Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.
Nacita Putri, bercita-cita sebagai idol seperti Dita Karang. Salah satu member dari Screet Number, girlband asal negeri ginseng. Selain giat berlatih dance dirinya juga kerap mengikuti les bernyanyi. Meski sejujurnya, kemampuannya di bidang tarik suara sungguh sangat memprihatinkan.
"Leha ... Leha, apa kabar. Tubuhmu terlihat lebih glowing. Sepertinya lulur merk Abu jendes andalan emak lu mulai menampakan hasilnya," cerocos Cita sambil terbahak. Juleha tak menjawab dia membalas dengan mendorong kepala sahabatnya itu dengan jari telunjuk.
Sudah menjadi kebiasaan bahasa yang Cita gunakan memang seperti itu, membuatnya terlihat norak dan gelay.
"Hayyy ... hay ... kalian nungguin aku, nggak." Suara cempreng Cita membuat suasana kelas yang awalnya ramai hening seketika. Semua mata tertuju pada gadis itu. Dengan percaya diri, Cita justru melambaikan tangan bak miss universe.
Bimo segera mengambil mawar merah plastik yang berada di dalam vas meja guru. Dia berlari ke arah Cita lantas segera berlutut di hadapan gadis itu.
"Gue kangen, Beb," ujar Bimo sambil menyerahkan bunga mawar tersebut pada Cita.
"Ihh ... aku nggak mau, nggak suka! Gelay!" tolak Cita sambil manampakan raut wajah jijik pada Bimo. Dia berlalu begitu saja tanpa peduli pada pemuda itu.
Juleha menepuk bahu Bimo memberi kekuatan. Dia paham betul, ini bukan kali pertama teman sekelasnya ditolak oleh Cita. Namun sepertinya pemuda berkacamata itu tak pernah kapok.
Bimo menggaruk kepalanya yang tak gatal. Usahanya kali ini gagal lagi, dengan lemas dia mengembalikan bunga mawar itu ke tempat semula.
"Gagal maning ... gagal maning," ledek Arif, yang dibalas tonjokan oleh Bimo. Namun Arif segara berlari hingga terjadilah kejar-kejaran di dalam kelas.
Sampai akhirnya, Pak Alam, guru Biologi yang akan menjadi wali kelas Juleha datang. Sialnya, dia tak sendiri, ada sosok yang Juleha kenal berada di belakangnya. Ya Tuhan! Alan Walker KW! Pemuda itu, kini sudah mengenakan seragam lengkap sama seperti siswa yang lain.
"Amazing, ini baru calon pacar gue," gumam Cita sambil terus menatap sosok yang kini berdiri di depan dengan kagum. Ingin sekali Juleha memukul kepala Cita. Sahabatnya itu tak tahu saja, jika pagi ini dia sudah berurusan dengan pemuda yang menjengkelkan itu.
Namanya Rasya Al Khairaf, biasa disapa Khai, dia pindahan dari SMA Taruna. Pemuda dengan alis tebal dan tatapan tajam. Wajahnya tampan kulitnya bersih, bahkan lebih bersih dari Juleha. Tubuhnya tinggi tegap, meski hanya siswa baru nyatanya pemuda itu menarik perhatian sekitar, terlebih siswi-siswi yang berada di kelas tersebut, damage-nya tak ada obat. Sampai akhirnya, Pak Alam menyuruh Khai untuk duduk di bangku kosong yang berada tepat di belakang Juleha.
Khai menangkap Juleha yang tengah melihatnya sambil mengerucutkan bibir. Baginya, ini adalah hiburan menemukan cewek yang tak suka terhadapnya adalah barang langka. Dia segera menuju bangku miliknya lantas duduk di samping Bimo. Sengaja dirinya menarik kursi hingga ke depan kemudian mencondongkan tubuh dan berbisik tepat di telinga Juleha. "kayaknya, gue bakal betah di sini karena ada lu."
Juleha yang risi segera menggosok telinga dengan tangannya. Sementara itu masih dapat didengar oleh gadis itu jika Khai tertawa melihat ulahnya. Dia tak pernah tahu jika bertemu dengan Khai adalah awal dari semua masalah yang akan dihadapinya.
