekanan.Grisel langsung berlutut saat mendengar kedua kalinya Kaivan menanyakan hal itu.Kaivan terkejut karena Grisel sampai berlutut, tapi dia tetap memasang wajah datar.“Saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya mabuk dan tidak tahu itu kamar Anda, saya ingin bilan
“Ini Grisel, dia salah satu staff di perusahaan. Dia bekerja menjadi salah satu tim asistenku,” ujar Kaivan menjelaskan siapa Grisel.Kaivan mengajak Grisel duduk di ruang keluarga setelah ketegangan yang terjadi karena Maria tak menyukai Grisel.Maria tetap memandang dengan rasa tak suka, tapi dia berusaha mengabaikan itu.“Berarti dia kenal dengan Eve juga?” tanya Maria setelah mendengar penjelasan Kaivan. "Iya, saya kenal Eve, Bibi. Bahkan kenal baik dari kami masih sekolah," jawab Grisel mencoba masuk ke pembicaraan agar dilihat Maria.Maria tak menanggapi berlebih, hanya melirik sekilas ke Grisel, lalu menatap ke Kaivan lagi.“Oh ya, bagaimana kabar Eve?” tanya Maria lagi begitu antusias jika membahas tentang Eve.Grisel merasa kesal karena Maria mengabaikannya dan lebih fokus ke Eve, bahkan dia sampai meremas ujung pakaian yang dipakai karena geram.“Dia baik dan sehat,” jawab Kaivan karena sekilas itulah yang dilihatnya dari Eve saat di kantor.“Baguslah,” balas Maria bernapas
Grisel benar-benar sangat terkejut melihat Maria sudah ada di sana, sampai buru-buru merapikan pakaiannya yang agak terbuka.Maria benar-benar emosi, sampai dadanya naik turun tak beraturan karena napas yang terasa sesak melihat Grisel keluar dari kamar putranya dalam kondisi pakaian berantakan, belum lagi Kaivan juga bertelanjang dada. Dia menatap ke Kaivan dan melihat putranya itu sedang memakai kaus hitam polos, sebelum kemudian berjalan menuju pintu.“Kamu ini memang tidak punya sopan-santun, hah? Apa baik masuk ke kamar pria begitu saja? Kamu ini hanya seorang tamu, jadi jangan bertindak sembarangan!” amuk Maria begitu geram.Kaivan sudah berada di hadapan Maria. Dia melihat Grisel yang hanya diam dengan ekspresi wajah takut.“Bu, tidak terjadi sesuatu di antara kami. Aku baru saja selesai mandi dan Grisel di sini karena ingin memanggilku untuk makan malam,” ujar Kaivan menjelaskan.“Kamu pikir ibu percaya?!” Maria tetap tak terima dengan penjelasan Kaivan.Maria melirik Grisel ya
Setelah makan malam, Kaivan mengantar Grisel pulang. Grisel tinggal di apartemen yang sama dengan kakak Eve, tapi beda lantai."Terima kasih sudah mengantar pulang," ucap Grisel terlihat begitu senang.Kaivan hanya mengangguk, menunggu Grisel turun."Jam berapa kamu biasanya berangkat?" tanya Kaivan saat Grisel sudah di luar mobil.Grisel terkejut, tapi langsung menjawab, "Biasanya jam setengah delapan."Kaivan tidak bicara lagi, lalu pergi meninggalkan Grisel.Grisel tersenyum, dia berharap Kaivan menjemputnya besok agar bisa menunjukkan ke semua orang jika mereka menjalin hubungan.**Keesokan harinya, Grisel menerima pesan jika Kaivan akan menjemput, membuat Grisel terlihat begitu sangat senang.Pagi itu Grisel sudah menunggu di depan lobi, hingga beberapa saat kemudian tampak mobil Kaivan datang. Grisel melebarkan senyum, lantas buru-buru masuk mobil.“Harusnya Anda tidak perlu menjemput saya,” ucap Grisel saat baru saja masuk mobil Kaivan.Kaivan hanya mengangguk tanpa membalas u
Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
