“Andhira, makasih ya buat makananya.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini. Bayangkan saja, dirinya baru datang, baru saja keluar dari dalam mobil, dan Arsenio mengejutkannnya.“Makanan apa, Pak?” tanya Andhira tanpa sadar, lalu mengulum bibirnya setelah mengerti apa yang dimaksud oleh Arsenio. Dirinya mengangguk, “Oh iya, Pak. Sama-sama. Enak gak, Pak? Ya emang gak seenak buatan mbak Maya sih.”Arsenio mengangguk, “Enak kok, dia minta kamu buatin lagi. Mbak Maya yang merasa dirinya perlahan digantikan oleh kamu, pura-pura ngambek sama dia,” ucapnya, diakhiri dengaan terkekeh.“Oh iyaa? Duhh saya jadi merasa bersalah,” ucap Andhira, lalu menunduk.Arsenio tertawa, “Saya duluan ya, Andhira. Inget pesan saya, jangan ….”“Berulah,” sahut Andhira cepat, membuat Arsenio tersenyum lebar. Arsenio mengusap puncak kepala Andhira terlebih dahulu, sebelum akhirnya melenggang pergi dari hadapan Andhira.Andhira menggelengkan kepala, diri
“Mas Arsen, harus hati-hati yaa. Soalnya Mamih saya udah bertindak.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, menatap Andhira yang duduk di kursi penumpang, duduk di sisi kirinya. Andhira menatap Arsenio dengan tatapan sulit dimengerti, membuat Arsenio harus menerka-nerka.“Bertindak yang bagaimana?” tanya Arsenio di sela-sela menyetirnya.Andhira bergumam, “Kata Darwis, Mamih saya itu mantau saya lewat Darwis. Saya takut, Mamih saya bertindak kejauhan.”Arsenio bergeming, dirinya tidak mengerti sama sekali. Akhirnya, memilih untuk menepikan kendaraan roda empatnya di minimarket, menatap serius Andhira yang mengerjapkan kedua matanya.“Jelasin. Saya tidak mengerti sama sekali, Andhira.”Andhira menarik nafas, dan menghela nafas secara perlahan, “Mamih saya itu selalu bodoamat sama apa yang saya lakuin. Nanya aja gak, cuma tau dari orang suruhan yang dibayar sama Mamih saya. Mas Arsen tau sendiri, kan? Mamih saya aja gak pernah dateng kalau saya ada masalah. Terus sekarang nanya-nanya ke Dar
“Amandaa, kamu ngapain? Dapur berantakan, nanti diomelin Papih kamu gimana?”Andhira yang baru saja datang, langsung menghampiri Amanda yang sudah penuh dengan tepung. Wajah putih-putih, apron berwarna hitam menjadi putih, dan dapur sudah dipenuhi tepung. Sedangkan pelaku utamanya hanya menyengir.“Aku mau bikin kue, tapi mbak Maya lagi ada ada di toilet, jadinya aku masukin bahan-bahannya. Ternyata, wadah tempat tepung gak sengaja kesenggol sama aku, jadinya tumpah. Pas aku mau ganti, gak tepat.”Andhira memejamkan matanya, menyimpan sling bagnya di kursi bar, dan mengambil sapu untuk menyatukan tepung yang ada di lantai sebelum Arsenio datang. Amanda ingin membantu Andhira, tetapi ditolak.“Mending kamu cuci tangan, cuci muka, apronnya ditaruh di kursi ajaa,” titah Andhira penuh penekanan kepada Amanda, membantu Amanda melepaskan apron.“ASTAGA, INI DAPUR KENAPA PENUH DENGAN SALJU.”Andhira dan Amanda kompak menoleh, mereka mendapati Mbak Maya yang berkacak pinggang dan menatap Am
“Kamu deket sama pak Arsenio, emangnya gak takut dilabrak sama istrinya?”Andhira memicingkan mata, menatap Airina yang semakin mengeluarkan tanduk secara tidak langsung. Selama tiga hari diganggu terus oleh Airina, membuatnya semakin bisa melihat seperti apa perempuan dihadapannya saat ini.“Pak Arsenio itu jomblo, kenapa? Kamu cemburu aku deket-deket sama pak Arsen? Kamu deketin ajaa, pertanyaan aku cuma satu, bisa atau gak ngambil hatinya pak Arsen,” oceh Andhira, menampilkan smirk smile kepada Airina, dan melenggang pergi dengan langkah yang elegan, dan cantik.Andhira tidak perduli dengan Airina yang terus mengganggunya. Menurutnya, Airina dan Tesya lebih baik Tesya. Dirinya membuka pintu ruangan, dan terdapat Reno yang sudah hadir. Bukan hanya ada Reno, tetapi ada Darwis dan 3 temannya yang lain.Andhira tersenyum dan menghampiri kedua sahabatnya. Dirinya duduk dihadapan Darwis, dan menatap kedua sahabatnya yang sedang mengobrol satu sama lain. Darwis dan Reno menatap Andhira de