"Lu kenal dia?" bisik Cita pada Juleha.
"Mana mungkin gue kenal Alien kayak dia yang nggak-nggak aja, deh, lu!" ketus juleha.
Rutinitas belajar mengajar belum dimulai. Setelah mencatat jadwal pelajaran selama satu semester ke depan semua siswa diperbolehkan pulang. Juleha buru-buru pergi setelah mencatat semuanya. Meski Cita berulang kali memanggil, tetapi gadis itu seolah tak mendengar dan tetap melangkah dengan cepat ke luar ruangan.
Bis yang juleha tumpangi tak kunjung datang. Dia memang ingin buru-buru sampai di rumah, rasa lelah dan letih dari tour yang menyenangkan selama tiga hari membuat tubuhnya pegal-pegal. Biasanya, sang Mama akan memanggil Mak Ijah untuk memijatnya.
Juleha melirik pemuda di sebelahnya. Sial sekali rasanya, bagaimana mungkin dia terus saja terlibat dengan spesies langka seperti Khai. .
"Sial banget, ya, dari sekian luas kota Bekasi gimana mungkin gue kudu kejebak sama lu. Ngeselin, sok iya, ganteng cuma pas-pasan aja songongnya naudzibilah!" ujar Juleha.
Khai cuma tersenyum, melihat Juleha uring-uringan seperti itu justru membuat gadis itu terlihat menggemaskan, lucu, dan sangat menghibur. Selama ini, kebanyakan cewek yang dikenal rata-rata hanya melihatnya secara fisik, itu yang membuat Juleha berbeda dengan yang lain di mata Khai sehingga menempatkan gadis berkulit sawo matang tersebut sebagai target utama aksi jahilnya.
Khai mendekat ke arah Juleha sehingga mundur satu langkah ... dua langkah ... hampir terjatuh ke tempat pembuangan air yang tak tertutup. Beruntung pemuda itu segera menarik tubuhnya hingga kembali seimbang meski nyaris terjatuh.
"Segitunya lu takut sama gue," ujar Khai, sambil mencubit kedua pipi Juleha gemas.
"Woy! Itu Khai!" teriak seseorang dengan seragam sekolah kotak-kotak berwarna biru dari atas motornya. Tanpa pikir panjang Khai segera menarik tangan Juleha dan membawanya berlari, meski bingung gadis itu hanya bisa menurut.
Dua motor yang berisi masing-masing dua orang terus mengejar mereka. Khai bingung ketika sampai di gang sempit yang ternyata jalan buntu. Khai menyuruh Juleha berlindung di balik tubuhnya dengan tangan masih saling menggenggam.
Empat orang itu turun dari motor, menghampiri keduanya.
"Apa kabar, Bray," sapa si gendut kepala plontos.
"Biarin cewek ini pergi. Lu cuma urusan sama gue," kata Khai bernegosiasi.
"Kenapa jadi lu yang ngatur. Hajar, Bray!" perintah si plontos.
Ketiga pemuda tersebut mulai menyerang. Khai mau tak mau harus melepaskan tangan Juleha dan berkelahi dengan mereka. Beberapa kali Juleha melihat Khai mampu menangkis serangan, bahkan membalas pukulan mereka. Namun, selain kalah jumlah, Khai juga mulai kehabisan tenaga sehingga terkena pukulan di pelipis kirinya hingga berdarah.
Si botak mendekati Juleha, Khai hendak mencegah, tetapi serangan dari si kriting dan si kurus harus membuatnya harus menghadapi mereka terlebih dahulu.
"Juleha N Jingga," ujar si botak sambil membaca name tag yang terpasang di seragam Juleha.
"Kenapa, Botak," balas Juleha santai.
"Lu bilang apa?!"
"Udah botak, budek lagi. Amit-amit," sinis Juleha.
"Tadinya gue mau baik sama lu, tapi lu nyolot." Si botak meraih kuncir Juleha hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
Namun, pemuda berseragam SMA Taruna itu tak pernah tahu jika Juleha menyiapkan semprotan bubuk cabe di tangan kanannya, dengan cepat dia mengarahkan botol tersebut ke mata si botak.