“Kamu harus bertanggung jawab, Kaivan! Jangan jadi pengecut!” Maria mengamuk karena berpikir Kaivan tidak mau bertanggung jawab.Kaivan memegang tangan Maria, lalu membalas, “Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab. Tapi Eve yang sepertinya tidak mau.”Maria mengerutkan alis.“Kenapa tidak mau? Pasti ada alasannya, kan?” Maria penasaran. Jika memang Eve wanita yang akan dijadikan istri Kaivan, dia akan mendukung penuh.“Apa perlu ibu yang minta padanya untuk menikah denganmu?” tanya Maria gemas karena merasa putranya sangat lamban.“Jangan!” Kaivan mencegah. “Tidak semudah itu juga, Bu. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi yang jelas Eve ragu.”Semalam Kaivan mendengar apa yang dibicarakan Eve dan Bram. Dia sekarang tahu alasan Eve terus memintanya menjauh. Kaivan menceritakan itu agar Maria paham dan tidak bersikap gegabah.“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria memastikan.“Aku hanya perlu lebih dekat dan meyakinkannya saja. Sepertinya Kai juga sudah menyukaiku, jadi itu akan lebih mud
“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Kai? Jangan bilang kamu mau membahas wanita bernama Grisel itu! Ibu tidak sudi!” Maria memberi ultimatum lebih dulu karena telinganya terlalu sakit jika mendengar Kaivan bersama Grisel.Kaivan malah tersenyum lalu menggeleng pelan.“Bukan itu yang mau aku ceritakan,” ujar Kaivan karena melihat sang ibu sudah sangat emosi.“Lalu?” Maria menatap curiga.Kaivan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.“Semalam aku pergi mengantar Kai ke rumah sakit untuk periksa. Dia putraku.”“Kaivan!” Maria berteriak karena syok. “Kai? Siapa maksudmu Kai itu? Dan, apa tadi kamu bilang? Putra? Jangan bilang itu anakmu dengan Grisel!” amuk Maria dengan emosi yang memuncak. Dia mencengkram dada karena merasa nyeri.“Bu.” Kaivan langsung turun dari ranjang. Dia meminta Maria untuk duduk lebih dulu.“Makanya, dengarkan aku bicara sampai selesai agar tidak syok,” ujar Kaivan malah menyalahkan ibunya yang kaget.“Siapa yang tidak syok mendengar pengakuanmu, hah!” M
Eve mengecek Kai setelah selesai bicara dan meyakinkan Bram kalau dia akan mengurus semua sendiri. Kai mungkin membutuhkan sosok ayah, tapi Eve tidak mau jika Kaivan terpaksa bertanggung jawab karena adanya Kai. Bisa saja ‘kan, dulu Kaivan tidak menginginkan Kai, sedangkan sekarang sudah terlanjur dan terpaksa menerima?Saat Eve masuk kamar. Dia melihat Kaivan ternyata tertidur di ranjangnya. Dia menatap lekat wajah Kaivan dan Kai yang sama-sama tertidur pulas. Keduanya benar-benar sangat mirip, terutama alisnya.Tidak tega membangunkan Kaivan. Eve memilih membetulkan letak selimut, lalu dia keluar dari kamar dan berniat tidur di sofa.“Bagaimana kondisi Kak Bram, Kak?” tanya Eve saat melihat Alana keluar dari kamar.“Sudah tidak apa-apa. Dia berusaha tidur sekarang,” jawab Alana, “kenapa kamu di luar? Apa Kai belum tidur sampai mantan bosmu juga masih di sana?” tanya Alana keheranan.“Ah, itu ….” Eve menoleh ke pintu kamarnya, lalu kembali memandang Alana. “Dia tertidur bersama Kai.
Bram mengajak bicara Eve di ruang makan. Alana juga ada di sana, dia dan Bram sama-sama menatap Eve sekarang.“Kamu masih tidak mau jujur dengan apa yang terjadi, Eve? Jujur pada kami, apa kamu tidak menganggap kami lagi?” Bram mencoba menekan karena merasa Eve menyembunyikan kebenaran soal ayah Kai.“Bukan begitu, Kak.” Eve bingung harus bagaimana menjelaskannya.“Kalau begitu cerita, Eve. Kami ini keluargamu, apa tidak cukup kamu berbohong dan menyembunyikan soal kehadiran Kai?” Alana ikut bicara demi kebaikan Eve juga Bram.Eve meremat jemari, lalu memberanikan diri menatap kakak dan kakak iparnya.“Katakan padaku, bagaimana bisa Kai langsung dengan mantan bosmu itu? Kalian punya hubungan khusus atau ….” Bram sengaja menjeda ucapannya agar Eve yang melanjutkan.Eve menelan ludah susah payah. Panik dan takut bercampur jadi satu.“Pak Kaivan adalah ayah Kai. Aku tidak sengaja melakukannya dengan dia.” Eve menjawab dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.“Apa?” Bram sangat terkej