“Cape? Mau makan apa? Saya traktir hari ini.”Andhira menatap Arsenio dengan mata yang berbinar, dan mengangguk, “Iya nihh, banyak banget pengunjungnya. Padahal bukan weekend.”Arsenio tersenyum, menoleh sekilas, “Itu café baru, Andhira. Jadi, wajar sih kalau pengunjungnya banyak. Ini udah kedua kalinya ya kamu bantu-bantu di café saya?”Andhira mengangguk, “Seru, Mas. Jadi, saya punya kegiatan lain di luar kampus, bahkan gak ada kaitannya sama kuliah.”“Cita-cita kamu apa sih kalau saya boleh tau?” tanya Arsenio, di sela-sela menyetirnya. Sedangkan Andhira hanya bergumam, menatap Arsenio yang sedang mengemudi.“Cita-cita saya? Banyak duit, punya keluarga yang utuh, dan saling ngertiin satu sama lain,” jawab Andhira tidak serius, diakhiri dengan tertawa. Hal itu membuat Arsenio bergumam, tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Andhira.“Mau makan dimana? Di rumah saya aja gimana? Nanti saya masakin.”Andhira menoleh, menatap Arsenio yang sedang menatapnya. Keduanya terpaku selama beb
“Amandaa, besok tante Andhira bakalan dateng lagi, kok.”Amanda menggeleng, mengabaikan Arsenio yang mencoba membujuknya untuk mengijinkan Andhira pulang. Mbak Maya mengangkat kedua tangan ke udara saat Arsenio menatapnya, dirinya yang sudah merawat dari bayi saja tidak bisa membujuk.“Gak boleh. Lagian yaa, kalian berdua nyembunyiin apa dari aku?” tanya Amanda menatap Arsenio dan Andhira silih berganti, sedangkan baik Arsenio maupun Andhira hanya saling melempar pandang satu sama lain.Andhira menghela nafas, menyamakan tingginya dengan Amanda, merapihkan helai rambut Amanda yang menutupi sebagian wajah Amanda, “Ini udah malem, Mamih aku udah nelfonin dari tadi. Besok aku ke sini lagi kok.”Amanda menggeleng tegas, “Gak boleh. Tante harus jawab pertanyaan aku dulu. Apa yang Papih tawarin ke tante sampe gak mau bilang aku.”“Bukan apa-apa, tapi nanti bikin aku malu. Jangan yaa. Tanya yang lain aja, nanti aku jawab,” ucap Andhira dengan lembut, lalu tersenyum.“Oke aku ganti pertanyaa
“Dua hari kedepan, Mamih harus ke luar kota. Kamu mau ikut? Atau di sini?”Andhira menaikkan sebelah alisnya setelah mendengarkan pertanyaan dari Mamih, kalau memang hanya dirinya saja yang di sini, lebih baik dia tidak ada di sini.“Aku di sini aja. Di rumah Papih maksudnya. Lagian nih yaa, kalau aku di sini, gak ada Mamih, jadi buat apa aku di sini? Kan aku nemenin Mamih, kalau Mamih aja ke luar kota, aku nungguin rumah dong?”Mamiih mengangguk, tidak keberatan dengan keinginan yang Andhira ucapkan baru saja. Dia tersenyum, lalu berkata, “Oke. Mamih anter ke rumah Papih.”Andhira tersenyum manis, dan segera bangkit untuk pergi ke kamarnya, tidak perlu membawa pakaian, karena di rumah Papih sudah banyak pakaiannya. Dirinya hanya akan berganti pakian, dan membereskan alat elektronik seperti laptop.“Walaupun di rumah Papih sepi, tapi di sana masih bebas untuk bertemu dengan siapapun, termasuk mas Arsen,” ucap Andhira tanpa sadar, kemudian beberapa detik dirinya menggeleng, “Eh kokk
“Eh kok tau kalau saya di sini?”Andhira menatap Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini, sedangkan Arsenio tersenyum manis dan bergumam.“Papih kamu yang ngasih tau ke saya, Andhira,” jawab Arsenio, diangguki oleh Andhira.“Saya baru aja mau nelfon Reno buat minta tolong nganterin ke rumah mas Arsen, biar dia main sama Amanda,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa harus Reno? Saya kan bilang ke kamu, kamu dilarang pergi tanpa pamit, dan tanpa ijin dari saya. Kamu tidak lupa sama perjanjian, kan?”Andhira menatap Arsenio dengan senyum gemas, “Di dalam surat perjanjian, saya boleh berinteraksi dengan Reno. Kalaupun saya minta ijin sama mas Arsenio, alasan apa yang membuat mas Arsenio gak mengijinkan?”“Saya papihnya Amanda, jadi yang berkaitan dengan Amanda, harus ijin dari saya. Lagian, saya juga bebas dong mengijinkan kamu atau tidak?”Andhira berdecak, lalu bersidekap dada, “Semakin lama, semakin menyebalkan ya, Mas. Rasanya mau aku