"Argh ... perih!" Si botak memegangi matanya sambil berteriak. Tak hanya sampai di situ, Juleha lantas menendang perutnya dan beberapa kali melayangkan pukulan di badan gempal itu. Dia terus berteriak menahan perih di matanya.
Juleha menghampiri Khai yang mulai terpojok. Dia kembali mengarahkan botol kecil tersebut ke arah musuh hingga ketiganya ragu untuk kembali menyerang.
"Berani maju, gue bikin lu nangis sampai mata lu benjol segede jengkol!" ancam juleha.
Ketiganya tak ada yang berani maju. Kali ini, giliran Juleha yang meraih tangan Khai. Setelah yakin semua aman, tak ada yang berani mendekat dia mengajak Khai meninggalkan tempat itu.
Masih memegang tangan Khai, Juleha terus berlari hingga keadaan dirasa aman dirinya baru berhenti. Tak kembali ke halte bus, dia memilih untuk putar arah ke tempat biasa angkot mangkal. Berjejerangkutan umum berwarna merah dengan nomor tujuan berbeda sesuai wilayah masing-masing. Setelah melepaskan tangan Khai, Juleha memilih meninggalkan pemuda itu.Khai hanya mematung melihat punggung Juleha yang kian menjauh. Sambil bergumam, "Gue belum ngucapin makasih dia udah kabur."Juleha sampai di rumahnya.
Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?Maemunah
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
"Apaan, sih, Bimo. Sumpah, gue capek banget sama kelakuan lu!" Cita kesal karena Bimo terus saja mengikutinya. Padahal hari ini dia berencana untuk mencegat Khai sebelum pemuda itu melewati gerbang sekolah. Namun sial, semua gagal gara-gara si bucin yang nggak ada akhlak."Beb, sumpah gue lope-lope banget sama lu. Yuk, Ayang Bim anter pulang," ujar Bimo sambil menyentuh tangan Cita tetapi segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu."Kudu berapa kali gue bilang, gue nggak pernah dan nggak akan suka sama lu. Jadi lu nyerah aja, udah nggak good looking nggak good rekening pula. Ngaca lu!" teriak Cita sambil meninggalkan Bimo sendiri.Bimo hanya terdiam, sakit rasanya setiap saat mendapatkan penolakan dari Cita. Tak terhitung apa saja kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu. Namun, dia selalu yakin dengan apa yang disebut kekuatan cinta. Hanya cinta yang mampu merubah dunia, hanya cinta yang akhirnya akan bisa meluluhkan hati Cita."Andaika
"Apaan, sih, Bimo. Sumpah, gue capek banget sama kelakuan lu!" Cita kesal karena Bimo terus saja mengikutinya. Padahal hari ini dia berencana untuk mencegat Khai sebelum pemuda itu melewati gerbang sekolah. Namun sial, semua gagal gara-gara si bucin yang nggak ada akhlak."Beb, sumpah gue lope-lope banget sama lu. Yuk, Ayang Bim anter pulang," ujar Bimo sambil menyentuh tangan Cita tetapi segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu."Kudu berapa kali gue bilang, gue nggak pernah dan nggak akan suka sama lu. Jadi lu nyerah aja, udah nggak good looking nggak good rekening pula. Ngaca lu!" teriak Cita sambil meninggalkan Bimo sendiri.Bimo hanya terdiam, sakit rasanya setiap saat mendapatkan penolakan dari Cita. Tak terhitung apa saja kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu. Namun, dia selalu yakin dengan apa yang disebut kekuatan cinta. Hanya cinta yang mampu merubah dunia, hanya cinta yang akhirnya akan bisa meluluhkan hati Cita."Andaika
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?Maemunah
Masih memegang tangan Khai, Juleha terus berlari hingga keadaan dirasa aman dirinya baru berhenti. Tak kembali ke halte bus, dia memilih untuk putar arah ke tempat biasa angkot mangkal. Berjejerangkutan umum berwarna merah dengan nomor tujuan berbeda sesuai wilayah masing-masing. Setelah melepaskan tangan Khai, Juleha memilih meninggalkan pemuda itu.Khai hanya mematung melihat punggung Juleha yang kian menjauh. Sambil bergumam, "Gue belum ngucapin makasih dia udah kabur."Juleha sampai di rumahnya.
Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.