Kaivan mengantar Eve kembali ke apartemen. Dia sigap keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Eve. Namun, saat Eve akan keluar, Kai bangun dan mencari Kaivan.“Maunya gendong Paman Kaivan.” Kai mengigau dan memberontak tidak mau digendong Eve.Eve menatap Kaivan yang berdiri di luar pintu.Kaivan membungkuk lalu mengambil alih Kai dari pangkuan Eve.“Biar aku yang menggendongnya,” ujar Kaivan.Eve terpaksa memberikan Kai karena terus memberontak. Saat sudah digendong Kaivan, Kai anteng dan langsung mengalungkan kedua lengan di leher pria itu.Mereka masuk bersama. Eve melihat Kai yang kembali tidur dalam gendongan Kaivan. Dia diam sambil terus melangkah, apa begini ikatan antara ayah dan anak meski mereka tidak pernah bertemu? Kenapa begitu erat? Bahkan Kai tidak pernah sedekat ini pada pria lain meski sering bertemu.Mereka sampai di unit apartemen Bram. Saat masuk, ternyata Alana sudah pulang.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bram langsung menghampiri bersama Alana.“Dokter bil
“Ini hanya memar saja, selebihnya tidak ada yang fatal. Namun, untuk berjaga-jaga, saya akan memberikan obat dan salep untuk mencegah pembekuan darah di bagian punggung yang terbentur.”Dokter bicara sambil menulis resep.Kaivan lega. Dia memangku Kai yang tidak mau lepas darinya.Eve menatap Kai. Dia tidak mengerti, kenapa Kai sangat menempel pada Kaivan? Jika Eve meminta Kai menjaga jarak pada seseorang, bocah kecil itu akan patuh. Namun, kenapa Kai tidak patuh kali ini? Apa mungkin karena keduanya memiliki ikatan?Eve menggeleng pelan. Dia mencoba menepis itu. Bisa saja Kai menempel pada Kaivan karena pria itu terus mendekati dan baik pada Kai.“Eve.”Lamunan Eve buyar karena mendengar suara Kaivan. Dia menoleh dan melihat pria itu siap berdiri sambil membawa resep dari dokter.“Terima kasih, Dok.” Eve berdiri mengikuti Kaivan.Keduanya keluar dari ruang pemeriksaan di IGD, menuju apotek.“Kamu melamunkan apa?” tanya Kaivan sambil berjalan bersama Eve.“Tidak ada,” jawab Eve.Kaiva
Grisel sangat terkejut melihat Kai menangis karena membentur dinding. Dia melepas Eve lalu segera kabur dari sana.Eve berlari menghampiri Kai dan langsung menggendongnya.“Punggungnya cakit, Mami.” Kai merengek karena kesakitan.Eve menggendong Kai kembali naik ke lantai unit apartemennya berada. Dia tidak memedulikan Grisel yang kabur setelah menyakiti putranya.“Mami sakit,” rengek Kai terus menerus.Eve sangat panik hingga hampir menangis. “Ada apa?” tanya Bram terkejut melihat Kai menangis.Eve tak langsung menjawab. Dia membaringkan Kai di sofa, lalu membuka pakaian Kai untuk melihat apa ada memar di punggung karena benturan cukup keras.“Eve, ada apa? Kenapa Kai menangis dan rambutmu acak-acakan begitu?” tanya Bram sangat cemas.“Aku ambil air dingin untuk mengompres punggungnya dulu, Kak.” Eve berlari ke dapur untuk mengambil air es.Bram bingung. Dia duduk di samping Kai dan melihat punggung keponakannya itu merah.“Kenapa Kai bisa luka?” tanya Bram.“Bibi itu jahat. Dia jam
Kai menatap bingung mendengar percakapan kedua orang dewasa itu, sedangkan Eve panik karena Grisel sudah di luar kendali.“Berhenti menyangkutpautkan anakku ke dalam emosimu!” Eve memperingatkan dengan nada penekanan.Eve ingin pergi untuk menjauhkan Kai dari perkataan yang tidak layak didengar, tapi siapa sangka Grisel masih tidak puas.“Itu benar, kan? Kamu kembali karena ingin merayunya lagi. Bahkan mungkin, empat tahun lalu, kamu sengaja masuk kamarnya untuk menjebak agar bisa menaikkan statusmu!” tuduh Grisel untuk menjatuhkan Eve.Eve mencoba menahan amarahnya karena di sana ada Kai. Dia tak ingin memberi contoh buruk pada Kai jika berkelahi di depan putranya itu.“Mami, Bibi itu bicara apa?” tanya Kai yang bingung dengan ucapan Grisel.“Bukan apa-apa. Ayo pergi!” ajak Eve hendak melangkah, tapi Grisel kembali bicara.“Mengaku sajalah. Ini strategimu, kan? Membuat Kaivan penasaran lalu mengejarmu dan menggunakan anak itu untuk menarik simpati Kaivan. Kasihan sekali jadi anakmu,